LANGIT7.ID-Ketika edisi pertama Al-Imam terbit di Singapura pada Juli 1906, dunia Melayu sedang bergetar oleh perubahan. Dari Padang hingga Penang, dari Batavia hingga Bangkok, umat Islam mulai menulis dan membaca dengan semangat baru—semangat yang memadukan rasionalitas Kairo dengan kegetiran kolonial. Di tangan Syekh Tahir Jalaluddin, murid Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan pengagum Muhammad ‘Abduh, Al-Imam menjadi cermin lahirnya Islam modern di Asia Tenggara.
Menurut Michael Laffan dalam
Sejarah Islam di Nusantara (Mizan, 2015), Al-Imam bukan sekadar penerjemah gagasan reformis Mesir, melainkan laboratorium wacana baru: tempat perdebatan antara kaum tarekat dan kaum pembaharu, antara Arab dan Melayu, antara ortodoksi dan modernitas. “Ia menjembatani komunitas-komunitas Arab dan Jawi,” tulis Laffan, “dalam dunia yang mereka sebut sebagai sisi Jawi kami.”
Dengan oplah dua ribu eksemplar, Al-Imam melintasi laut, sampai ke tangan pembaca di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Dari halaman surat-menyuratnya, meledak polemik: tentang praktik suluk, rabita, dan dzikir berjamaah yang dinilai berlebihan. Ketika seorang pembaca dari Siam menanyakan legitimasi sebuah tarekat, redaksi menjawab keras—menyebut para penganutnya “penjaja agama yang meminum darah orang melarat.”
Dari situlah, seperti dicatat Laffan, “kontroversi tak bisa lagi dibendung.” Surat-surat balasan membanjiri Utusan Melayu, media sezaman yang menampung para pembela tarekat. Mereka menuntut dalil Qur’an, mengutip Sayr al-Salikin karya al-Falimbani, dan menantang tafsir rasionalis Al-Imam. Polemik ini menandai lahirnya ruang publik Islam modern di Nusantara—debat teologis yang disiarkan lewat mesin cetak, bukan mimbar pesantren.
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, guru banyak tokoh pembaru seperti Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim, menjadi sosok penting di balik pergeseran ini. Fatwanya
Izhar Zaghl al-Kadhibin (1906) mengutuk tarekat Khalidiyyah dan menyerukan kemurnian ajaran Nabi. “Dari sanalah,” tulis Azyumardi Azra dalam
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Kencana, 2013), “ide pembaruan Islam menemukan bentuk organisasinya.”
Namun, Al-Imam bukan tanpa kontradiksi. Di balik semangat reformisnya, majalah ini juga mencerminkan ketegangan sosial antara elit Arab sayyid dan kaum terdidik Melayu. “Kritik Rasyid Rida terhadap keistimewaan ‘Alawiyyah,” tulis Laffan, “tidak mudah diterima oleh para penyokong Arab di Singapura.” Perpecahan pun tak terelakkan. Pada 1908, dua kubu redaksi saling merebut kendali. Para guru tarekat menyerukan boikot. Akhirnya, pada Januari 1909, Al-Imam berhenti terbit.
Tapi gagasannya tak mati. Dari reruntuhannya lahir al-Islah, al-Husam, al-Watan, dan yang paling berpengaruh: al-Munir di Padang (1911). Surat kabar terakhir ini, yang dipimpin murid-murid Ahmad Khatib seperti Syekh Abdullah Ahmad dan Haji Rasul, menegaskan jalan Salafisme yang lebih keras: menolak tarekat, menolak keistimewaan Arab, dan menegakkan Islam rasional.
Dari Al-Imam hingga al-Munir, garis perubahan itu tampak jelas: Islam Jawi beranjak dari mistisisme istana menuju modernisme sosial. “Percetakan,” tulis Laffan, “menjadi madrasah baru.” Dan di situlah, di halaman-halaman tinta hitam Singapura dan Padang, perdebatan tentang makna iman dan kemajuan dimulai—perdebatan yang gema panjangnya masih terdengar hingga kini.
(mif)