Dr.H. MUSTOFA,M.Ag.
Sekretaris Program Studi Ekonomi Islam (S2) Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
LANGIT7.ID-Pada era masyarakat 5.0 yang merupakan konsep tentang berdampingannya antara teknologi dan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan, teknologi ini akan ditemui dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ekonomi, kebijakan, dan lainnya. Hal ini menyebabkan banyak elemen baru memasuki kehidupan masyarakat yang belum didefinisikan secara jelas terutama mengenai kedudukan hukumnya.
Adapun Tatanan hukum di Indonesia berorientasi pada keragaman agama dan budaya lokal, namun secara realitas masih menghadapi kesulitan untuk menjauhi warisan hukum dari kolonial. Hal itulah mengapa perumusan aturan hukum di Indonesia berasal dari tiga komponen hukum, yaitu : Hukum Adat, Hukum Positif, dan Hukum Islam. Sedangkan Usul Fiqh adalah ilmu yang penting untuk menghasilkan hukum Islam yang responsif dan mudah beradaptasi dengan isu-isu kontemporer, karena mencakup kumpulan metode, dasar, pendekatan, dan teori yang digunakan untuk memahami ajaran Islam.
Baca juga: Kolom Pakar: Investasi Syariah dan Risiko Yang Akan DitanggungDalam pembentukan hukum Islam di Indonesia, ada lembaga yang bertugas untuk peran tersebut, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menerbitkan fatwa. Selain itu, ada beberapa organisasi Islam yang juga memiliki lembaga yang didedikasikan untuk mempelajari dan merekomendasikan pendapat organisasi tentang masalah hukum di masyarakat.
Indonesia memiliki banyak organisasi kemasyarakatan yang membahas dan menghasilkan undang-undang yang dapat diimplementasikan oleh masyarakat terkait hal-hal baru yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial Islam terbesar di Indonesia dengan kurang lebih 108 juta anggota.
Nahdlatul Ulama (NU) berarti "Kebangkitan para Ulama" atau "Kebangkitan para Ulama." NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926. Nahdlatul Ulama memiliki sejarah panjang dalam konteks bangsa Indonesia, dari zaman kolonial hingga zaman modern. Sebagai organisasi Islam besar di Indonesia dengan basis keanggotaan yang besar, Nahdlatul Ulama juga memberikan opini tentang isu-isu yang muncul di Indonesia.
Dalam memutuskan masalah hukum, Nahdlatul Ulama memiliki forum yang disebut Bahtsul Masail, yang dikoordinasikan oleh badan Syuriyyah (legislatif) Nahdlatul Ulama. Forum ini bertanggung jawab untuk mengambil keputusan mengenai hukum Islam yang berkaitan dengan masalah fiqh (fiqh matters), serta masalah keimanan bahkan masalah tasawuf (tariqa). Forum ini biasanya dihadiri oleh anggota Syuriyyah dan ulama NU yang berada di luar struktur organisasi, termasuk pengasuh pesantren dan intelektual NU.
Menurut A. Ma’ruf Asrori (2011:vii) melalui forum Bahtsul Masail, kyai Nahdlatul Ulama selalu aktif terlibat dalam membahas isu-isu terkini dan kontemporer. Mereka berusaha secara optimal untuk mencari solusi atas kebuntuan hukum dalam hukum Islam akibat perkembangan sosial di masyarakat. Sementara itu, tidak ada dasar tekstual untuk isu-isu ini dalam Al-Qur'an dan Hadis, atau jika ada dasar, itu diungkapkan secara tidak jelas.
Pada Kongres NU ke-33 pada tahun 2015, Bahtsul Masail bertransformasi menjadi lembaga yang didirikan oleh NU. Lembaga Bahtsul Masail merupakan salah satu dari 18 lembaga yang dibentuk di lingkungan NU, yang bertujuan untuk memperkuat fondasi NU dalam melakukan berbagai kegiatan organisasi.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU menetapkan bahwa: "Lembaga adalah aparatur departemen dari Organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama mengenai kelompok masyarakat tertentu dan/atau yang memerlukan penanganan khusus". (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ART NU, Hasil Mukatamar Ke 33 NU Th 2015 , di ∆Jombang- Jawa Timir. Bab V, Pasal 17, ayat 1.)
Usul Fiqh sebagai Metode Istinbath Hukum pada Bahtsul Masail NUSahal Mahfudh dalam bukunya
Nuangsa Fiqh Sosial (1994 : 45-46) menjelaskan bahwa konsep istinbath hukum (turunan dan penetapan hukum) di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) tidak melibatkan pengekstrakan hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Sebaliknya, proses turunan hukum dilakukan dengan secara dinamis mengkorelasikan teks-teks fuqaha (teks-teks eksplisit dalam literatur agama) dalam konteks isu-isu yang dicari putusan hukum.
Istinbath langsung dari sumber-sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan Hadits, yang cenderung mengarah pada makna ijtihad (penalaran hukum independen), masih sangat menantang bagi para ulama Nahdlatul Ulama karena keterbatasan pengetahuan, terutama dalam ilmu-ilmu pendukung dan pelengkap yang harus dikuasai oleh mujtahid (orang yang menjalankan ijtihad).
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, sering disingkat Aswaja, adalah kelompok yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan orang-orang suci dan ulama. Secara khusus, Aswaja yang dikembangkan di Jawa mengikuti Imam Syafi'i dalam fiqh (yurisprudensi Islam), Imam Abu al-Hasan al-Ash'ari dalam teologi, dan Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Shadhili dalam tasawuf.
Sejak awal, Nahdlatul Ulama telah menetapkan pemahaman Aswaja sebagai dasar ideologi agamanya, yang mencakup ajaran keyakinan, tasawuf, dan fiqh. Aswaja dipahami oleh para ulama Nahdlatul Ulama sebagai komunitas Muslim yang mempraktikkan sesuatu yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya (
ma ana alayh wa aṣḥabi).
Prinsip Dasar
al-tawassuṭ, Jalan tengah, menghindari ekstrem di kedua sisi. Dalam perspektif Aswaja, baik di bidang hukum, kepercayaan, maupun etika, prinsip moderasi selalu diutamakan. Dalam masalah sosial, ia mewujudkan prinsip menegakkan keadilan dan integritas dalam kehidupan masyarakat, berfungsi sebagai panutan sambil menghindari segala bentuk pendekatan ekstrem. Moderasi Aswaja tercermin dalam metodenya untuk menurunkan hukum, yang tidak hanya mengandalkan sumber tekstual (naṣh) tetapi juga mempertimbangkan peran akal. Demikian juga, dalam wacananya, ia berusaha menjembatani wahyu dengan pemikiran rasional. Metode ini diterapkan oleh empat aliran pemikiran dan generasi berikutnya dalam merepresentasikan putusan hukum.
tawazun, Menjaga keseimbangan dan harmoni, memastikan keseimbangan yang tepat antara kepentingan duniawi dan spiritual, kebutuhan pribadi dan komunal, serta keprihatinan saat ini dan masa depan. Sikap netral (tawazun) Aswaja berkaitan dengan posisi politik mereka. Aswaja tidak selalu mendukung kelompok ekstremis. Namun, ketika dihadapkan dengan otoritas yang menyimpang, mereka tidak ragu untuk menjauhkan diri dan membentuk aliansi. Dengan kata lain, kadang-kadang mereka bisa akomodatif, sementara di lain waktu mereka mungkin mengadopsi sikap yang lebih tegas, masih dalam batas-batas tawazun.
al-tasamuh, Bersikap toleran terhadap pandangan yang berbeda, terutama dalam hal-hal yang dianggap furu'iyah, mencegah perasaan terganggu dan bermusuhan, sebaliknya menumbuhkan persaudaraan Islam. Berbagai gagasan yang muncul dalam komunitas Muslim mendapat pengakuan apresiatif. Keterbukaan yang luas untuk menerima pendapat yang berbeda ini memungkinkan Aswaja memiliki kemampuan untuk mengurangi berbagai konflik internal di dalam masyarakat. Karakteristik ini terutama terlihat dalam diskusi seputar pemikiran hukum Islam, mewakili wacana paling realistis yang menyentuh hubungan sosial.
ta’adul (Ketidak-berpihakan), Aswaja tercermin dalam peran mereka dalam kehidupan sosial, cara interaksi mereka, dan kondisi sosial mereka dengan sesama Muslim, karena mereka tidak melabeli kelompok lain sebagai dan secara konsisten menunjukkan toleransi terhadap Muslim lain serta kemanusiaan pada umumnya.
Amar Ma'ruf Nahi Munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan), Dengan prinsip ini, kepekaan akan muncul dan mendorong perbuatan baik dalam kehidupan bermasyarakat, serta kesadaran yang tinggi untuk menolak dan mencegah apa pun yang dapat membawa kehidupan ke kedalaman kesalahan. Jika keempat prinsip ini dipertimbangkan dengan cermat, dapat dilihat bahwa karakteristik dan ajaran inti Aswaja adalah sumber belas kasihan bagi alam semesta.
Pada Konferensi Nasional Ulama tahun 1992 di Lampung, Forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengalami perkembangan yang signifikan dalam merumuskan metode istinbath hukum. Ada tiga metode istinbath dalam Bahtsul Masail 1992: qauli, ilhaqi, dan manhaji.a.
Metode QauliMenurut Ahmad Zahro dalam Tradisi Intelektual NU (1999:118), metode
qauli adalah cara istinbath hukum yang ditetapkan dengan mengacu pada kitab-kitab fiqh para imam mazhab pemikiran. Konsep ini dibuktikan dengan fakta bahwa hampir semua keputusan yang dibuat oleh lembaga tersebut mencakup pendapat seorang imam, dengan memerhatikan teks itu sendiri. Metode ini menempati posisi utama dan mengatasi masalah dengan menggunakan kutipan (ibarah) dari teks sekolah.
Metode ini menggunakan pendekatan tekstual. Jika hanya satu pendapat yang ditemukan mengenai masalah yang dibahas, jawabannya diambil dari teks itu. Namun, jika ditemukan banyak pendapat tentang masalah yang sama, keputusan kolektif (taqrir jama'i) dibuat untuk memilih satu pendapat di antara beberapa pendapat. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama telah menetapkan prosedur untuk memilih pendapat ketika ada banyak pandangan pada satu isu dengan cara memilih pendapat yang lebih bermanfaat (mashlahat) atau lebih kuat. Sebisa mungkin, berpegang teguh pada ketentuan Kongres Nahdlatul Ulama Pertama, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan memilih:
- Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syakhani (al-Nawawi and al-Rafi'i),
- Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi sendiri,
- Pendapat yang dipegang oleh al-Rafi'i sendiri,
- Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama,
- Pendapat ulama yang paling berpengetahuan,
- Pendapat ulama yang paling saleh. (Ahmad Muhtadi Anshor, Bath Al-Masail Nahdlatul Ulama Melacak Dinamika Pemikiran Mahzab Kaum Tradisionalis, Teras, Yogjakarta, 2012 : 84-89)
Secara sederhana, pemilihan pendapat dalam Bahtsul Masail berdasarkan pada pendapat yang paling menguntungkan dan pendapat yang paling valid dari perspektif pembuktiannya.
Ilhaqi Method (Analogi)Metode Ilhaqi digunakan ketika metode
qauli tidak dapat diimplementasikan karena tidak adanya jawaban tekstual dari teks. Prosedur untuk
ilhaqi melibatkan pertimbangan kriteria berikut: (a)
Mulhaq bih (sesuatu yang tidak memiliki ketentuan hukum). (b)
Mulhaq alaih (sesuatu yang sudah memiliki ketentuan hukum). (c)
Wajh al-ilhaq (faktor kesamaan antara
mulhaq bih dan mulhaq alaih). Metode penanganan kasus melalui ilhaqi praktis mirip dengan metode qiyas. Menurut Ahmad Muhtadi (2012 : 84 – 89) perbedaan antara qiyas dan ilhaqi. Qiyas itu menyamakan hukum sesuatu yang tidak memiliki ketentuan yang ditetapkan dengan sesuatu yang memiliki aturan yang mapan berdasarkan teks-teks Al-Qur'an dan Hadis. Sebaliknya, ilhaqi menyamakan putusan sesuatu yang tidak memiliki ketentuan yang ditetapkan dengan sesuatu yang memiliki putusan definitif berdasarkan teks sumber hukum yang diterima.
Metodologi kasuistik ketika Metode Qawli dan Ilhaqi Tidak dapat Menyelesaikan Masalah (Manhaji) Ahmad Muhtadi mengatakan bahwa pada situasi ketika masalah tidak dapat diselesaikan melalui metode
Qawli dan Ilhaqi, lembaga Bahtsul Masail menggunakan pendekatan metodologis untuk mengatasi masalahnya. Metode ini didefinisikan sebagai pendekatan pemecahan masalah yang mengikuti garis penalaran dan prinsip-prinsip hukum yang ditetapkan oleh para imam dari aliran pemikiran. Metode
Manhaji, yang berarti metodologis, menetapkan hukum dengan mengidentifikasi kebijaksanaan yang mendasari (
illah) yang bermanifestasi sebagai manfaat (
mashlahah) dalam hukum.
Metode ini digunakan untuk menentukan putusan hukum suatu masalah berdasarkan hierarki sumber hukum Islam yang dikembangkan oleh keempat imam sekolah. Keabsahan penggunaan metode Manhaji secara resmi diatur dalam hasil Kongres Alim Ulama 1992 di Lampung. Ini menyatakan bahwa jika tidak ada pendapat dalam teks sekolah dan
ilhaqi tidak memungkinkan, maka istinbat kolektif dilakukan mengikuti prosedur metodologis yang digariskan oleh para ahli.
Sementara itu, operasionalisasi istinbat kolektif ini dilakukan dengan mengamalkan
qawaid al-ushuliyyah dan
qawa'id al-fiqhiyyah oleh para ahli. (Ma’ruf Asrori, 471-473) Pendekatan
Manhaji merupakan cara menyelesaikan masalah hukum berdasarkan alasan dan prinsip yang ditetapkan oleh imam mazhab.
Pendekatan
Manhaji adalah sistem yurisprudensi yang bertujuan untuk melestarikan ajaran Al-Qur'an dan Hadis untuk menjaga keutuhan dan kesucian agama. Hal ini juga karena ajaran Al-Qur'an dan Hadis harus dipahami dan ditafsirkan melalui kerangka pemahaman dan metode yang dapat dibenarkan dalam kebenarannya.(Ahmad Muhtadi Anshor, Bath Al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika Pemikiran Mahzab Kaum Tradisionalis)
Metode
Manhaji merupakan terobosan baru yang mencerminkan kesadaran akan historisitas produk hukum para sarjana sebelumnya. Keputusan mereka diakui sebagai hasil ijtihad berdasarkan teks-teks syar'i, yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya pada waktu dan tempat mereka. Hal ini menjawab tantangan metodologis yang dihadapi oleh yurisprudensi, yaitu tuntutan untuk mengakomodasi setiap perkembangan dan perubahan di masyarakat. (M. Imdadun Rahmat, Kritik Nalar Fikih NU: Transformasi Paradigma Bahsul Masail, vi-vii)
Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail 2015Pada Kongres NU ke-33 pada tahun 2015, Bahtsul Masail bertransformasi menjadi lembaga yang didirikan oleh NU, yang dikenal sebagai LBM NU. Dalam kongres ini juga dibahas isu-isu terkait metode
istinbat al-ahkam. Hal ini tercermin dalam uraian permasalahan mengenai perumusan metode istinbat al-ahkam, menekankan perlunya adanya metode istinbath hukum yang siap pakai. Menurut Nahdlatul Ulama, munculnya kasus fiqh baru yang tidak dapat diselesaikan melalui kutipan dalam naskah-naskah yang ada adalah mungkin. Untuk mengatasi kasus-kasus fiqh baru ini, melalui Lampung Munas pada tahun 1992, NU menetapkan prosedur berikut: "Dalam kasus di mana suatu masalah belum diselesaikan dalam teks, itu harus ditangani melalui prosedur ilhaqul-masail bi nadha'iriha secara kolektif.
Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan mulhaq dan mulhaq bih dengan mulhiq yang berkualitas. Dalam proses
ilhaqul-masail bi nadha'iriha, prinsip fiqhiyyah dapat digunakan sebagai kerangka metodologis. Jika kasus fiqh tidak dapat diselesaikan dengan prosedur ilhaq, Nahdlatul Ulama memutuskan: "Dalam kasus di mana
ilhaq tidak dimungkinkan karena tidak adanya
mulhaq bih dalam teks, istinbath kolektif harus dilakukan. Muncul pertanyaan: bagaimana istinbath kolektif diorganisir disertau dengan mempraktikkan prinsip-prinsip
ushuliyyah dalam komunitas Nahdlatul Ulama? Dengan tetap mengacu pada kitab-kitab ushul fiqh, dalam mengorganisir istinbath kolektif, Nahdlatul Ulama menetapkan metode
istinbath al-ahkam yang sederhana, yaitu metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi. (Rumadi dkk. Dkk, Hasil-Hasil Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama, Jakarta: LTN PBNU, 2016 : 153)
Metode BayaniMenurut Rumadi, metode Bayani mengacu pada proses memperoleh hukum dari Al-Qur'an dan Hadis. Istilah lain untuk metode ini adalah manhaj istinbath al-ahkam minal-nushuush. Teks-teks yang dimaksud dapat mencakup ayat-ayat tertentu (nash juz'i-tafshili), ayat-ayat umum (nash kulli-ijmali), dan prinsip-prinsip umum. Dalam konteks pengambilan putusan hukum dari naskah-naskah dengan metode Bayani, Nahdlatul Ulama telah menetapkan lima langkah prosedural untuk proses ini.
Analisis sabab al-nuzul or wurud, ini termasuk penyebab makro dan mikro. Sabab mikro al-nuzul mengacu pada alasan-alasan khusus (asbab al-nuzul al-khoshshoh) yang mendasari wahyu ayat atau hadis tertentu. Sebaliknya, makro sabab al-nuzul mengacu pada alasan umum (asbab al-nuzulal-`ammah) yang memberikan konteks sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi dari pengungkapan Qur'an dan hadits.
Menganalisis naskah ayat dan hadis dari perspektif aturan bahasa (al-qawa'id al-ushuliyyah al-lughawiyyah), Analisis ini melibatkan tiga studi simultan: analisis kata, analisis makna, dan analisis kontekstual.
Menghubung-kan teks, ini melibatkan menghubungkan teks yang sedang dipelajari dengan teks terkait lainnya. Teks yang dipelajari harus dihubungkan dengan yang lain, karena teks-teks hukum Islam (Al-Qur'an dan Hadis) merupakan satu kesatuan yang kohesif. Satu ayat berhubungan dengan yang lain, satu hadis dengan yang lain, dan ayat-ayat berhubungan dengan hadis dan sebaliknya. Sebuah teks dapat berfungsi untuk memperkuat, mengklarifikasi pernyataan umum, membatasi frasa absolut, membatasi keumuman frasa, atau menjelaskan istilah yang ambigu.
Relating the text being studied to maqashid al-syari’ah (connecting texts to the objectives of Islamic law),
Maqashid al-syariah (tujuan umum Syariah) secara inheren terhubung dengan teks-teks Syariah. Maqashid muncul dari dan mengacu pada teks-naskah, sementara menafsirkan naskah-naskah ini juga harus mempertimbangkan maqashid al-syariah. Ini termasuk dalam kategori menghubungkan yang khusus dengan yang universal. Secara khusus, hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, rumusan hukum yang berasal dari teks harus selaras dengan kesejahteraan umat manusia, sebagai tujuan akhir Syariah, asalkan apa yang diasumsikan sebagai kesejahteraan tidak bertentangan dengan teks itu sendiri.
Menafsirkan teks jika perlu, pada prinsipnya, setiap istilah multi-makna harus ditafsirkan sesuai dengan makna utamanya, yang jelas, harfiah, dan dominan. Namun, studi komprehensif tentang teks dapat mengarahkan kita untuk melakukan interpretasi (ta'wil), yang melibatkan pergeseran istilah dari maknanya yang jelas, harfiah, dan dominan ke makna tersembunyi, metaforis, atau kurang disukai. Penafsiran tidak boleh dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan teks dengan keinginan pribadi atau untuk menyesuaikan Syariah agar sesuai dengan konteks situasional, karena hanya dapat dilakukan ketika diminta oleh bukti.
Metode QiyasMetode ini dipahami sebagai deduksi analogis. Menurut Muhammad Hashim Kamali (255) Secara teknis, qiyas adalah perluasan nilai syariah yang ada dalam kasus asli (asl) ke kasus baru (far), karena yang terakhir memiliki penyebab yang sama ('illat) dengan yang pertama. Mayoritas ulama mendefinisikan qiyas sebagai penerapan putusan (hukm) dari kasus asli (asl) pada kasus baru (far), di mana hukum tidak memberikan komentar, karena adanya penyebab yang sama ('illat) dalam kedua kasus tersebut. Nahdlatul Ulama mendefinisikan metode qiyas sebagai metode ijtihad melalui pendekatan analogis.
Qiyas sendiri didefinisikan sebagai menyamakan kasus yang tidak memiliki referensi tekstual (nash) dengan kasus lain yang memiliki referensi tekstual mengenai keputusannya, asalkan keduanya berbagi 'illat' yang sama. Sebagai salah satu metode penalaran hukum, metode qiyasi dianggap sah karena memiliki mekanisme kerja.
Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama telah menetapkan pilar dan syarat agar qiyas diakui sah, meskipun rukun dan syarat tersebut tidak berbeda dengan yang dirumuskan oleh para ulama dalam berbagai karya ushul fiqh.Misalnya, mengonsumsi khamr adalah kasus yang memiliki referensi tekstual yang menyatakannya haram (dilarang). Sementara itu, mengonsumsi bir adalah kasus lain yang tidak memiliki referensi tekstual mengenai keputusannya. Karena khamr dan bir berbagi 'illat yang sama, yaitu keracunan, mengonsumsi bir disamakan dengan mengonsumsi khamr dalam keputusannya, yang juga haram. (Muhamamd Hashim Kamali).
Qiyas terdiri dari empat pilar: Al-Ashl, yang mengacu pada kasus yang memiliki putusan hukum berdasarkan teks (nash). Al-Ashl disebut sebagai al-Maqis 'Alaih (kasus yang dibandingkan) atau al-Musyabbah Bih (kasus serupa), seperti khamr (mabuk) dalam contoh di atas. Al-Far'u, yang mengacu pada kasus yang tidak memiliki putusan hukum berdasarkan teks. Al-Faru disebut sebagai al-Maqis (kasus yang dianalogikan) atau al-Musyabbah (kasus serupa), seperti masalah minuman beralkohol (bir dalam contoh di atas).
Hukm Al-Ashl, yang merupakan putusan yang ada dalam kasus asli yang ditetapkan berdasarkan teks, misalnya, larangan khamr dalam contoh di atas. Al-Illah, yang merupakan karakteristik yang menjadi titik perbandingan umum (al-Jami) antara Al-Ashl dan Al-Far'u, seperti sifat memabukkan (al-Iskar) pada contoh di atas.These pillars are the most fundamental elements of Qiyas. This is because it is through this `illah that the legal rulings found in the text can be transmitted to newly emerging cases.
Metode Istishlahi atau MaqashidiMaqashid al-shari'ah (tujuan hukum Islam) mengacu pada makna dan tujuan yang menjadi fokus Syariah dalam semua hukumnya, atau dalam sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari hukum hukum dan rahasia yang terkandung dalam setiap penetapan hukum. Memahami maqashid al-syariah sangat penting. Bagi seorang mujtahid, diperlukan ketika melakukan istimbath (penalaran deduktif) dan berusaha untuk memahami teks-naskah, dan bagi mereka yang selain mujtahid, diperlukan untuk memahami rahasia hukum. (Wahbah al-Zuhaili, 217)
Maqashid al-shari'ah tidak hanya dianggap penting ketika menafsirkan teks, tetapi juga penting untuk memperoleh putusan hukum yang tidak memiliki referensi tekstual langsung. Bukti sekunder seperti istihsan (preferensi yuridis), maslahah mursalah (kepentingan umum), dan 'urf (adat) pada dasarnya mengacu pada maqashid al-syariah.
1) IstihsanIstihsan, secara sederhana, mengacu pada kebijaksanaan seorang mujtahid yang menyimpang dari qiyas (analogi) yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum. Istihsan mewakili kebijakan mujtahid dengan berpegang pada qiyas khafi (analogi tersembunyi) sambil berangkat dari qiyas jali (analogi yang jelas); atau dengan mengesampingkan putusan umum yang mendukung putusan luar biasa karena bukti yang meyakinkan.
Ketika seorang mujtahid dihadapkan pada dua qiya, satu jali dan yang lainnya khafi, mujtahid harus terutama mengandalkan bukti yang lebih kuat, yaitu jali qiya. Namun, di bawah pertimbangan tertentu, mujtahid dapat memilih untuk mengesampingkan jali qiya yang lebih kuat demi khafi qiya yang lebih lemah. Metode ini dikenal sebagai istihsan. Demikian pula, jika seorang mujtahid menghadapi dua ketentuan hukum—satu adalah aturan umum (kulli) dan yang lainnya pengecualian khusus (juz'i-istitsna'i)—dan memilih pengecualian khusus berdasarkan kebutuhan (dlarurah atau hajah), ini juga disebut sebagai istihsan. Misalnya, umumnya ditetapkan bahwa objek transaksi harus sesuatu yang jelas ada. Namun, transaksi tertentu dikecualikan berdasarkan kebutuhan masyarakat, seperti ijarah (leasing), salam (forward sale), istishna' (seperti kontrak salam), dan lain-lain.
2) Al-Mashlahah al-MursalahMashlahah mengacu pada sesuatu yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan manfaat adalah dua kata yang identik dan memiliki arti yang sama. Mashlahah juga didefinisikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Misalnya, mencari ilmu dianggap mashlahah karena menghasilkan manfaat; Terlibat dalam perdagangan adalah mashlahah karena menghasilkan keuntungan, dan sebagainya.Dalam terminologi ushul fikih (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam), mashlahah adalah segala sesuatu yang menjamin realisasi dan pelestarian tujuan syariah (maqashid al-syariah), yang meliputi pengamanan agama, kehidupan, kecerdasan, garis keturunan, dan harta. Para ulama mengkategorikan mashlahah menjadi tiga bagian: Pertama, mashlahah mutabarah, yaitu mashlahah yang diakui oleh syariah melalui teks-teks Al-Qur'an atau Hadis, seperti larangan minuman yang memabukkan. Kedua, mashlahah mulgha, yaitu mashlahah yang ditolak oleh syariah melalui teks-teks Al-Qur'an atau Hadis, seperti pembagian warisan yang merata antara anak laki-laki dan perempuan, yang dianggap mashlahah. Ketiga, mashlahah mursalah, yaitu mashlahah yang tidak memiliki referensi tekstual, baik mengakui (itibar) atau menyangkal (ilgha'), seperti merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW, menyusun Al-Qur'an menjadi satu mushaf, mencatat pernikahan, dan sebagainya.
3) ‘Urf'Urf mengacu pada praktik dan ekspresi yang umumnya diakui dan diamati dalam masyarakat. 'Urf dan 'adah (adat istiadat) adalah dua istilah yang memiliki arti yang berbeda tetapi aplikasi yang serupa. Ini berarti bahwa meskipun kedua kata tersebut memiliki akar yang berbeda, sesuatu yang disebut sebagai 'urf juga dapat disebut 'adah, dan sebaliknya. Dengan demikian, 'urf dan 'adah adalah istilah sinonim yang dapat dipahami sebagai tradisi dalam bahasa Indonesia. Para ulama mengkategorikan 'urf berdasarkan penerapannya menjadi dua jenis: Pertama, 'urf 'amm, yang berlaku untuk seluruh atau mayoritas umat manusia pada waktu tertentu. Kedua, 'urf khashsh, yang berlaku untuk masyarakat, komunitas, atau wilayah tertentu pada waktu tertentu. Selanjutnya, dalam hal kesesuaian dengan sumber tekstual dan prinsip-prinsip syariah, 'urf dibagi menjadi dua kategori: Pertama, 'urf shahih, yang tidak bertentangan dengan naskah Al-Qur'an atau Hadis dan tidak melegitimasi apa yang haram (dilarang) atau melarang apa yang halal (diperbolehkan). Kedua, 'urf fasid, yang bertentangan dengan sumber tekstual yang jelas (Al-Qur'an dan Hadis), melegitimasi apa yang haram, atau melarang apa yang halal
.4. Penerapan Bahtsul Masail di Bidang Ekonomi. Hukum Perdagangan Emas Digital (XAU/Emas)
Masa berlaku kontrak pembelian komoditas (sil'ah) mengharuskan barang tersebut dapat dialihkan kepada pedagang sebagai pembeli. Dalam dunia perdagangan, aset jaminan yang mendasari sekuritas dianggap digadaikan. Oleh karena itu, persyaratan untuk pengalihan wewenang dijelaskan dalam istilah-istilah berikut:"The scholars from the Shafi'i school state that it is essential for a direct handover of the goods to occur or to grant permission to the pawnbroker if the goods are present (hadlir). Namun, jika barang yang digadaikan (aset jaminan) tidak hadir secara fisik (ghaib) pada saat kontrak, maka izin untuk pengalihan harus diberikan, bersama dengan kemungkinan barang tersebut dapat dikirimkan dari waktu ke waktu (imkan al-qabdli)." (
Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, vol. 23, hlm. 182). Misalnya, saat membeli XAU (emas), emas harus terlebih dahulu ditransfer ke kepemilikan pembeli dan masuk ke dompet digital Anda (e-wallet). Hanya setelah itu anda dapat menjualnya ke pihak lain. Jenis serah terima barang ini dikenal sebagai qabdl hukmi. Keizinannya didasarkan pada fakta bahwa komoditas yang dibeli telah memenuhi kriteria
imkan al-taslim (pengiriman fisik dapat terjadi).
Pada dasarnya, perdagangan komoditas XAU (emas digital) diperbolehkan karena XAU bukan sekuritas global; itu didukung oleh aset fisik. Informasi mengenai keberadaan jaminan aset fisik XAU dapat ditemukan pada Lampiran IV SEOJK 50 dan dapat diunduh di sini. Karena adanya jaminan aset fisik ini, jual beli XAU memenuhi standar kontrak bai' syaiin maushuf fi al-dzimmah (penjualan aset yang dijamin oleh emas fisik). "Kedua, bai'u syaiin maushuf fi al-dzimmah (kontrak salam) diperbolehkan jika karakteristik aset sesuai dengan yang dijelaskan." (Fathu al-Qarib al-Mujib, hlm. 163). Apalagi, pemenuhan XAU sebagai komoditas
maushuf fi al-dzimmah dikarenakan regulasi dan penerbitan XAU yang seragam oleh Bappebti. Oleh karena itu, tidak ada keraguan mengenai kemungkinan imkan al-qabdl (pengiriman), jumlahnya diketahui, dan dibayarkan secara tunai. (https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/trading-emas-digital-xau-dan-hukum-hold-posisi-buy-selama-2-hari-Tv8dE diakses pada tanggal 2 Juni 2022)
Hukum Menggunakan Robot Autopilot dalam Perdagangan Berjangka
Perdagangan adalah kontrak komersial yang dilakukan di pasar berjangka. Dengan demikian, itu harus melibatkan praktik kontrak salam (perintah). Kontrak salam diizinkan oleh Syariah karena alasan dlarûrah li masisil hâjah (kebutuhan mendesak). "Salam adalah kontrak yang melibatkan ketidakpastian. Kontrak ini diizinkan karena kebutuhan. Oleh karena itu, kontrak salam tidak memungkinkan bentuk ketidakpastian lainnya." (Zakaria al-Anshari,
Asnal Mathâlib Syarhu Raudluth Thâlib, vol. II, hlm. 122). Oleh karena itu, untuk memanfaatkan kontrak ini, minat terletak pada seberapa putus asa dan membutuhkan (hajat) seseorang untuk terlibat dalam kontrak salam melalui perdagangan. Apakah seseorang yang harus berdagang lintas negara, sehingga membutuhkan mata uang asing yang hanya bisa diperoleh melalui kegiatan perdagangan? Jika tidak, dan alasannya hanya untuk mengisi waktu luang atau mengejar hobi, maka mereka tidak memenuhi syarat sebagai seseorang yang mengalami dlarûrah li masisil hâjah seperti yang dimaksudkan oleh Syariah.Larangan bagi mereka yang tidak memiliki kebutuhan mendesak muncul karena kegiatan perdagangan yang mereka lakukan bukan untuk tujuan investasi; Sebaliknya, mereka bertindak sebagai individu yang mencari nafkah melalui praktik perjudian (maisir) dalam perdagangan. (bahtsul-masail/hukum-menggunakan-robot-autopilot-dalam-trading- pasar-berjangka-bCwUx diakses pada tanggal 3 Juni 2022)
KesimpulanNahdlatul Ulama telah menetapkan pemahaman Aswaja sebagai dasar ideologi agamanya, yang meliputi ajaran keyakinan, tasawuf, dan yurisprudensi. Perspektif Aswaja dipahami oleh para ulama Nahdlatul Ulama sebagai komunitas Muslim yang mempraktikkan apa yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya (
ma ana alayh wa aṣḥabi). Aswaja yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama dicirikan oleh lima prinsip dasar yang mendefinisikan karakter religius para penganutnya. Prinsip-prinsip ini adalah:
Al-tawassuṭ (jalan tengah, menghindari ekstrem di kedua sisi),
Tawazun (menjaga keseimbangan dan keharmonisan),
Al-tasamuh (toleran terhadap sudut pandang yang berbeda),
Ta'adul (tidak memihak),
Amar ma'ruf nahi munkar (mempromosikan kebaikan dan mencegah kesalahan). Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama telah berhasil merumuskan tiga metode penalaran hukum yang sistematis. Ketiga metode ini adalah
qauli, ilhaqi, dan manhaji. Selain itu, Nahdlatul Ulama menetapkan metode
istinbath al-ahkam yang disederhanakan pada Muktamar ke-13 pada tahun 2015 di Jombang, yang meliputi
metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi.(lam)