LANGIT7.ID-Di padang pasir itu, malam begitu pekat. Bintang Venus menggantung rendah di cakrawala, memancarkan cahayanya. Para pemuja bintang di sekelilingnya sudah menunduk, komat-kamit mengagungkan sang bintang yang mereka anggap penguasa langit. Namun seorang pemuda berdiri diam, pandangannya jauh menembus langit: “Itu pemeliharaku,” ujarnya pelan.
Namun tak lama kemudian, bintang itu meredup dan tenggelam di balik cakrawala. Ia menggeleng, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
Begitulah Ibrahim, sang nabi yang menjadi simbol perjuangan tauhid, melawan keyakinan kaumnya yang terpecah-pecah pada Tuhan-tuhan kecil yang fana.
Menurut catatan Ja‘far Subhani dalam bukunya
Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW (Subhani, 2013:50–69), orang Arab sebelum Islam memandang setiap fenomena — hujan, gempa bumi, kelahiran, kematian, bahkan damai dan perang — masing-masing memiliki dewa sendiri. Tak satu pun yang mereka yakini berada di bawah kendali satu Tuhan yang Esa. Alam semesta bagi mereka adalah sekumpulan makhluk dan fenomena yang berdiri sendiri, tanpa keterkaitan.
“Mereka tak menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah suatu kesatuan, di mana bagiannya saling terkait dan mempunyai efek timbal balik,” tulis Subhani.
Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim: Lembah Tujuh Tempat Kambing Membawa Air Kembali Cara pandang itu muncul karena pengetahuan manusia kala itu masih bersahaja, belum memahami hukum-hukum sebab-akibat yang mengatur jagat raya. Akibatnya, mereka membayangkan Tuhan yang Esa pun tidak mampu menciptakan dan mengendalikan semuanya sendirian.
Namun bagi Ibrahim, logika yang sederhana justru cukup untuk membantah kepercayaan itu.
Setelah menolak bintang, ia memandang bulan yang bercahaya indah. Dengan nada menguji, ia berkata, “Ini Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu juga tenggelam, ia kembali menolak: “Kalau Tuhanku yang sejati tidak membimbingku, tentulah aku termasuk orang yang sesat.” (Q.S. al-An‘am:77).
Lalu tibalah fajar. Matahari muncul, besar, menyilaukan, memukau. Ibrahim kembali berbicara seperti para pemuja matahari: “Ini Tuhanku. Ini yang paling besar.” Namun ketika senja datang dan matahari juga lenyap, ia menegaskan, “Aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah dari kaum musyrik.” (Q.S. al-An‘am:78–79).
Baca juga: Api, Kapak, dan Kekasih Tuhan: Tafsir Pembakaran Nabi Ibrahim pada 10 Muharram Menurut Subhani, argumentasi Ibrahim ini bukan hanya sederhana tetapi juga filosofis. Di masa itu, logika ini belum dikenal luas, bahkan hingga kini para filsuf logika mengaguminya sebagai contoh debat publik yang jernih.
“Dengan kata-kata sederhana ia menyatakan kebenaran filosofis yang belum dipahami manusia di zaman itu,”* tulis Subhani.
Perjalanan Ibrahim itu bukan semata kontemplasi pribadi, tetapi juga gerakan sosial. Ia melawan Azar — tokoh penyembah berhala yang diyakini sebagai ayah atau paman dekatnya. Ia berdebat dengan pemuja bintang, bulan, dan matahari, dalam satu malam penuh hingga pagi, meruntuhkan satu per satu keyakinan mereka dengan argumen yang tajam namun tetap menjaga perasaan mereka.
Pola yang dipakai Ibrahim inilah, kata Subhani, yang kemudian menjadi metode dakwah para nabi: menggunakan logika dan penalaran, bukan paksaan dan darah. Para nabi, termasuk Muhammad, ingin membangun masyarakat yang beriman, berpengetahuan, dan berkeadilan, bukan kekuasaan yang rapuh seperti yang dijalankan Fir‘aun atau Namrud, yang berlandaskan teror demi menjaga tahta mereka.
Baca juga: Jejak Nabi Ibrahim di Makkah: Dinamika Sejarah Migrasi dan Wahyu “Tujuan nabi bukan mempertahankan kekuasaan yang hancur setelah mereka mati, tetapi membangun masyarakat yang tetap berdiri meski mereka sudah tiada,”* terang Subhani (hlm. 63).
Keyakinan bahwa ada dua Tuhan — satu untuk kebaikan dan cahaya, satu lagi untuk kejahatan dan gelap — juga ia bantah. Demikian pula kepercayaan bahwa penciptaan membutuhkan perantara seperti Maryam atau Isa, atau bahwa manusia dapat mengatur tatanan dunia. Semua itu, bagi Ibrahim, hanyalah manifestasi dari syirik dan berlebihan dalam memberi peran kepada makhluk.
Kini, ribuan tahun setelah malam itu, debat Ibrahim di bawah langit yang sama masih relevan. Manusia modern mungkin tidak lagi menyembah batu atau bintang, tetapi tetap banyak yang menaruh harap pada “Tuhan-tuhan kecil” seperti materi, kekuasaan, atau teknologi.
Dari Ur hingga Makkah, dari padang pasir hingga kota-kota modern, gema ucapan Ibrahim masih terdengar: “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”
(mif)