LANGIT7.ID- Perkawinan anak, selain disebabkan oleh faktor individu, juga banyak dipengaruhi oleh norma sosial, agama, dan budaya yang berkembang di masyarakat. Misinterpretasi terhadap nilai-nilai budaya masih memicu terjadinya praktik seperti kawin tangkap, kawin culik, perjodohan, serta munculnya stigma bahwa menikah lebih cepat dapat menjaga kehormatan keluarga.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Dr. Ir. Pribudiarta Nur Sitepu, M.M mengungkapkan perkawinan anak masih menjadi fenomena serius di Indonesia. ‘’Meskipun data menunjukkan penurunan secara nasional, praktik ini masih terjadi, baik terang-terangan maupun terselubung, dan terus menjadi perhatian khusus pemerintah,’’ ungkap Pribudiarta kepada Langit7.id
Menurut dia, dalam perkawinan anak, yang banyak terdampak adalah anak perempuan yang menikah. Banyak anak perempuan kemudian kehilangan kesempatan menempuh pendidikan lebih lanjut, kehilangan kesempatan untuk meraih cita-cita, bahkan tidak sedikit yang mengalami kematian saat melahirkan.
Baca juga: Refleksi HUT Kemerdekaan RI Ke 80 (5): Perkawinan Dini Bukan Sekadar Problem Individu, Tapi Sudah Jadi Persoalan Kolektif Secara umum, perkawinan anak merupakan hulu dari berbagai permasalahan yang begitu kompleks bagi anak seperti putus sekolah, kematian ibu dan bayi, stunting, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, serta perceraian. ‘’Seluruh permasalahan ini merupakan pemicu akan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia,’’ kata Pribudiarta.
Lebih jauh, Pribudiarta menyebut masyarakat memiliki peran penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Dalam rangka menurunkan angka perkawinan anak melalui pendekatan komunitas, Kementerian PPPA menggandeng organisasi masyarakat berbasis keagamaan, seperti yang dilakukan di Kabupaten Pamekasan melalui kegiatan Bimbingan Teknis Pencegahan Perkawinan Anak bagi Organisasi Masyarakat Berbasis Keagamaan pada tahun 2024.
‘’Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong tokoh agama menjadi teladan dan berperan aktif dalam edukasi masyarakat, terutama dalam meluruskan pemahaman nilai sosial budaya yang keliru, seperti penormalan terhadap praktik perkawinan anak,’’ jelasnya.
Baca juga: Refleksi HUT Kemerdekaan RI Ke 80 (4): Mengapa Pernikahan Dini Masih Terjadi? Dimana Akar Masalahnya?Selain itu, untuk menjangkau hingga tingkat desa, Kementerian PPPA menginisiasi program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Melalui DRPPA, organisasi masyarakat khususnya organisasi perempuan dan forum anak, didorong untuk berperan aktif dalam pencegahan perkawinan anak. Selain melakukan advokasi, organisasi masyarakat di tingkat akar rumput juga berperan penting dalam pendataan dan pemetaan tren perkawinan anak, termasuk identifikasi penyebab utama dari praktik tersebut.
‘’Lembaga masyarakat berperan menjadi penggerak dalam upaya pencegahan perkawinan anak di lingkungan masing-masing, termasuk dalam hal pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan pendokumentasian kasus,’’ papar Pribudiarta.
Selain itu juga menghubungkan anak yang rentan perkawinan anak maupun yang menjadi korban dengan layanan rujukan yang tersedia di daerah, seperti UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak) dan PUSPAGA (pusat pembelajaran keluarga).
Baca juga: Refleksi HUT Kemerdekaan RI Ke 80(3) Panti Asuhan Harus Bisa Cetak Anak Asuh Yang Mandiri
Sanksi Tegas Timbulkan Efek Jera Pribudiarta mengakui regulasi dan kebijakan yang ada sudah banyak dan sudah cukup baik, mulai UU No. 16 Tahun 2019 tentang Amandemen UU Perkawinan dan UU No 12 tahun 2023 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta aturan lainnya.
Yanag dibutuhkan adalah tinggal bagaimana mengimplementasikanya secara bersama-sama dengan kolaborasi lintas sektor. ‘’Selain melakukan pendataan dan upaya pencegahan, menerapkan sanksi yang menimbulkan efek jera serta monitoring dan evaluasi menjadi hal penting,’’ terangnya.
Yang menarik, dengan ditetapkannya batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, banyak daerah mengalami situasi di mana permohonan dispensasi kawin justru meningkat. ‘’Hal yang perlu menjadi perhatian adalah kapasitas hakim dalam mengadili perkara tersebut, apakah hakim memiliki kapasitas mengadili anak/ada hakim anak di pengadilan agama tersebut sehingga dalam memberikan keputusan dispensasi kawin hakim mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak,’’ terangnya.
Baca juga: Refleksi HUT Kemerdekaan RI Ke 80(2): Pendanaan Panti Asuhan Masih Serabutan, Negara Seharusnya Hadir Di luar perkawinan yang tercatat, terdapat risiko perkawinan anak tersebut dilakukan secara siri atau di bawah tangan sehingga tidak tercatat. Dengan kondisi tidak tercatat, pemerintah pusat maupun daerah sulit mendeteksi dan melakukan intervensi. ‘’Hal ini yang menjadi PR negara saat ini, dan membutuhkan peran seluruh pihak dari seluruh tingkatan hingga grassroot, khususnya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yaitu tokoh kunci seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, serta tokoh agama,’’ tandas Pribudiarta.
Kasus pernikahan dini memang masih marak terjadi. Namun, tidak sedikit anak perempuan yang tidak mau menikah muda karena mereka masih ingin mengejar cita-cita. Risa Maharani adalah satu satu contoh baik bagaimana tekad dan ketekunan bisa membuatnya sukses. ‘’Di umurku yang sekarang, aku masih pengin menikmati, bersinar, menggapai mimpi-mimpi aku. Kalau nggak sekarang ya kapan?’’ ungkap Risa dalam Youtube Srikandi Vokasi.
Risa Maharani memutuskan untuk berkarier sebagai seorang Fashion Designer setelahmenempuh pendidikan di SMK NU Banat Kudus jurusan Tata Busana. Dia berhasil membuktikan eksistensinya di industri fashion dengan mengikuti fashion show di berbagai negara dan didapuk menjadi fashion designer muda di Indonesia.
Baca juga: Refleksi HUT Kemerdekaan RI ke 80(1) Panti Asuhan dan Anak Asuhnya Bagaimana Nasibmu Kini? Risa sempat bergabung dan berkolaborasi dengan sebuah brand di Indonesia dan menghasilkan miliaran rupiah. Hal tersebut membuat Risa lebih percaya diri untuk menciptakan brand ‘Risa Maharani Basic’ yang banyak menjadi inspirasi generasi muda. ‘’Perempuan dengan mimpi yang besar tidak hanya berguna untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain disekitarnya,’’ jelasnya.
Tapi harus diakui sejak tahun 2011 Bakti Pendidikan Djarum Foundation secara konsisten juga telah memberikan perhatian khusus terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) seperti yang dirasakan Risa. Hingga saat ini, Djarum Foundation telah membina 18 SMK dengan 20 kompetensi keahlian di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Kompetensi keahlian yang dibina meliputi Rekayasa, Maritim, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif. Inisiatif yang Djarum Foundation lakukan dimulai dengan: Perbaikan kurikulum, Pelatihan guru, Bantuan infrastruktur, Pengembangan ‘teaching factory’, yaitu suatu sistem pembelajaran dimana siswa belajar dengan cara berkarya sesuai dengan tuntutan pasar dan industri.
Apa yang dilakukan Djarum juga memberikan kontribusi besar. Paling tidak membawa dampak besar bagi anak anak perempuan khususnya menjadi tersadar bahwa membangun masa depan jauh lebih penting.
Maka wajar ketika melihat data Kementerian Agama (Kemenag) mencatat dalam tiga tahun terakhir, angka perkawinan anak di Indonesia menurun signifikan. Pada 2022, misalnya, tercatat 8.804 pasangan di bawah usia 19 tahun menikah. Pada 2023 angka perkawinan dini turun menjadi 5.489 pasangan dan tahun 2024 menurun lagi menjadi 4.150 pasangan.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, mengungkapkan penurunan ini merupakan hasil dari berbagai upaya pencegahan yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah, khususnya melalui program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS). “Melalui BRUS, kami memberikan pemahaman kepada remaja tentang pentingnya kesiapan mental, emosional, dan sosial sebelum memasuki usia pernikahan,” ujar Abu Rokhmad seperti dikutip dari Indonesia.go.id.
Program BRUS digelar secara masif di sekolah-sekolah dan madrasah, melibatkan berbagai pihak mulai dari penyuluh agama, petugas Kantor Urusan Agama (KUA), hingga organisasi mitra yang bergerak dalam isu ketahanan keluarga dan perlindungan anak.
Kementerian Agama mencatat bahwa kesadaran masyarakat terhadap bahaya perkawinan usia dini terus meningkat. Selain risiko perceraian dini, perkawinan anak juga berpotensi menimbulkan persoalan kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga stunting pada anak. “Kami tidak bisa bekerja sendiri. Ini tugas kolektif antara sekolah, orang tua, tokoh agama, dan masyarakat. Ketahanan keluarga harus dibangun sejak dari hulu, dari pemahaman remaja kita,” tandasnya. (Bersambung)
(lam)