LANGIT7.ID, Jakarta -  
Kiai Haji (KH) Zainuddin Fananie yang berasal dari Desa Gontor, Ponorogo diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan dengan menempati kantor di Palembang. Pengangkatannya sebagai Konsul Muhammadiyah tersebut merupakan titik tolak kegemilangan karier Fananie muda.Oleh: Muh Husain SanusiPekan lalu di sela-sela mengunjungi ibunda saya yang sedang terbaring sakit di Palembang, saya bersama keluarga menyempatkan diri silaturrahmi ke sahabat karib satu angkatan di Pondok Modern Gontor, Kuntum Khairu Basya. Lama tak berjumpa ada banyak perubahan saya lihat dari sahabat karib saya ini. Semenjak lulus dari Gontor, Kuntum lebih dikenal sebagai seorang aktivis yang aktif di beberapa partai politik dan organisasi kepemudaan. 
Namun, hari itu saya melihat Kuntum tidak lagi seperti politikus yang hidup di hingar bingar ibukota Jakarta. Kiai Kuntum lebih tepatnya saya ingin memanggilnya ketika itu. Memang telah lama saya melihat di akun medsosnya, Kiai Kuntum beberapa kali posting kegiatannya di Pesantren Al-Basya tepatnya di Payakabung, Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Baca Juga: Ketergantungan dan Ancaman Media SosialPenasaran saya pun terjawab setelah silaturrahmi. Saya menyaksikan Kiai Kuntum kini berjuang di jalur dakwah lewat sebuah pesantren yang dibangun bersama keluarga, berlokasi hanya 1 KM dari Kampus Baru Universitas Sriwijaya, Indralaya, yakni Perguruan Tinggi Negeri terbesar di Sumatera Selatan.
Sambutannya begitu hangat, dari atas rumah kayu panggung khas rumah adat Sumatera Selatan saya dan keluarga disambut dengan senyuman merekah, dan tak lupa 
cipika-cipiki. Lama kami berbincang tentang banyak topik mulai dari trend konsep Lembaga Pendidikan Islam ideal di masa kini hingga topik konstalasi di percaturan panggung politik nasional. 
Suasananya sangat nyaman, kami berdiskusi di atas rumah kayu. Mata dimanjakan dengan pemandangan danau di belakang rumah panggung kayu dengan rerimbunan hutan di kiri-kanan.
 Baca Juga: Tentang Vaksinasi dan Kehidupan dari Pandemi ke EndemiSaat asyik berbincang, alam pikiran saya tiba-tiba terbang melayang, membayangkan peristiwa 95 tahun silam dengan fokus sosok tokoh besar dan ulama yang hingga kini pemikirannya masih dianut banyak orang. Dialah salah satu TRIMURTI Pendiri Pondok Modern Gontor, KH Zainuddin Fananie. 
KH Zainuddin Fananie adik kandung KH Ahmad Sahal dan Kakak Kandung KH Imam Zarkasyi memiliki ikatan sejarah sangat kuat dalam dakwah menyebarkan ajaran Islam di Palembang dan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Pada tahun 1926, KH Zainuddin Fananie yang kala itu masih berusia 21 tahun ditugaskan KH Ibrahim, Ketua Umum Muhammadiyah saat itu, untuk meluaskan jaringan Muhammadiyah seperti yang diamanatkan kongres Muhammadiyah ke-15. 
KH Zainuddin Fananie yang berasal dari Desa Gontor, Ponorogo diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan dengan menempati kantor di Palembang. Pengangkatannya sebagai Konsul Muhammadiyah tersebut merupakan titik tolak kegemilangan karier Fananie muda.
 Baca Juga: Mobilitas yang Menggeliat, Ekonomi yang Masih SekaratKH Zainuddin Fananie bisa dikatakan tergolong pemuda yang sangat cepat menjalani karier pekerjaan setelah menyelesaikan sekolah. Dia menjadi guru di HIS Muhammadiyah Palembang sejak 1926-1932 dan mengajar di School Opziener di Bengkulu sampai tahun 1934. 
Pergaulan KH Zainuddin Fananie sangat luas, terutama dengan para tokoh-tokoh pergerakan yang punya pengaruh dalam pergerakan pra Indonesia merdeka. Di Sumatera Selatan, KH Zainuddin Fananie bergabung dengan para aktivis Islam modernis, terutama di 4 Ulu bersama H Anang. Di 4 Ulu inilah Muhammadiyah memusatkan kegiatan pendidikan sekaligus basis pergerakannya sejak era 1930-an hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Bukan saja aktivis Muhammadiyah, KH Zainuddin Fananie juga termasuk tokoh muda reformis, beliau bergabung dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan termasuk salah satu tokoh pendiri PSII Sumatera Selatan. Dalam sebuah literatur disebutkan, KH Zainuddin Fananie merupakan salah satu tokoh PSII yang memiliki pengaruh sampai dengan periode Proklamasi Kemerdekaan RI.
Baca Juga: Mendigitalkan Kehidupan Kerja dari Ujung ke UjungKH Zainuddin Fananie memiliki kedekatan dengan seorang tokoh bernama H Mohammad Akil Kahir, seorang pedagang besar di Palembang. Keluarga H Akil dikenal luas sebagai pembela Islam modernis melalui sekolah agama yang didirikan di Kota Palembang. H Akil juga memberi bantuan keuangan dalam pembangunan sekolah HIS Muhammadiyah di kampung 17 Ilir pada 1935. 
H Akil ini disebut-sebut sebagai pendukung gerakan Kaum Muda (reformis), yang menggunakan sekolah Aliyah Diniyah sebagai markas kegiatan. Firma H Akil banyak menyokong dana bagi kepentingan Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada akhir tahun 1920-an. 
Setiap terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua yang banyak disokong pemerintahan kolonial, Muhammadiyah dan PSII tampil sebagai juru bicara kaum modernis Islam sejak tahun 1926. Sebagai da'i muda, KH Zainuddin Fananie juga aktif menyebarkan agama Islam dan berjuang menyampaikan nilai-nilai revolusi kemerdekaan.
Baca Juga: Meneropong Kesehatan Mental dalam OrganisasiKH Zainuddin Fananie aktif mengajar dan menulis banyak hal tentang pendidikan, rumah tangga, pembangunan karakter dan jiwa hingga ke beberapa daerah pelosok. KH Zainuddin Fananie menyampaikan pesan dari Palembang di setiap kota kecil yang disinggahi mulai dari Prabumulih, Lahat, Tebing Tinggi, dan Lubuk Linggau. 
KH Zainuddin Fananie tanpa lelah terus bergerak dengan penuh semangat mengobarkan kepada setiap anak bangsa saat itu agar terus bergerak melakukan perubahan untuk memancangkan keluhuran Islam dan kesejahteraan pemeluknya. KH Zainuddin Fananie diutus ke Sumatera tidak sendirian, dia berangkat bertiga bersama dengan Hamka dan Malik Siddiq. Ketiganya ditugasi untuk berdakwah dan mengajar di wilayah berbeda.
KH Zainuddin Fananie diutus sebagai konsul di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Palembang, Pagar Alam, Lahat, Bengkulu, dan Lubuk linngau). Hamka sebagai konsul di wilayah Sumatera Bagian Timur (kemudian Sumatera Bagian Barat), dan Malik Siddik sebagai konsul di Sumatera Bagian Tengah.
 Baca Juga: Fenomena Media Sosial: Saat Korban Penipuan Akhirnya Jadi PenipuKetiganya dikirim sebagai mubalig dan guru agama sekaligus mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatera. Ketiganya juga aktif dalam pergerakan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia.
Kini, kader KH Zainuddin Fananie tentunya sudah banyak di Sumbagsel. Adalah tugas kita bersama sebagai Alumni Gontor terutama yang berdomisili di Sumbagsel untuk terus menghidupkan kobaran api semangat dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam dan menggapai Ridha Allah SWT. 
Penulis adalah Alumni Gontor tahun 2000, Jurnalis Tribunnews dan Penulis Buku Trimurti, Sejarah Berdirinya Pondok Modern GontorBaca Juga:
Prof Hamid Fahmy Zarkasyi: Wasathiyah dalam Islam Beda dengan Moderat ala Barat
KH Hasan Gontor: Bukan Hanya Haji, Dagang Juga Harus Mabrur(asf)