LANGIT7.ID, Jakarta -
LANGIT7.ID, Jakarta- Wakil Gubernur Jawa Timur,
Emil Dardak, memiliki kisah saat menuntut ilmu di sekolah top dunia yang membentuk diri menjadi salah satu politikus sukses Indonesia.
Seperti diketahui, wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak sempat menghabiskan masa muda dengan mengenyam pendidikan di luar negeri.
Pria yang akrab disapa Emil ini merupakan salah satu lulusan sekolah terbaik di Singapura yakni Raffles Institution. Pada 2001 saat berusia 17 tahun, dia sudah memperoleh gelar diploma dari Melbourne Institute of Business and Technology.
Baca Juga: Kisah Abdur Raheem Green, Muallaf Asal Inggris Jadi Pendakwah
Emil kemudian meneruskan pendidikan S1 di University of New South Wales, Australia. Sedangkan, S2 dan S3 didapatkan dari Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang. Latar belakang pendidikan tersebut membuat politikus partai Demokrat mampu menjadi salah satu tokoh sukses di Indonesia.
Hanya saja, Emil menampik bahwa pendidikan di luar negeri otomatis lebih baik. Menurut dia, seorang pelajar tidak hanya mencari kurikulum yang bagus dari sebuah lembaga pendidikan, yaitu ekosistem.
“Contoh saya kuliah di Jepang, itu kan nama kampusnya Ritsumeikan Asia Pacific University yang didirikan di awal tahun 2000-an. Jepang menurut saya negara maju yang kultur teknologinya tinggi, tentu saya ingin tahu rasanya hidup di Jepang,” kata Emil saat ditemui Langit7 di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Muhammad Ali, Legenda Tinju Dunia Jadi Muslim Berpengaruh
Ritsumeikan Asia Pacific University menurut Emil juga memiliki kelebihan lain, yakni punya perwakilan dari 80 negara yang meliputi mahasiswa hingga dosen. Pertemuan dengan wakil dari berbagai negara itulah yang memperluas pengalaman, wawasan, dan jejaring.
“Bahkan di lingkungan mahasiswa muslimnya cenderung heterogen, ada yang dari Timur Tengah, Afrika, dari negara-negara lain juga. Mereka juga merantau untuk mendapatkan pendidikan di negara lain, Itu kan nilai-nilai yang bagus bisa kita petik,” ujar Emil.
Kendati demikian, memang ada beberapa lembaga pendidikan di luar negeri yang secara kualitas harus diakui. Emil mencontohkan Raffles Institution di Singapura sebagai sekolah yang pernah melahirkan Lee Kuan Yew dan politisi top di Singapura saat ini.
Baca Juga: Kisah Buya Hamka Pimpin Jemaah Haji Setelah Indonesia Merdeka Raffles Institution memiliki kualitas pendidikan yang patut diacungi jempol. Baik kurikulum dan tenaga pengajar dipilih dari orang-orang terbaik. Kepala sekolah yang mengampu lembaga pendidikan itu adalah lulusan Harvard University, Amerika Serikat.
“Jebolan dari kepala sekolah itu akhirnya menjadi Dirjen pendidikan, jabatan nonpolitis tapi tertinggi di sektor pendidikan di Singapura. Jadi kan, luar biasa,” kata Emil.
Selain itu, Raffles Institution yang menerapkan pendidikan asrama memberikan pembelajaran lain bagi mantan Bupati Trenggalek ini. Pasalnya, tenaga kebersihan di sana memperhatikan dari hal terkecil, seperti kebersihan kamar. Emil mengaku pernah dimarahi karena kamarnya berantakan.
Baca Juga:
Keteladanan dan Kontribusi KH Hasyim Asy'ari untuk Negeri Keunggulan lain dari Raffles Institution adalah keberanian memperkenalkan
e-learning. Emil menyebut bahwa cara ini sudah diterapkan sejak 1999 dengan cara sepekan masuk sekolah dan sepekan belajar dari rumah. Cara ini dilakukan untuk melatih kedisiplinan, teknologi, hingga kemampuan kritis siswa.
“Pendidikan untuk mereka itu hal yang mutlak, penting untuk kaderasisasi bangsa, dan di sekolah itu kita juga bukan hanya belajar di kelas, tapi kita juga berkegiatan di luar sekolah,” ujar Emil.
Emil bersama siswa lain pernah dikirim ke sebuah pulau untuk berkemah. Bukan untuk berwisata, dalam kegiatan itu para siswa dilatih untuk bertahan hidup. Lokasi berkemah yang dipilih tak dilengkapi toilet, hingga harus menggunakan kayu bakar untuk membuat api unggun dan memasak. Cara ini dipilih untuk melatih kepemimpinan siswa.
Baca Juga: Kisah Siti Asiyah, Istri Firaun yang Dijamin Masuk Surga
“Juga yang tidak kalah penting bahwa ekstrakurikuler bagi mereka itu penting. Jadi, ada poinnya. Poin ini menjadi salah satu syarat kelulusan,” ujar Emil.
Saat belajar pun tidak sekadar terfokus pada
what, when, who, why, and how. Tapi juga belajar
what if. Siswa sering diajari simulasi tentang peristiwa sejarah masa lalu. Cara itu melatih para siswa untuk mendalami sebuah pelajaran.
“Kami melakukan simulasi terhadap berbagai macam peristiwa masa lalu. Jadi, kita diajari betul untuk berfikir kritis dan imajinatif. Inilah yang saya tangkap, tidak banyak pertanyaan tapi juga banyak essai,” pungkas Emil.
(jqf)