LANGIT7.ID-Dalam banyak tafsir klasik, waktu (
‘ashr) dipahami sebagai anugerah yang paling adil: ia diberikan sama kepada setiap orang, kaya-miskin, muda-tua. Namun bagi Quraish Shihab, sebagaimana tertulis dalam
Wawasan Al-Qur’an, waktu bukan sekadar hadiah, melainkan amanah yang harus diisi. Kosongnya waktu bukan ruang istirahat, tapi sinyal bahwa seseorang belum menunaikan haknya sebagai manusia.
“Al-Qur’an,” tulisnya, “menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah—apa pun jenis dan bentuknya.”
Quraish Shihab memulai dengan mengoreksi kesalahpahaman lama: bahwa ayat “
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz-Dzariyat [51]: 56) sering dimaknai sempit—seolah manusia hanya diciptakan untuk beribadah ritual. Padahal, katanya, dalam bahasa Arab, huruf lam pada
li ya‘budun tak hanya berarti “agar,” tapi bisa juga berarti “akibat” atau “kesudahan.”
Seperti dalam kisah Nabi Musa: “Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh bagi mereka.” (QS Al-Qashash [28]: 8).
Jika lam diartikan “agar,” ayat itu menjadi tidak logis. Begitu pula dalam konteks ibadah: yang dikehendaki bukan agar manusia hanya beribadah, tetapi agar semua pekerjaannya berkesudahan sebagai ibadah.
Karena itu, setelah shalat Jumat misalnya, Al-Qur’an justru memerintahkan: “Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (QS Al-Jum‘ah [62]: 10).
Ibadah yang sejati, dengan demikian, adalah setiap aktivitas yang bermuara pada kemaslahatan dan mengingat Tuhan di dalamnya—bekerja, meneliti, mengajar, bahkan mengelola bumi.
Waktu yang Tak Boleh Kosong Al-Qur’an menolak gaya hidup yang melalaikan: hidup hanya untuk bermain, mempercantik diri, bermegah-megahan dalam harta dan anak (QS Al-Hadid [57]: 20). Manusia yang mengisi waktunya tanpa arah, tulis Quraish, “bagaikan wadah yang bocor—selalu penuh kegiatan, tapi tak menyisakan makna.”
Karenanya, kerja (‘amal) dalam Al-Qur’an sering disebut dalam bentuk
nakirah, bentuk indefinitif yang bermakna umum. Artinya, semua kerja bernilai jika diniatkan benar. “Aku tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan.” (QS Ali Imran [3]: 195).
Kerja dalam pandangan Al-Qur’an tidak hanya milik orang beriman. Kepada kaum musyrik pun Tuhan berkata: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuan. Aku pun akan berbuat demikian.” (QS Al-An‘am [6]: 135).
Perintah ini mengandung makna universal: bahwa bekerja sepenuh hati adalah kodrat manusia.
Dari Kesibukan ke Kesibukan Namun tafsir Quraish Shihab mencapai kedalaman khasnya ketika membahas surat Al-Insyirah (Alam Nasyrah). Setelah menanamkan optimisme—“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”—Al-Qur’an memberi pesan lanjutan: “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS Al-Insyirah [94]: 7).
Kata faraghta (selesai, luang) berasal dari akar kata faragha, yang berarti “kosong setelah sebelumnya penuh.” Bagi Quraish, keluangan yang dimaksud bukan “waktu senggang tanpa kerja,” tetapi ruang setelah satu kesibukan yang segera diisi oleh kesibukan lain. Kekosongan yang produktif, bukan kekosongan yang sia-sia.
Begitu pula kata fan-shab—bekerjalah hingga letih, atau tegakkan persoalan baru hingga nyata. “Ayat ini,” tulisnya, “tidak memberi peluang bagi manusia untuk menganggur sepanjang masih hidup, sebab setiap jeda antara dua pekerjaan adalah panggilan untuk berkarya lagi.”
Meneladani Tuhan yang Sibuk Dalam penutup tafsirnya, Quraish mengutip surat *Ar-Rahman* ayat 29: “Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.”
Kesibukan Ilahi itulah yang seharusnya diteladani manusia—bukan dalam arti bekerja tanpa henti, tetapi dalam semangat untuk terus menegakkan kebaikan, memperbaiki ciptaan, dan memberi makna bagi setiap detik kehidupan.
Waktu, bagi Quraish Shihab, adalah cermin diri: siapa yang mengisinya dengan amal, menjadikannya terang; siapa yang menyia-nyiakannya, menenggelamkannya dalam gelap.
Pada akhirnya, hidup hanyalah serangkaian “faragh” dan “fan-shab”—selesai dan mulai lagi. Karena dalam pandangan Al-Qur’an, kesibukan bukan beban, tapi cara Tuhan mendidik manusia agar tak pernah berhenti menjadi lebih baik.
(mif)