Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 07 November 2025
home masjid detail berita

Imam Al-Ghazali: Melihat Wajah-Nya, Kebahagiaan yang Terlupakan

miftah yusufpati Rabu, 16 Juli 2025 - 16:50 WIB
Imam Al-Ghazali: Melihat Wajah-Nya, Kebahagiaan yang Terlupakan
Bagi mereka, dunia ini hanyalah keremangan fajar. Dan ketika matahari terbit, tirai tersingkap, yang tersisa hanya wajah-Nya sumber segala keindahan dan kebahagiaan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Semua muslim, jika ditanya, akan menjawab serempak bahwa puncak kebahagiaan manusia adalah melihat wajah Allah kelak di akhirat. Syariat memang mengajarkan demikian, dan Qur’an pun menyebut bahwa “wajah-wajah pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya” (QS. Al-Qiyamah: 22–23).

Akan tetapi bagi banyak orang, pengakuan itu berhenti di bibir. Dalam hati, perasaan itu jarang benar-benar bangkit. Bahkan, banyak yang lebih bergairah mengejar dunia ketimbang rindu menatap Sang Pencipta.

"Bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia kenal?" demikian pertanyaan yang diajukan Imam Al-Ghazali dalam buku The Alchemy of Happiness yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi Kimia Kebahagiaan (Mizan). Kami mencoba menelusuri kenapa menampak Allah — ru’yatullah — memang kebahagiaan terbesar, meski sering kita lupakan.

Semua fakultas dalam diri manusia memiliki kesenangannya masing-masing, mulai dari yang paling rendah seperti syahwat jasmani, hingga yang paling tinggi: pengetahuan intelektual. Bahkan pada tingkat duniawi pun, kita tahu bahwa upaya mental yang sederhana bisa lebih memuaskan daripada sekadar memuaskan perut. Seorang yang asyik bermain catur, misalnya, sering lupa makan meski dipanggil-panggil.

Baca juga: Mencintai Allah: Jalan Sunyi Menuju Kejernihan Jiwa Menurut Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali menulis, semakin tinggi obyek pengetahuan, semakin besar pula kegembiraan kita terhadapnya. “Mengetahui rahasia seorang raja lebih membahagiakan daripada rahasia seorang wazir,” tulisnya. Jika demikian, bagaimana lagi jika yang kita kenali adalah Allah, obyek pengetahuan yang paling agung? Orang yang mengenal-Nya bahkan sudah merasa seperti berada di surga di dunia ini: sebuah surga yang luasnya meliputi langit dan bumi, surga yang tidak pernah sempit meski diisi banyak orang.

Namun, sebagaimana perjumpaan dengan kekasih di dunia lebih membahagiakan daripada sekadar membayangkannya, begitu pula di akhirat: melihat Allah jauh lebih nikmat daripada sekadar mengenal-Nya. Al-Ghazali menggambarkan dunia ini sebagai tirai yang menutup pandangan kita terhadap-Nya, sebagaimana dikatakan Allah kepada Musa di Sinai: “Engkau tidak akan bisa melihat-Ku” (QS. Al-A’raf: 143). Tetapi pengetahuan tentang Allah di dunia ini, seperti benih yang kelak akan tumbuh menjadi pohon penampakan Allah di akhirat.

Bayazid Bistami, seorang sufi besar abad ke-9, memberi kesaksian yang lebih mengguncang. Dalam salah satu malam shalatnya, menurut riwayat Yahya bin Mu’adz (dikutip Fariduddin Attar dalam Tadhkiratul Awliya), Bayazid berkata setelah menengadah ke langit: “Ya Allah, hamba-Mu yang lain meminta karamah dan mukjizat, berjalan di air, terbang di udara… tetapi aku hanya meminta Engkau.”

Keesokan harinya ia berkata kepada sahabatnya: “Tuhan menunjukkan kerajaan-Nya kepadaku, dari yang paling mulia hingga yang terendah, dan berfirman: Mintalah kepada-Ku apa yang kau ingini. Aku menjawab: Aku hanya ingin Engkau.”

Tetapi tidak semua orang mampu sampai pada maqam itu. Banyak orang shalat, puasa, bahkan tahajud selama bertahun-tahun, namun tidak merasakan sedikit pun kebahagiaan ruhaniah yang dimaksud para sufi. Suatu ketika, seorang sahabat Bayazid mengaku telah 30 tahun beribadah tetapi tidak menemukan yang disebut kebahagiaan itu. Bayazid menjawab: “Kalau kau beribadah 300 tahun pun tidak akan engkau temukan. Karena tirai itu masih ada: perasaan mementingkan dirimu sendiri.”

Baca juga: Ketika Cinta Retak: Adab dalam Mengakhiri Menurut Imam al-Ghazali

Bayazid bahkan memberi terapi yang mengejutkan: menyuruh orang itu mencukur habis janggutnya, hanya mengenakan kain pinggang, menggantungkan kantong berisi kenari di lehernya, lalu berjalan di pasar sambil berkata: “Siapa pun yang memukul tengkukku akan mendapatkan satu butir kenari.” Sang sahabat tentu tak sanggup melakukannya. “Itu baru pendahuluan untuk penyembuhannya,” kata Bayazid. Sebab penyakit terbesar hati manusia adalah ambisi dan rasa diri yang selalu ingin mulia di mata manusia lain.

Rabi’ah al-Adawiyah bahkan lebih radikal. Ketika ditanya apakah ia mencintai Nabi Muhammad, Rabi’ah menjawab: “Kecintaan kepada Sang Pencipta telah memenuhi hatiku, hingga tak tersisa ruang untuk mencintai makhluk.”

Begitu pula Ibrahim bin Adham, yang dalam doanya pernah berkata: “Ya Allah, surga di mataku lebih remeh daripada seekor agas jika dibandingkan dengan cinta kepada-Mu.”

Mengapa semua ini penting? Karena, sebagaimana dikatakan Abu Sulaiman al-Darani: “Orang yang sibuk dengan dirinya sendiri sekarang, akan sibuk dengan dirinya sendiri kelak. Dan orang yang sibuk dengan Allah sekarang, akan sibuk dengan Allah kelak.”

Menampak Allah tidak datang tiba-tiba. Ia adalah puncak dari cinta dan pengetahuan tentang-Nya, yang hanya mungkin jika hati sudah dibersihkan dari tirai dunia. Dan cinta itu, sebagaimana dikatakan Isa a.s. kepada murid-muridnya, adalah amal yang paling mulia: mencintai Allah dan memasrahkan diri sepenuhnya pada-Nya.

Baca juga: Seni Menjadi Suami Ajaran Imam Al-Ghazali: Antara Tegas dan Kasih

Begitulah mengapa, dalam pandangan para sufi seperti Al-Ghazali, Bayazid Bistami, Rabi’ah, dan Ibrahim bin Adham, melihat Allah bukan sekadar harapan samar di ujung kehidupan. Melainkan kebahagiaan sejati yang sudah mulai terasa sejak dunia ini—bagi siapa saja yang benar-benar mengenal dan mencintai-Nya.

Bagi mereka, dunia ini hanyalah keremangan fajar. Dan ketika matahari terbit, tirai tersingkap, yang tersisa hanya wajah-Nya — sumber segala keindahan dan kebahagiaan.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 07 November 2025
Imsak
03:57
Shubuh
04:07
Dhuhur
11:40
Ashar
14:58
Maghrib
17:50
Isya
19:02
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan