LANGIT7.ID-Dalam dinamika kehidupan beragama, sering kali umat terjebak pada hiruk-pikuk amal-amal tambahan yang bersifat
sunnah, sementara kewajiban dasar justru terabaikan. Fenomena ini menjadi perhatian serius
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama kontemporer asal Mesir, dalam karya pentingnya
Fiqh Prioritas (Robbani Press, 1996).
Ia mengingatkan bahwa dalam tata susun syariat, ada tingkatan yang jelas: fardhu di atas wajib, wajib di atas sunnah, dan sunnah di atas nawafil. Menurutnya, “kita harus mendahulukan perkara paling wajib atas perkara wajib lainnya, dan mendahulukan perkara wajib atas mustahab.”
Konsep itu sejatinya bukan sekadar teknis fiqh, melainkan kerangka berpikir. Al-Qardhawi menyitir hadis mutawatir tentang rukun Islam—syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji—sebagai fondasi utama. Shalat dan zakat bahkan disebut berulang kali dalam Al-Qur’an, di 28 tempat yang berbeda. “Islam dibangun di atas lima perkara,” sabda Nabi Muhammad dalam riwayat Ibn Umar, yang oleh Ibn Rajab al-Hanbali dikategorikan sebagai al-fara’idh al-rukniyyah, fardhu rukun yang tidak boleh ditawar.
Meski begitu, perbedaan pendapat ulama klasik tentang terminologi “fardhu” dan “wajib” turut mewarnai diskursus. Mazhab Syafi’i, seperti dicatat Ibn Rajab, menyamakan keduanya sebagai kewajiban mutlak. Sementara Hanafiyah membedakan: fardhu ditetapkan oleh dalil qath’i (pasti), sedangkan wajib berdiri di atas dalil dzanni (dugaan kuat). Hanabilah menempatkan fardhu pada ketentuan al-Qur’an, dan wajib pada Sunnah atau ijtihad. Perbedaan ini, tulis al-Qardhawi, mencerminkan kekayaan khazanah fiqh, namun tidak boleh mengaburkan prioritas.
Baca juga: Fikih Prioritas: Berani Benar di Hadapan KekuasaanSayangnya, praktik keberagamaan umat kerap berbanding terbalik. Di banyak tempat, ibadah sunnah berjamaah begitu digemari, sementara shalat lima waktu masih bolong. Tradisi wirid dan tahlil dikerjakan dengan khidmat, tetapi zakat sering dianggap sekadar donasi opsional. “Padahal, zakat adalah hak orang miskin, bukan kebaikan sukarela orang kaya,” ujar al-Qardhawi. Pandangan ini senada dengan sikap tegas Abu Bakar ash-Shiddiq ketika memerangi kaum yang enggan membayar zakat, meski tetap mengaku muslim.
Analisis al-Qardhawi juga menyentuh sisi psikologis umat. Terlalu menekankan yang sunnah bisa menjebak orang pada kesalehan semu, sibuk dengan ritual tambahan tapi lalai terhadap amanah pokok. Fenomena ini sejalan dengan kritik sosiolog Muslim Indonesia, Kuntowijoyo, yang menilai “ritualisasi berlebih” kerap menggeser agama dari orientasi sosialnya menjadi sekadar formalitas spiritual. (Paradigma Islam, 1991).
Maka, fiqh prioritas hadir sebagai koreksi. Ia bukan menafikan sunnah dan nawafil, melainkan menempatkan keduanya secara proporsional. Sunnah tetap penting sebagai penyempurna, tapi tidak boleh melampaui urgensi fardhu. Seperti lelaki Badui dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim: hanya berpegang pada shalat, zakat, puasa, dan haji, tanpa tambahan sunnah, namun Rasulullah tetap menjamin ia masuk surga jika konsisten.
Baca juga: Kemerdekaan Bukan Sekadar Lepas dari Penjajah: Pandangan Fikih dan Sejarah IslamPersoalan ini menjadi relevan di tengah masyarakat muslim modern. Di satu sisi, muncul gairah spiritual dengan ragam amalan sunnah yang viral di media sosial. Di sisi lain, persoalan mendasar seperti rendahnya kepatuhan shalat, ketidakseriusan membayar zakat, hingga abainya sebagian umat pada puasa Ramadhan, terus menjadi ironi. “Fiqh prioritas menuntun kita untuk kembali ke inti: mendahulukan yang wajib atas yang sunnah, dan yang pokok atas yang cabang,” tulis al-Qardhawi.
Dengan demikian, perdebatan klasik soal fardhu dan sunnah bukan hanya akademis, melainkan juga praksis. Ia menyangkut cara umat memandang esensi keberagamaan. Bagi al-Qardhawi, inilah jalan agar agama tidak terjebak dalam ritual simbolik, tapi hadir sebagai kekuatan moral yang efektif—baik untuk pribadi maupun masyarakat.
(mif)