LANGIT7.ID, Jakarta -
Haji Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) ditunjuk menjadi pemimpin jemaah haji pada 1950. Catatan perjalanan tersebut tertuang dalam sebuah buku berjudul “Mandi Tjahaja di Tanah Sutji” yang diterbitkan pada 1951.
Koordinator Monograf dan Berkas Langka Perpustakaan Nasional RI, Yeri Nurita, mengatakan, buku tersebut masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional. Buku Hamka itu menjadi salah satu koleksi langka Perpusnas terkait jemaah haji asal Indonesia.
“Membaca buku Buya Hamka ini seperti kita terbawa ke masa lampau, bagaimana suasana haji di sana,” kata Nurita dalam webinar Haji dalam Lintas Sejarah; Perspektif Arsiparis, Sejarawan, dan Pustakawan, dikutip Rabu (25/1/2023).
Baca Juga: Kisah Buya Hamka Diangkat ke Layar Lebar, Tayang Idul Fitri
Dalam buku itu diceritakan, Buya Hamka naik kapal Kota Baru dari Pelabuhan Tanjung Priok pada 16 Agustus 1950. Dia ditunjuk Majelis Pimpinan Haji (MPH) sebagai pemimpin jemaah haji di kapal tersebut sebanyak 970 orang.
1950 merupakan tahun kemerdekaan yang diakui di tengah bangsa-bangsa di dunia. Juga tahun pertama urusan haji dipegang oleh Pemerintah Indonesia. Artinya, itu pertama kali urusan haji tidak lagi bergantung pada kebijakan pemerintah kolonial.
Banyak cerita-cerita menarik dalam buku tersebut. Di antaranya, Buya Hamka merenungkan ibadah wukuf. Dia melihat semua orang dari berbagai bangsa berkumpul dengan pakaian yang sama. Tidak ada perbedaan antara raja dan rakyat jelata.
Dalam buku Buya Hamka, ditampilkan pula foto lawas tentang makam Rasulullah. Ada pula foto yang menampilkan Buya Hamka diterima oleh putra mahkota Raja Saud. Hal paling menarik, Buya Hamka mendapat undangan resmi untuk menghadiri jamuan makan di Kerajaan Arab Saudi.
Baca Juga: Gus Muhaimin Kenang Kontribusi Buya Hamka Merawat Bangsa
“Pemerintah Saudi Arabia memang terbiasa mengundang para delegasi dari negara-negara untuk jamuan makan. Ketika ada pertemuan itu, semua delegasi dari negara bertemu. Diceritakan juga dalam buku,” kata Nurita.
Perjamuan di istana Arab Saudi itu digelar pada 8 Dzulhijjah. Hamka melukiskan acara makan itu dengan ironi tajam, apalagi amat kritis terhadap puji-pujian kelewat muluk yang dialamatkan kepada Raja Abdul Aziz. Menurut Hamka, hal tersebut tidak sesuai dengan adat dan sejarah bangsa Indonesia.
“Hampir selama tiga bulan lebih (kembali ke Tanah Air pada Oktober 1950. Buya Hamka mengumpulkan fragmen pengalamannya berhaji dalam sebuah buku,” ucap Nurita.
Di akhir buku itu, Buya Hamka menggambarkan perasaan bahagia. Meski banyak kesusahan didapat selama perjalanan haji, tapi Buya Hamka merasa sangat bahagia bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut.
Baca Juga: Upaya Buya Hamka Jaga Independensi MUI dari Intervensi Penguasa
“Pasir dan debunya telah tinggal, panas teriknya dan kesulitan di sana hanya tinggal dalam ingatan saja. Bekasnya yang abadi dari ibadahku telah turun ke dalam dasar jiwaku. Adapun susah, maka dari kecilku aku telah belajar susah. Kesusahan telah dikalahkan oleh nikmat cinta.” tulis Hamka.
(jqf)