LANGIT7.ID-Di antara deru dunia yang penuh kejaran dan ambisi, para wali, ulama, dan orang-orang saleh pernah mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, memeriksa diri. “Tuntutlah pertanggungjawaban dari dirimu sebelum dituntut pertanggungjawabanmu,” ujar Khalifah
Umar bin Khattab dalam salah satu riwayatnya, yang dikutip Al-Ghazali dalam Kimia Kebahagiaan.
Pesan Umar itu seakan menjawab sebuah firman dalam Al-Qur’an: “
Akan Kami pasang satu timbangan yang adil di Hari Perhitungan, dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun yang telah menempa satu butir kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan melihatnya.” (QS Al-Anbiya:47).
Kitab
Kimia Kebahagiaan, karya monumental
Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M), yang terbit dalam edisi Indonesia melalui Mizan (1979, terjemahan Haidar Bagir, penyunting Ahmad Muchlis), meramu nasihat-nasihat seperti itu dengan bahasa rohani yang mendalam.
Dari halaman-halamannya, kita diajak melihat bahwa kehidupan bukan sekadar lalu lintas duniawi, melainkan sebuah perjalanan rohaniah, di mana setiap tarikan napas dan detik memiliki harga yang tak ternilai.
Baca juga: Tarian Ekstase yang Ditahan, Teriakan yang Mematikan di Mata Imam Al-Ghazali Dalam buku itu dikisahkan tentang seorang wali yang setelah salat subuh, duduk satu jam penuh berbicara pada dirinya sendiri: “Wahai jiwaku, engkau hanya mempunyai satu hidup. Tidak satu pun saat yang telah lewat bisa dikembalikan. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah sekarang. Perlakukan hari ini seakan-akan hidupmu telah habis, dan hari ini adalah hari tambahan yang dianugerahkan Tuhan kepadamu.”
Cerita-cerita tentang kesadaran akan pengawasan Tuhan juga berserak dalam buku itu: seorang Habsy yang pingsan ketika menyadari bahwa Allah melihat semua dosanya, seorang murid yang enggan membunuh seekor unggas di tempat sepi karena tahu bahwa Tuhan selalu mengawasinya, Zulaikha yang malu di hadapan patung berhala, sementara Yusuf malu di hadapan Tuhan semesta alam.
Kisah lainnya datang dari penggembala kecil yang ditemui Umar bin Khattab. Ketika Umar mencoba mengujinya dengan berkata, “Engkau bisa bilang seekor serigala telah menyambar domba, dan tuanmu tak akan tahu,” anak itu menjawab, “Dia memang tak tahu, tapi Allah mengetahuinya.” Umar menangis, membeli anak itu dari majikannya, lalu memerdekakannya sambil berkata, “Ucapanmu telah membuatmu bebas di dunia ini, dan semoga membuatmu bebas pula di akhirat.”
Baca juga: Ekstase, Luka, dan Sunyi Para Pencinta Ajaran Imam Al-Ghazali Gambaran yang diberikan Al-Ghazali tentang Hari Kebangkitan pun penuh simbol yang menggetarkan. Saat-saat kehidupan manusia digambarkan seperti deret lemari: satu berisi cahaya dan harum karena kebaikan, satu gelap dan busuk karena maksiat, satu lagi kosong karena waktu yang sia-sia. Penyesalan terbesar justru bukan hanya atas dosa, tetapi juga atas waktu yang disia-siakan.
“Surga itu,” demikian pula disebut dalam sebuah hadits qudsi yang dikutip Al-Ghazali, “bagi mereka yang sempat berkeinginan untuk berbuat dosa, tetapi lalu ingat bahwa mataKu melihat mereka, sehingga mereka menahan diri.”
Pesan-pesan dalam Kimia Kebahagiaan ini, yang tak pernah lekang dimakan zaman, justru terasa makin relevan di tengah peradaban yang semakin melupakan hakikat keberadaan diri. Waktu menjadi komoditas, bukan lagi amanah; hidup menjadi lomba, bukan lagi ibadah.
Tentu, tak semua orang mampu bertahan dengan standar keruhanian para wali. Namun, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang dikutip Al-Ghazali: “Kebahagiaan itu bagi orang yang sekarang mengerjakan amal-amal yang akan memberikan keuntungan baginya setelah mati.”
Di dunia ini, setiap detik memang tampak sama: satu menit adalah enam puluh detik, satu jam adalah enam puluh menit. Tetapi dalam neraca Tuhan, setiap detik bisa jadi emas, bisa juga jadi bara.
Baca juga: Bukan Seruling Setan: Membaca Ulang Musik dan Tarian dalam Laku Sufi Imam Al-Ghazali Karena itu, seperti yang diajarkan para wali, tak ada salahnya kita bertanya kepada diri sendiri setiap pagi: “Allah telah memberimu khazanah dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun di antaranya, karena engkau tidak akan mampu menahan penyesalan yang akan mengikuti kerugian seperti itu.”
(mif)