Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 05 Oktober 2025
home masjid detail berita

Tak Bisa Dihapus Hanya Dilupakan: Tentang Fitrah, Tauhid, dan Jalan Pulang

miftah yusufpati Selasa, 05 Agustus 2025 - 04:15 WIB
Tak Bisa Dihapus Hanya Dilupakan: Tentang Fitrah, Tauhid, dan Jalan Pulang
Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di antara derasnya informasi dan bisingnya perdebatan teologis di ruang digital masa kini, ada satu kata yang senyap namun mengakar kuat dalam khazanah Islam: fitrah. Bukan sekadar istilah teknis dalam kitab tafsir, fitrah adalah kunci memahami siapa manusia sejak mula, dan ke mana seharusnya ia kembali. Dalam dunia yang semakin berjarak dari jati diri, fitrah tampil sebagai lentera eksistensial yang menuntun ke arah asal kejadian.

Kata ini muncul dalam Al-Qur’an sebanyak 28 kali dalam berbagai bentuk, menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an. Empat belas di antaranya membicarakan penciptaan langit dan bumi, dan sisanya merujuk pada manusia — bukan hanya keberadaannya secara fisik, tapi juga batin dan orientasi nilai yang melekat sejak awal penciptaan.

Pusat gravitasinya ada pada Surah Al-Rum ayat 30: "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif, (yaitu) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."

Ayat ini bukan sekadar ajakan retoris. Ia membentuk basis ontologis bagi pemahaman bahwa manusia, sejak penciptaannya, membawa potensi keberagamaan yang lurus — yaitu tauhid. Fitrah bukan sekadar bawaan netral; ia adalah konfigurasi spiritual yang mengarah ke satu titik: pengakuan akan Tuhan Yang Esa. Bagi Quraish Shihab, fitrah adalah sistem yang diletakkan Allah pada diri manusia — mencakup jasmani, akal, dan juga roh.

Baca juga: Akhlak sang Fitrah: Tidak Hanya Berkisah tentang Baik dan Buruk

Kisah Sumur dan Makna Kata

Pemahaman Ibnu Abbas tentang istilah fathir, akar dari kata fitrah, menjadi anekdot tafsir yang mengilustrasikan betapa makna-makna besar bisa lahir dari momen sehari-hari. Ketika ia mendengar dua orang bertengkar soal kepemilikan sumur, salah satunya berseru, “Ana fathartuhu!” — “Akulah yang membuatnya pertama kali.” Di situ Ibnu Abbas menangkap bahwa fathir bukan hanya berarti pencipta, tapi juga inisiator, penggagas pertama.

Dari pengertian itu, fitrah dimaknai sebagai "modus asal penciptaan". Maka, manusia menurut Al-Qur’an diciptakan tidak dalam kekosongan nilai, melainkan sudah membawa benih keilahian. Fitrah menjadi jawaban atas pertanyaan lama: apakah manusia netral, jahat, atau baik pada dasarnya?

Di dunia yang penuh dengan laku penyimpangan dan pengingkaran, gagasan bahwa manusia pada dasarnya bertauhid mungkin terdengar utopis. Tapi tafsir Quraish Shihab menekankan, fitrah tidak bisa dihapus. Ia bisa dilupakan, diabaikan, bahkan ditumpuk oleh konstruksi sosial atau trauma spiritual, tapi ia tetap ada — seperti bara dalam abu.

“Kalau kita memahami kata *la tabdila li khalqillah* dalam arti larangan atau kemustahilan mengubah,” tulis Quraish Shihab, “maka artinya fitrah keberagamaan akan melekat pada manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.”

Fitrah, dalam konteks ini, bukan hanya struktur penciptaan tapi juga panggilan laten yang terus bergaung. Muncul dalam kegelisahan eksistensial, dalam pencarian makna, dalam pertanyaan “mengapa saya ada?” yang tak henti diajukan manusia dari zaman ke zaman.

Baca juga: Ibrahim dari Gua: Jawara Tauhid di Negeri Seribu Berhala

Tak Sekadar Tauhid: Fitrah sebagai Totalitas Manusia

Namun membatasi makna fitrah hanya pada tauhid adalah penyempitan yang tidak berpijak pada keseluruhan teks Qur’ani. Ayat-ayat lain memperluas cakrawala fitrah manusia hingga mencakup emosi, dorongan, dan kemampuan berpikir. Dalam Ali Imran ayat 14, misalnya, fitrah juga berarti kecenderungan terhadap lawan jenis, harta benda, hingga estetika kuda pilihan dan sawah ladang.

Dalam tafsirnya atas surat Al-Rum ayat 30, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, mufasir Tunisia abad ke-20 yang banyak dikutip Quraish Shihab, menyimpulkan:

“Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani, akal, dan roh.”

Dengan kata lain, manusia berjalan dengan kaki adalah fitrah jasmaninya. Berpikir logis dengan premis-premis adalah fitrah akalnya. Dan mencari kebaikan, takut kehilangan, senang ketika mendapat nikmat — semua itu adalah fitrah emosional dan spiritualnya.

Antara Pemberontakan dan Kepulangan

Fitrah tidak berarti kepatuhan otomatis. Justru dalam kebebasan untuk melawan itulah fitrah menemukan maknanya. Manusia bisa menolak ajakan tauhid, bisa memilih jalan sesat. Tapi kemampuan untuk menolak itu sendiri bagian dari skema fitrah yang memberi ruang tanggung jawab moral.

Baca juga: Ibrahim Bapak Tauhid Umat Manusia: Tuhan Yang Satu, Jalan yang Berliku

Dalam konteks ini, fitrah tidak bertentangan dengan kebebasan, tetapi justru mendasarinya. Tanpa fitrah, manusia hanya makhluk reaktif, seperti binatang. Dengan fitrah, ia menjadi makhluk moral — makhluk yang bisa memilih untuk kembali.

Dalam dunia yang merayakan relativisme, fitrah adalah titik tetap yang tak pernah pudar. Ia tidak berbicara dengan suara keras. Ia hadir dalam sepi, dalam tanya yang dalam, dalam tangis yang tak diketahui sebabnya.

Fitrah, dalam istilah Quraish Shihab, adalah blueprint dari Sang Pencipta. Ia seperti kompas spiritual yang tetap menunjukkan arah walau jarum kadang berputar. Dan seperti kata Jalaluddin Rumi, “Kita semua dilahirkan dari Lautan Cinta. Dan pada akhirnya, ke sanalah kita ingin kembali.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 05 Oktober 2025
Imsak
04:11
Shubuh
04:21
Dhuhur
11:45
Ashar
14:47
Maghrib
17:50
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan