LANGIT7.ID-Suara seruling mengalun lirih di sebuah ruangan sunyi. Di antara aroma dupa yang samar, sekelompok murid duduk bersila mengelilingi seorang lelaki tua. Lelaki itu, dengan sorban sederhana, menatap tajam, seolah menembus lapisan pikiran murid-muridnya. “Puisi ini hanya suguhan kecil,” katanya sambil mengutip bait Jalaluddin Rumi. “Seperti buah di meja jamuan. Jika kau hanya memakan buahnya, kau akan lapar selamanya.”
Ucapan itu, yang lahir tujuh abad silam, kini terasa ironis. Sebab di era digital, “buah” itulah yang diburu banyak orang. Puisi Rumi dijual di toko buku populer, dijadikan caption Instagram, dan diperdagangkan sebagai mantra cinta. Namun, seperti yang diingatkan Rumi sendiri, puisi bukan tujuan. Ia hanya pintu masuk menuju sesuatu yang lebih dalam—jalan panjang bernama ma’rifat.
“Seorang anak tak punya pengetahuan nyata tentang capaian orang dewasa,” tulis Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. “Begitu pula orang awam terhadap pengalaman kaum arif.” Bahkan, kata al-Ghazali, seorang ilmuwan pun tak mampu memahami ekstase seorang sufi. Kalimat itu bukan retorika kosong. Al-Ghazali pernah menempuh seluruh jalan rasional, menekuni filsafat Yunani, sebelum akhirnya menyerah dan memilih sunyi. Baginya, metode akademis “tidak cukup dan kurang bermutu” untuk menyentuh inti realitas.
Baca juga: Kisah Sufi Jalaludin Rumi: Saudagar dan Darwis Kristen Pada abad ke-11, sang “Hujjatul Islam” mematahkan taring para filosof Muslim yang mabuk logika Aristoteles. Ia menulis Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), sebuah pukulan telak yang menggoyang klaim rasionalisme kala itu. Tapi al-Ghazali tak berhenti di kritik. Ia menawarkan jalan lain: Sufisme. Sebuah tradisi yang, menurutnya, bukan sekadar teologi, tapi pengalaman langsung akan Tuhan.
Problem Abadi: Ilmu yang Tak Bisa Dikurung BukuSejak awal, Sufisme memang menolak dibatasi oleh teks. Buku, kata mereka, hanya petunjuk kasar. Inti ajaran harus ditransmisikan lewat tatap muka dalam ikatan guru dan murid. Membaca halaman-halaman literatur tanpa bimbingan, bukan hanya keliru, tapi bisa berbahaya. “Waktu singkat bersama sahabat Sufi lebih baik daripada seratus tahun ibadah,” tulis Rumi.
Namun, zaman modern sudah telanjur menuhankan teks. Kita hidup di era “Google is God”. Semua hal diasumsikan ada dalam buku atau mesin pencari. Para pencari jalan, dari Boston hingga Jakarta, mengira kebijaksanaan bisa dikemas dalam terjemahan rapi. Idries Shah, penulis yang mengenalkan Sufisme ke Barat lewat The Way of the Sufi, pernah mencatat ironi ini: “Kita punya lebih dari cukup terjemahan, tapi kebanyakan hanya memotret satu sisi dari teks yang multidimensional.”
Dimensi batin, yang seharusnya hidup dalam praktik, terkurung dalam kalimat. Akibatnya, Sufisme direduksi menjadi romantisme kata. Rumi dijadikan poster di kafe-kafe, sementara substansinya lenyap di balik estetika.
Baca juga: Tasawuf: Jejak Asketisme, Lintas Perdebatan, dan Bayang-Bayang Asing di Tubuh Islam Kode, Humor, dan Kaleidoskop MaknaUntuk menghindari jebakan literal, kaum Sufi menciptakan teknik unik. Mereka menulis syair, dongeng, bahkan humor, yang berlapis-lapis makna. Cerita Nasruddin Hoja yang tampak konyol, misalnya, bukan sekadar hiburan, tapi sarat sandi kesadaran. “Ini bukan lelucon,” tulis Idries Shah, “ini laboratorium berpikir.”
Namun, ketika warisan ini jatuh ke tangan para peniru, bentuk luar diabadikan, esensi hilang. Diagram dan jargon disalin, sementara rohnya lenyap. Ironi yang sama terjadi di media sosial hari ini: zikir menjadi audio viral, tetapi hampa pengalaman.
Sufisme punya ciri lain yang memicu salah paham: fleksibilitas. Ia bisa tampil dalam pakaian agama, puisi romantis, humor, atau karya seni. Seorang Sufi bisa tampak seperti teolog, filsuf, bahkan pelawak. “Kami tidak setia pada adat,” begitu kira-kira prinsip mereka.
Namun, bagi masyarakat literal, fleksibilitas ini berbahaya. Al-Hallaj dihukum mati, sebagian karena ucapannya “Ana al-Haqq” yang dianggap mengoyak ortodoksi. Di Anatolia, pengikut Haji Bektash dituding amoral karena mengizinkan perempuan hadir dalam zikir. Padahal, bagi mereka, itu cara mengembalikan keseimbangan sosial di tengah patriarki. Ironisnya, gagasan yang dulu dianggap sesat ini kini menjadi jargon kesetaraan gender.
Baca juga: Tasawuf Menurut Syaikh Al-Qardhawi: Jejak Sunyi Menuju Cahaya Jejak di Barat: Dari Kant sampai William JamesApa yang mengejutkan, ide-ide Sufi ternyata mendahului filsafat modern. Zia Gokalp, intelektual Turki awal abad ke-20, terang-terangan menyatakan kesamaan antara pemikiran Sufi dan teori Kant, Nietzsche, hingga William James. Ini membuktikan, Sufisme bukan sekadar tarian mistik, melainkan tradisi intelektual yang serius, meski memilih jalur berbeda dari akademia.
Pertanyaannya kini: di tengah krisis spiritual global, apakah dunia modern masih membutuhkan Sufisme? Lihat sekeliling. Kecemasan meluas. Orang berlari dari satu workshop meditasi ke kursus “mindfulness” berikutnya. Industri spiritual menjamur, menawarkan ketenangan dalam paket premium. Tapi, seperti kata seorang psikolog di New York Times, “Kita sedang lapar makna, tapi yang kita makan hanyalah snack rohani.”
Sufisme menjawab lapar itu dengan satu syarat: kesungguhan. “Jika kau benar-benar menginginkan ilmu, datanglah,” ujar Rumi. “Jika hanya mencari kepuasan hatimu, pergilah.” Jalan ini bukan hiburan, melainkan transformasi—sering kali menyakitkan.
Baca juga: Tasawuf: Di Antara Kekhusyukan dan Kesesatan Tantangan Era InstanMasalahnya, Sufisme menolak permanensi. Mereka percaya, setiap bentuk luar hanyalah kendaraan sementara. Jika waktunya selesai, ia harus bubar. Dalam dunia yang memuja stabilitas—dari perusahaan hingga ormas—sikap ini tampak eksentrik. Tapi bagi kaum Sufi, keabadian ada pada makna, bukan institusi.
Kini, ketika tarekat dikomersialkan dan meditasi jadi “konten”, apakah ruh Sufisme bisa bertahan? Atau ia akan larut dalam budaya instan—seperti kopi sachet yang kehilangan aroma aslinya?
Jawaban, barangkali, ada di ruang sunyi tempat guru tua tadi berbisik kepada muridnya: “Ilmu ini bukan untuk dibaca, tapi untuk dihidupi.”
(mif)