Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 16 Juli 2025
home masjid detail berita

Implikasi Sunnah sebagai Koreksi Hadis dalam Pengembangan Syariat

miftah yusufpati Senin, 02 Juni 2025 - 17:00 WIB
Implikasi Sunnah sebagai Koreksi Hadis dalam Pengembangan Syariat
Dr Musththafa Al-Sibai. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Cendekiawan muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan fakta historis menunjukkan bahwa proses pengumpulan hadis berlangsung cukup lama, memakan waktu lebih dari satu abad. Proses tersebut dimulai secara signifikan sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad, dan rampung pada abad ketiga Hijriah.

"Sesudah masa itu, masih ada usaha-usaha individual untuk mengumpulkan sisa-sisa hadis, namun tidak lagi signifikan dari segi pengaruh maupun jumlah," kata Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits, Implikasinya dalam Pengembangan Syariah".

Bagi kalangan yang dikenal sebagai "Ingkar Hadis", fakta sejarah ini menjadi salah satu alasan untuk meragukan otoritas hadis. Sikap skeptis tersebut tidak muncul tanpa dasar, melainkan didasarkan pada beberapa argumen pokok, yang sebelumnya juga telah dikutip dari pemaparan Dr. Mushthafa al-Siba’i:

Baca juga: Awal Mula Pembukuan Hadis sampai Lahirnya Enam Kitab Hadis Utama

Argumen Golongan Ingkar Hadis:

1. Ajaran Islam telah lengkap dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada satu pun perkara yang diabaikan di dalamnya, sehingga sunnah (yang diidentikkan dengan hadis) dianggap tidak lagi diperlukan sebagai sumber hukum.

2. Al-Qur’an dijamin pemeliharaannya oleh Allah, hadis tidak.

Jaminan tersebut termaktub dalam QS. Al-Hijr ayat 9. Hadis, karena tidak mendapatkan jaminan serupa, dianggap rentan terhadap pemalsuan, perubahan, dan manipulasi.

3. Nabi dan para sahabat utama melarang penulisan hadis.

Larangan itu dimaksudkan untuk mencegah tercampurnya hadis dengan Al-Qur’an, mengingat pada masa awal, umat belum banyak yang mahir baca-tulis.

4. Nabi sendiri menganjurkan agar hadis hanya diterima jika sesuai dengan Al-Qur’an.

Oleh karena itu, semua hadis yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an patut ditolak.

Baca juga: Pergeseran Sunnah ke Hadis: Pokok-Pokok Pemikiran Golongan Ingkar Hadis

Dr. al-Siba’i secara tegas menolak seluruh argumen di atas. Menurutnya:

1. Al-Qur’an memang memuat segala hal, tapi hanya secara garis besar.

Rincian dari ajaran-ajaran tersebut dijelaskan oleh sunnah/hadis Nabi. Maka, keduanya bersifat komplementer, bukan saling menegasi.

2. Sunnah (hadis) juga terpelihara.

Walaupun tidak ada jaminan eksplisit dalam Al-Qur’an, sunnah diyakini tetap terjaga melalui tradisi lisan (hafalan) masyarakat Arab, yang terkenal kuat dalam daya ingatnya. Ini ditunjang oleh tingginya budaya bahasa Arab klasik pada masa itu.

3. Larangan penulisan hadis bersifat sementara dan bersifat preventif.

Tujuannya adalah mencegah kekacauan saat proses kodifikasi Al-Qur’an masih berlangsung. Beberapa sahabat tetap mencatat hadis sebagai catatan pribadi, dan larangan pembukuan resmi tidak menghalangi transmisi lisan dan hafalan.

4. Hadis yang sahih tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

Jika terdapat hadis yang tampaknya bertentangan, maka itu menunjukkan hadis tersebut tidak sahih atau harus ditafsirkan ulang. Hadis sahih, bahkan jika memuat hukum baru, tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an.

Dr. Mushthafa al-Siba'i adalah seorang pembela semangat paham Sunni yang juga mantan dekan Fakultas Syariah Universitas Suriah dan tokoh penting gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Suriah.

Baca juga: Nurcholish Madjid: Sunnah Tidak Terbatas Hanya pada Hadis

Kritik Terhadap Pandangan Arus Utama:

Meskipun al-Siba’i mewakili pandangan mayoritas ulama Sunni, perlu diakui bahwa ia tidak secara langsung menjawab problem historis berupa rentang waktu panjang antara masa Nabi dan masa kodifikasi hadis. Waktu yang panjang ini membuka kemungkinan bagi pemalsuan, distorsi, dan intervensi politik.

Karena itu, dibutuhkan argumen dan metodologi yang kuat untuk menjamin bahwa koleksi hadis yang sekarang dianggap sahih benar-benar otentik. Apalagi, di zaman sekarang, akses terhadap literatur sejarah, manuskrip klasik, dan ilmu kritik hadis jauh lebih terbuka. Ini memungkinkan dilakukannya peninjauan ulang terhadap hadis-hadis tertentu dengan pendekatan ilmiah dan multidisipliner.

Sunnah sebagai Koreksi terhadap Hadis

Dalam konteks ini, perlu dibedakan secara tegas antara sunnah dan hadis:

Sunnah adalah praktik hidup Nabi Muhammad: keteladanan moral, cara beliau menyikapi persoalan hidup, dan prinsip-prinsip dasar perilakunya.

Sedangkan hadis adalah laporan tekstual tentang ucapan, tindakan, atau persetujuan Nabi yang diriwayatkan oleh perawi tertentu.

Artinya, sunnah sebagai esensi historis dan moral Nabi dapat dijadikan tolok ukur untuk mengoreksi hadis-hadis yang diragukan. Ini sejalan dengan kaidah bahwa hadis sahih tidak boleh bertentangan dengan semangat Al-Qur’an maupun akhlak Nabi. Maka, hadis yang bertentangan dengan nilai keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan yang menjadi roh dari sunnah, sepatutnya ditinjau kembali, meskipun sanadnya sahih secara teknis.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 16 Juli 2025
Imsak
04:35
Shubuh
04:45
Dhuhur
12:02
Ashar
15:24
Maghrib
17:56
Isya
19:09
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan