LANGIT7.ID- Di antara tema besar yang paling sering dibicarakan dalam tradisi agama adalah kisah penciptaan: bagaimana langit, bumi, dan manusia hadir ke panggung semesta. Selama puluhan tahun, para orientalis Eropa menempatkan kisah Qur'an dan Bibel dalam dua kolom paralel—serupa, katanya, hanya beda bahasa. Enam hari dalam Qur'an, enam hari dalam Kitab Kejadian. Seolah-olah kedua kitab meminjam alur satu sama lain.
Pandangan itulah yang ditolak oleh Maurice Bucaille, dokter bedah Prancis yang menulis
La Bible, Le Coran et la Science (Bulan Bintang, 1979). Dalam studinya, ia menyebut penyamaan itu sebagai persamaan semu: tampak serupa, tapi keliru jika disamakan. Bagi Bucaille, Qur'an tidak pernah menawarkan kisah penciptaan sebagai narasi utuh. Tidak ada alur kronologis seperti dalam Perjanjian Lama, yang memulai dari kegelapan, memisahkan cahaya, menata langit, bumi, dan makhluk hidup.
Sebaliknya, Qur'an menyebarkan potongan-potongan konsep penciptaan dalam banyak surat. Di beberapa tempat, ia menggambarkan langit sebagai mula-mula berupa asap; di bagian lain, ia menyinggung bumi sebagai hamparan yang dipersiapkan. Dalam surat lain, proses penciptaan manusia muncul sebagai rangkaian biologis tanpa dikaitkan langsung dengan penciptaan kosmik.
Model naratif yang dipencar ini, menurut Bucaille, bukan kelemahan—melainkan cara Qur'an menyorot aspek-aspek tertentu sesuai tema sebuah surat. Ia menyebut bahwa jika seseorang ingin memahami penciptaan versi Qur'an, ia harus menyusun sendiri fragmen-fragmen itu. Qur'an tidak menawarkannya sebagai cerita, tetapi sebagai konsep teologis sekaligus tanda-tanda kosmik.
Pendekatan ini berbeda dengan Bibel yang mengisahkan penciptaan sebagai drama tujuh hari, lengkap dengan urutan sebab akibat. Bucaille menunjukkan bahwa model Bibel justru memuat rincian yang sulit dipertahankan menurut sains modern: penciptaan tumbuhan sebelum adanya matahari, misalnya, atau gambaran bentuk bumi yang tidak sejalan dengan kosmologi kontemporer. Qur'an, kata Bucaille, tidak terjerumus ke dalam persoalan kronologi semacam itu.
Dalam tradisi tafsir, pendekatan fragmentaris Qur'an dianggap selaras dengan sifat kitab itu: turun bertahap, menjawab konteks sosial, politik, dan spiritual yang berbeda-beda. Mufasir seperti al-Tabari dan al-Razi menegaskan bahwa pemaknaan penciptaan bukan terletak pada kronologinya, tetapi pada hubungan antara Pencipta dan ciptaan.
Karena itu, ayat tentang enam hari penciptaan sering tidak dibaca sebagai enam hari literal, melainkan enam fase. Sebuah pendekatan yang belakangan dibaca ulang oleh ahli kosmologi Muslim kontemporer yang melihat kesesuaian metaforis dengan gagasan evolusi kosmik.
Ketika Bucaille mengatakan bahwa Qur'an memuat penjelasan yang tidak ditemukan dalam Bibel, ia merujuk pada rincian tertentu: gambaran bumi dan langit yang dahulu menyatu lalu dipisahkan; atau konsep penciptaan setiap makhluk dari air. Rincian-rincian itu, menurutnya, lebih mudah ditempatkan dalam kerangka ilmu pengetahuan modern dibandingkan narasi Kejadian.
Tetapi ia juga mencatat bahwa Bibel memuat perkembangan naratif—detail tentang karakter Tuhan, hubungan keluarga Adam, dan genealoginya—hal-hal yang tidak menjadi fokus Qur'an. Dua kitab itu berdiri dalam paradigma yang berbeda: satu bercerita, satu menjelaskan.
Persamaan jumlah hari penciptaan sering dijadikan pintu masuk kesimpulan bahwa keduanya memiliki sumber yang sama. Namun penelitian Bucaille mengingatkan bahwa di balik angka yang tampak identik, terdapat perbedaan struktur penyampaian, tujuan, dan implikasi teologis.
Pada akhirnya, perbandingan itu mengajak pembaca masa modern melihat bahwa kitab suci tidak bisa dibaca hanya lewat persamaan garis besar. Ia harus dipahami lewat cara ia berbicara. Bibel memilih alur; Qur'an memilih potongan. Dan di antara keduanya, sains bergerak seperti cermin yang memantulkan kembali pertanyaan-pertanyaan lama tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi—dan bagaimana manusia memaknainya.
(mif)