LANGIT7.ID-Dalam kutipan Dr. Mushthafa al-Siba'i, disebutkan bahwa pembukuan
hadis baru dimulai pada akhir abad pertama Hijriah. Hal ini merujuk pada inisiatif
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (w. 102 H), seorang khalifah dari
Dinasti Umayyah yang sangat dihormati dan sering disebut sebagai Umar II.
"Ia memerintahkan Syihab al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama terkemuka di Madinah, untuk meneliti dan membukukan tradisi yang berkembang di kota Nabi itu," ujar cendekiawan muslim,
Prof Dr Nurcholish Madjid (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur.
"Dari sudut pandang politik, tindakan Umar II ini adalah usaha membangun legitimasi keagamaan yang luas dan inklusif. Ia ingin menjadikan Madinah, dengan warisan keilmuannya, sebagai pusat rujukan seluruh umat Islam tanpa membedakan aliran, termasuk kaum Syi’ah dan Khawarij," kata Cak Nur dalam buku berjudul "
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "
Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits, Implikasinya dalam Pengembangan Syariah".
Baca juga: Pergeseran Sunnah ke Hadis: Pokok-Pokok Pemikiran Golongan Ingkar Hadis Dengan demikian, “sunnah” penduduk Madinah dimaknai sebagai perpanjangan autentik dari sunnah Nabi. Upaya ini juga melahirkan ideologi “Sunnah dan Jama'ah,” yang kelak menjadi basis mazhab mayoritas umat Islam, yaitu Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.
Kritik al-Siba’iDr. Mushthafa al-Siba'i adalah seorang pembela semangat paham Sunni yang juga mantan dekan Fakultas Syariah Universitas Suriah dan tokoh penting gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Suriah.
Ia mengapresiasi langkah Umar II karena dianggap sebagai tonggak penting dalam pelestarian sunnah Nabi. Namun, ia menyesalkan sikap Umar II yang dinilai terlalu lunak terhadap oposisi seperti kaum Syi’ah dan Khawarij. Menurutnya, hal itu justru memberi ruang bagi munculnya kekuatan-kekuatan yang kelak menjatuhkan Dinasti Umayyah.
Sebenarnya, sebelum masa Umar II pun sudah terdapat upaya pencatatan pribadi terhadap hadis, seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash. Namun, pembukuan sistematis dan akademik terhadap hadis secara luas baru terjadi pada awal abad ketiga Hijriah dengan munculnya Imam al-Syafi’i (w. 204 H), peletak dasar teori kritik hadis yang ketat.
Baca juga: Nurcholish Madjid: Sunnah Tidak Terbatas Hanya pada Hadis Metode al-Syafi’i kemudian dilanjutkan oleh para ahli hadis besar lainnya seperti: Imam al-Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275 H), Al-Tirmidzi (w. 279 H), Al-Nasa’i (w. 303 H)
Keenam tokoh inilah yang koleksinya kelak dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Enam Kitab Hadis Utama), yang kemudian menjadi rujukan utama dalam memahami sunnah Nabi dalam pengertian hadis.
Akibatnya, pengertian "sunnah" pun mengalami pergeseran: dari makna awal sebagai keseluruhan tradisi hidup Nabi Muhammad—baik berupa tindakan, perkataan, keteladanan pribadi, maupun keputusan dalam konteks sosial—menjadi hampir identik dengan kumpulan hadis yang tertuang dalam *al-Kutub al-Sittah* tersebut.
(mif)