LANGIT7.ID-Di sebuah dunia yang gemar menegakkan hukum dengan palu dan vonis, Syaikh Yusuf Qardhawi justru mengingatkan: masyarakat tidak bisa ditegakkan dengan hukum belaka. “Sesungguhnya Islam bukanlah sekadar hukum dan perundang-undangan belaka,” tulisnya dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah (Citra Islami Press, 1997).
“Islam adalah aqidah yang menafsirkan kehidupan, ibadah yang mendidik jiwa, akhlak yang membersihkan hati, dan adab yang memperindah kehidupan.”
Di tangan Qardhawi, hukum bukanlah teks kaku yang hanya berbicara dalam pasal dan hukuman. Ia adalah napas yang mengalir dalam tatanan sosial.
Ayat-ayat hukum (tasyri‘) dalam Al-Qur’an, kata Qardhawi, “tak sampai sepersepuluh dari keseluruhan isi kitab.”
Selebihnya adalah kisah, dakwah, nasihat, dan peringatan. Campuran lembut antara janji dan ancaman, taujih (arahan) dan tarbiyah (pendidikan).
Hukum yang BerjiwaLihatlah bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang talak, pernikahan, atau pencurian. Bukan sekadar aturan, tapi seruan untuk menata hati.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya,” (Al-Maidah: 38) — ayat yang sering dikutip sebagai contoh “kerasnya hukum Islam” — ternyata diapit oleh kalimat-kalimat yang menggigilkan nurani: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al-Maidah: 39)
Di sana, hukum tak berdiri sendiri. Ia datang bersama kesadaran moral, seruan taubat, dan peringatan akan keadilan Ilahi. “Dalam susunan hukum Islam,” tulis Qardhawi, “setiap tasyri‘ selalu berdampingan dengan dakwah dan tarbiyah — seperti jasad dengan ruh.”
Sejarah kerasulan sendiri memberi pelajaran. Sebelum turun peraturan, datanglah pembentukan hati. “Mekah,” tulis Qardhawi, “adalah marhalah dakwah dan tarbiyah.” Barulah Madinah menjadi marhalah tasyri‘ dan tanzhim (perundang-undangan dan strukturisasi).
Di Mekah, Rasulullah tidak menegakkan hukum potong tangan, tapi menanamkan keimanan. Baru setelah iman tumbuh, hukum hadir sebagai pengatur, bukan pemaksa. Hukum menjadi puncak dari sebuah proses panjang pembentukan manusia.
“Mengubah undang-undang saja tidak cukup,” tulis Qardhawi, “yang paling asasi adalah mengubah apa yang ada di dalam jiwa manusia.”
Pencegahan Sebelum PenghukumanIslam, bagi Qardhawi, adalah sistem yang lebih sibuk menutup pintu dosa ketimbang menghukum pelakunya. Ia memberi contoh dari surat An-Nur, yang menyinggung zina — sebuah kejahatan moral yang kerap dijadikan simbol ketegasan syariat.
Namun Qardhawi mengingatkan: “Al-Qur’an hanya menyebut hukumannya dalam satu ayat, tapi memuat puluhan ayat lain untuk mencegahnya.”
Ayat 2 berbicara tentang hukuman dera, tapi ayat-ayat setelahnya bicara tentang adab berkunjung (ayat 27), menjaga pandangan (ayat 30–31), hingga perintah menikahkan mereka yang masih sendiri (ayat 32).
“Islam datang bukan untuk menghukum orang yang menyimpang,” tulisnya, “tetapi untuk memberi pengarahan kepada orang baik agar tidak menyimpang.”
Dengan kata lain, had (sanksi) hanyalah ujung dari piramida sosial. Puncak yang kecil dari fondasi besar pendidikan, iman, dan kesadaran moral.
Lebih dari Sekadar HukumanDalam tafsir Qardhawi, kriminalitas tak dapat diberantas dengan cambuk dan penjara. Ia hanya bisa dikurangi dengan pencegahan sistemik — lewat pendidikan akhlak, dukungan sosial, dan pernikahan yang dimudahkan.
“Pemerintah,” tulisnya, “memiliki tanggung jawab sosial: memudahkan sarana halal dan menutup jalan haram.” Termasuk menurunkan biaya pernikahan, menghapus hambatan sosial, dan menciptakan ruang moral yang sehat.
Hukum, dalam pandangan Islam, bukan alat represif. Ia adalah pagar lembut yang berdiri di sekitar taman akhlak.
Ketika Iman Menjadi Undang-UndangDi tengah perdebatan dunia Islam modern — antara syariat yang ingin ditegakkan dan kebebasan yang ingin dipertahankan — Qardhawi seolah mengingatkan jalan tengah: hukum tidak akan hidup tanpa jiwa.
“Imanlah yang membentuk manusia menjadi makhluk yang sempurna,” tulisnya. “Keimanan memberi motivasi, menjadi standar nilai, dan menuntun amal hingga memperoleh balasan di dunia dan akhirat.”
Di situlah Qardhawi menempatkan inti Islam: bukan pada cambuknya, tapi pada kesadarannya. Bukan pada hukumnya, tapi pada ruh yang menegakkan hukum itu.
(mif)