LANGIT7.ID-Di tengah meningkatnya gairah
dakwah digital dan gencarnya penilaian keislaman seseorang di jagat maya, ada satu kaidah yang sering terabaikan: hukum asal seorang Muslim adalah selamat.
Prinsip ini bukan sembarang klaim
toleran, melainkan pijakan penting dalam syariat, yang sejak lama ditegaskan oleh para ulama, termasuk Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah hingga Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili—guru besar ilmu aqidah Universitas Islam Madinah.
“Jika disebut ‘Muslim’, maka hukum asalnya adalah selamat,” tulis Syaikh Ibrahim dalam ceramahnya yang dimuat almanhaj.or.id, dikutip 4 Agustus 2025. Selamat, dalam hal ini, bukan hanya dalam status sosial, tetapi juga dalam agama, aqidah, dan keislamannya secara umum.
Kaidah ini menegaskan bahwa seseorang tak boleh dengan ringan dituduh menyimpang, menyebar bid’ah, apalagi dikafirkan, hanya karena perbedaan cara berdakwah, gaya berpakaian, atau pandangan fiqih yang masih dalam ranah khilaf. Jika belum terbukti adanya penyimpangan, maka seseorang yang menyatakan diri Muslim wajib diperlakukan sebagai orang yang berada di atas Islam dan Sunnah.
Baca juga: Mengapa Sebagian Kaum Muslimin Mengkafirkan Sesamanya? Berjamaah di Tengah PerbedaanPrinsip ini juga berdampak pada praktik ibadah kolektif, seperti salat berjamaah. Banyak perdebatan di komunitas kaum Muslimin hari ini, dari masjid perkampungan hingga ruang komentar media sosial, soal keabsahan imam salat yang dituduh sebagai pelaku bid’ah atau tidak satu manhaj.
“Salat berjamaah di belakang setiap Muslim adalah sah,” tulis Syaikh Ibrahim. Bahkan bila imam itu diketahui melakukan perbuatan bid’ah yang tidak sampai ke derajat kekufuran, tetap tidak membatalkan keabsahan salat. “Sebagaimana berma’mum di belakang orang fasiq juga sah,” tambahnya.
Pendapat ini berpijak pada prinsip bahwa agama tidak dibangun di atas prasangka dan semangat takfiri. Dalam realitas sosial, manusia bukan makhluk yang sempurna. Tak semua Muslim memiliki pemahaman mendalam soal aqidah atau manhaj, namun itu bukan alasan untuk memecah belah jamaah. Kecuali ada indikasi nyata—bukan sekadar label atau tuduhan—bahwa seseorang membawa ajaran yang menyimpang dari pokok-pokok Islam, maka barulah diperlukan sikap kehati-hatian.
Baca juga: Kufur yang Tak Selalu Kafir: Mengurai Makna dan Kebijaksanaan Islam dalam Perbedaan Muslim, Bukan UlamaPoin penting lain yang diangkat dalam tulisan Syaikh Ibrahim adalah soal otoritas keilmuan. Tak semua Muslim adalah ahli ilmu. Oleh karena itu, kewajiban dalam menuntut ilmu adalah mencari ahlinya, sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 43: “Fas’alu ahlaz dzikri in kuntum la ta’lamun” – “Tanyakanlah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.”
Ayat ini menjadi dasar agar umat tak serampangan mengikuti tokoh agama hanya berdasarkan popularitas atau retorika. “Harus diketahui siapa yang benar-benar alim,” kata Syaikh Ibrahim. Dalam konteks media sosial hari ini, pesan itu relevan: viral bukan berarti valid.
Namun, prinsip ini juga memberi peringatan: bahwa meski seorang Muslim bukan ulama, ia tetap Muslim. Bahwa meskipun ia belum mengenal manhaj salaf, atau terjerumus dalam praktik keagamaan yang kurang tepat, status keislamannya tetap tak gugur selama ia tidak melakukan kekufuran yang nyata.
Peringatan terhadap sikap tergesa-gesa menilai keislaman orang lain bukan sekadar etika sosial, tapi juga pijakan ushul dalam hukum Islam. “Kita sedang membicarakan kondisi orang yang belum diketahui,” tulis Syaikh Ibrahim. “Maka hukum asal seorang mukmin adalah berada di atas Sunnah dan Islam.”
Sikap kehati-hatian ini sejalan dengan kaidah fiqih klasik: “Al-ashlu bara’atu adz-dzimmah”—asalnya seseorang terbebas dari tuntutan atau tuduhan sampai ada bukti. Maka dalam soal aqidah, tak ada tempat bagi vonis instan tanpa dalil yang kuat. Mengedepankan prasangka baik (husnuzan) bukan tanda kelemahan iman, melainkan bentuk adab terhadap syariat.
Kecenderungan sebagian kalangan yang mudah memberi label “ahlul bid’ah” atau bahkan “murtad” kepada sesama Muslim, bisa berujung pada perpecahan yang tak hanya memecah ukhuwah, tapi juga memperburuk citra Islam itu sendiri. Dalam sejarah, retak di tubuh umat Islam kerap dimulai bukan karena beda aqidah, tapi karena sikap fanatik dan gegabah dalam menilai sesama.
Baca juga: Orang-Orang Kafir setelah Mati Akan Disiksa 99 Ular, Begini Penjelasan Imam Al-Ghazali Di Atas Sunnah Sampai Terbukti MenyimpangKaidah salamah atau keselamatan ini, pada akhirnya, bukan ajakan untuk menafikan adanya penyimpangan atau bid’ah. Ia adalah kerangka epistemik yang adil dalam menilai orang. Bahwa manusia harus dianggap berada di atas kebaikan sampai terbukti sebaliknya.
Dalam konteks Indonesia—dengan keragaman ormas Islam, tradisi pesantren, hingga fenomena dai instan media sosial—kaidah ini terasa amat urgen. Ia menjadi rem spiritual untuk melawan arus penghakiman dini yang kadang mengaburkan tujuan utama Islam: rahmat bagi semesta.
Dan di tengah semangat sebagian orang untuk "meluruskan" sesama Muslim, barangkali yang lebih dibutuhkan adalah meluruskan cara menilai orang. Sebab, sebelum bicara tentang kesalahan orang lain, Islam lebih dulu mengajarkan untuk memastikan bahwa cara pandang kita memang telah adil.
(mif)