LANGIT7.ID -  Nama Buya Hamka tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Pemilik nama lengkap Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah itu adalah seorang ulama, sastrawan, dan wartawan yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional. 
Pria kelahiran 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau Sumatera Barat itu terjun dalam dunia politik melalui Partai Masyumi. Melalui karya ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Hamka lebih dikenal sebagai sastrawan dan ulama, ketimbang pejuang kemerdekaan. Gelar pahlawan pun datang belakang. Baru menjelang Hari Pahlawan 10 November 2011, beliau mendapatkan penghargaan tersebut.
Mengutip laman uhamka.ac.id, Buya Hamka sejak selesai bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pindah ke Medan (1936) juga aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Perjuangan itu membuat beliau harus pindah ke Sumatera Barat pada 1945. Kiprah Buya Hamka dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan kian meningkat dalam kurung waktu 1945-1949. Kala itu, terjadi perang revolusi menentang Belanda. 
Pada 1947, Buya Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim. Selain itu, beliau diangkat oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.
Masa Muda Buya Hamka merupakan putra tertua dari tujuh bersaudara. Beliau dididik dalam keluarga muslim. Sang ayah, Abdul Karim Amrullah, seorang ulama tersohor dari Minangkabau. Sang ibu, Siti Shafiyah, berasal dari keluarga seniman asal Minangkabau.
Sebelum mengenyam pendidikan formal, Buya Hamka lebih dulu tinggal bersama neneknya di selatang Maninjau. Saat memasuki usia enam tahun, ia pindah untuk tinggal bersama sang ayah di Padang Panjang. 
Sesuai tradisi Minang, Buya Hamka harus belajar Al-Qur’an dan tidur di masjid dekat rumah keluarga. Setelah itu, pada 1915, ia mendaftar di SMKA Sultan Muhammad. Dua tahun setelah itu, beliau bersekolah di Sekolah Diniyah. 
Pada 1918, ia didaftarkan oleh sang ayah di Thawalib Sumatera. Buya Hamka merasa tak puas dengan kondisi pendidikannya saat itu, maka ia sering mengunjungi perpustakaan yang dikelola oleh salah satu gurunya, Afiq Aimon Zainuddin.
Di perpustakaan tersebut, Buya Hamka kerap membaca buku-buku yang membahas Jawa Tengah. Itu yang membuat dia ingin pindah ke Jawa. Setelah empat tahun sekolah, pada 1922, ia pindah ke Parabek untuk belajar di bawah asuhan Aiman Ibrahim Wong. Namun, ia tak lama belajar di tempat tersebut, karena harus segera berangkat ke Jawa. 
Satu tahun di Jawa, ia kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925. Di sana ia menulis majalah pertamanya bertema Chatibul Ummah yang berisi tentang kumpulan pidato yang ia dengar di Surau Jembatan Besi, pada 1927, ia memutuskan untuk pergi ke Mekah.
Selama di Mekah, Buya Hamka belajar bahasa Arab. Di kota nabi itulah dia bertemu dengan Agus Salim, Salah seorang jurnalis juga. Dari pertemuan itu, ia disarankan pulang ke Indonesia untuk mengembangkan karir. Ia pun memutuskan kembali ke Tanah Air setelah tujuh tahun di Mekah.
Namun Buya Hamka tidak kembali ke Padang Panjang, tapi ke Medan. Ia bekerja sebagai penulis di Majalah Pelita Andalas. Tetapi, setelah menikah dengan Siti Rahim, ia lebih aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1944, Buya Hamka dipercaya menjadi anggota Majelis Darurat yang menangani masalah pemerintahan dan Islam. Ia menerima posisi itu karena percaya pada Jepang yang menjanjikan kemerdekaan. Namun, ia justru dituding sebagai kaki tangan penjajah.
Masalah lain pun datang ketika Jepang menyerah kepada sekutu. Ia dibawa kembali ke Minangkabau setelah revolusi pecah pada 1945. Ia menerima banyak kritik tiada henti. Namun pada 1953, ia ditunjuk menjadi pemimpin utama Muhammadiyah di Purwokerto.
Pada 1962, sayangnya Partai Masyumi dibubarkan. Dari masalah itu, atas usulan PKI, Buya Hamka dituduh melanggar Undang-Undang Anti Subversif Perpres Nomor 11 yaitu merencanakan melawan presiden. Dia pun harus dijebloskan ke dalam penjara selama dua tahun. Ia baru dibebaskan pada 1966, di akhir kekuasaan Presiden Soekarno.
Tafsir Al-Azhar dan Jeruji BesiBuya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar saat mendekam selama dua tahun empat bulan di penjara. Dalam buku ‘Ayah’ yang ditulis putranya, Irfan Hamka, ulama yang dikenal selalu berusaha menghindari konflik sekecil apa pun dengan siapa pun itu tidak pernah menaruh dendam dengan Bung Karno.
Bahkan, pria yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Kairo itu mengaku berterima kasih kepada Bung Karno karena sempat memenjarakannya sejak 1964.
“Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu,” ujar Hamka.
Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir. Untuk menghargai setiap jasanya, nama beliau pun diabadikan untuk nama universitas yaitu Universitas Muhammadiyah Hamka. Nama belia kian melekat di hati masyarakat Indonesia setelah memperoleh gelar Pahlawan Nasional.
(jqf)