LANGIT7.ID, Jakarta -
Flexing merupakan sifat pamer harta, pencapaian, dan berbagai hal lain yang dilakukan orang guna mendapatkan pengakuan di lingkungannya. Kini, flexing menjadi tren di kalangan publik seiring berkembangnya media sosial.
Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Lu’luatul Chizanah mengatakan, orang dengan perilaku flexing di media sosial mengindikasikan harga diri yang lemah.
Tanpa disadari, mereka yang flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya sendiri. Sehingga flexing dilakukan untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.
Baca Juga: Pejabat Pajak Gemar Flexing, Psikolog: Tunjukkan Harga Diri Lemah"Ini seperti divalidasi, sehingga mereka mengunggah sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang. Mereka merasa hebat, dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya," kata Lu'luatul dikutip dalam keterangannya di laman UGM, Jumat (3/3/2023).
Menurutnya, salah satu alasan orang flexing di
media sosial adalah untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompoknya. Teknik manajemen impresi dilakukan hanya agar bisa diterima dalam komunitas tetentu.
Salah satu tindakan flexing seperti yang dilakukan
Mario Dandy Satrio. Anak pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu kerap mengunggah barang-barang mewah, seperti mobil Rubicon dan motor Harley Davidson di akun media sosial miliknya.
"Flexing menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial. Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang," ujar Lu'luatul.
Baca Juga: Gaya Hidup Mewah Pejabat Jadi Faktor Ketimpangan EkonomiFlexing di MasyarakatLu’luatul menyebut flexing bisa menimbulkan pandangan berbeda di lingkup masyarakat. Bahkan lebih parahnya, flexing bisa menimbulkan impulsif buying.
"Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan," ucapnya.
"Seseorang juga akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang
branded hanya untuk flexing. Sehingga menghalangi orang untuk mengatasi masalah harga dirinya," lanjutnya menerangkan.
Adapun flexing yang masih bisa dimaklumi yaitu bila seseorang melakukannya hanya untuk menarik perhatian awal. Kemudian menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi atau personaliti yang baik.
Namun, lanjutnya, akan ada masalah jika flexing kemudian menjadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi. Sehingga menimbulkan toxic bagi diri sendiri.
Lu'luatul menuturkan, mengatasi sifat flexing bisa dilakukan dengan tidak mengomparasi diri dengan orang lain yang berada di atas. Baik dari level ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
"Cobalah untuk melihat ke bawah, jangan ke atas terus, karena dikhawatirkan akan timbul dorongan untuk flexing. Kalau melihat ke bawah justru akan muncul rasa syukur," tambahnya.
Baca Juga: Sosiolog Nilai Fenomena Pamer Harta Indikasi Moral Pejabat Merosot(gar)