Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Sabtu, 01 November 2025
home masjid detail berita

Sufi Asli dan Palsu: Kontroversi Jalan Menuju Tuhan

miftah yusufpati Rabu, 20 Agustus 2025 - 05:15 WIB
Sufi Asli dan Palsu: Kontroversi Jalan Menuju Tuhan
Sufisme tidak bisa dipaku pada satu definisi. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Di sebuah ruang doa di Konya, Turki, para darwis berputar dalam lingkaran tak berujung. Bagi sebagian penonton Barat, pemandangan itu dianggap sebagai inti Sufisme—sebuah tarian mistik menuju ekstasi spiritual. Namun, seperti diingatkan penulis dan pengkaji Sufisme, Idries Shah, anggapan itu hanyalah sepotong kecil dari warisan panjang yang jauh lebih kompleks.

“Problem serius adalah menempatkan gagasan dan praktik Sufi secara murni,” tulis Shah dalam The Way of the Sufi (Risalah Gusti, 1999). Kesulitan itu muncul karena Sufisme bukan hanya satu hal: ia dituduh sebagai aliran filsafat, sekte rahasia, ilmu gaib, bahkan sistem keksatriaan. Tetapi semua kategori itu gagal menjelaskan hakikat terdalamnya.

Sejak abad pertengahan, Sufi telah merambah bidang filsafat, sastra, hingga psikologi. Tokoh-tokoh seperti Jalaluddin Rumi, al-Ghazali, Hakim Sanai, hingga Ibnu Arabi mengartikulasikan pandangan yang, menurut Shah, “lebih maju dari zamannya.” Mereka bicara tentang dimensi kesadaran manusia, proses evolusi, bahkan “dimensi keempat” yang baru mendapat pijakan ilmiah berabad-abad kemudian.

Baca juga: Tasawuf: Jejak Asketisme, Lintas Perdebatan, dan Bayang-Bayang Asing di Tubuh Islam

Namun di abad ke-20, warisan itu sering dipelintir. Di Eropa dan Amerika, ribuan orang meniru “tarian darwis” tanpa memahami konteks bahwa Rumi menentukannya khusus untuk masyarakat Asia Kecil abad ke-13. Gerakan seperti Subud juga menyerap metode Naqsyabandiyah-Qadiriyah, tetapi dalam bentuk yang “sudah terbalik,” kata Shah. Para pengikutnya mengejar ekstasi subjektif, sementara Sufi sejati justru menilai tahap itu hanya pintu awal menuju tingkat berikutnya.

Dengan demikian, sebagian besar apa yang populer di Barat bukanlah Sufisme, melainkan “refleksi yang terdistorsi.”

Antara Ilmu dan Okultisme

Persoalan lain datang dari para pencari pengetahuan gaib. Banyak orang mendekati Sufi karena mengira ia menyimpan rahasia telepati, kekuatan magis, atau jalan pintas menuju pencerahan. Padahal, dalam tradisi Sufi, pengetahuan semacam itu hanyalah efek samping, bukan tujuan.

Idries Shah menulis getir: “Orang-orang yang percaya dan kadang tidak seimbang ini dapat lebih merupakan masalah daripada skeptis.” Alih-alih menemukan jalan ma’rifat, mereka justru tersesat dalam obsesi mistik.

Para orientalis Barat pun kerap terjebak pada bias serupa. Al-Ghazali pernah dianggap teolog Katolik, Ibnu Arabi dituduh sesat, bahkan seorang darwis Turki abad ke-15, Haji Bektash Wali, diidentifikasi keliru sebagai santo Yunani. Kekacauan atribusi ini memperlihatkan betapa kaburnya batas pengetahuan tentang Sufi di mata dunia luar.

Baca juga: Tasawuf Menurut Syaikh Al-Qardhawi: Jejak Sunyi Menuju Cahaya

Sufi di Ruang Publik Modern

Di pertengahan abad ke-20, media populer ikut menambah kerumitan. Laporan tentang ritual Sufi di Pakistan, Tunisia, hingga Paris bertebaran di majalah internasional seperti Blackwood’s Magazine atau The Times. Tetapi karena terbit di media umum, bukan jurnal akademik, catatan berharga itu luput dari literatur orientalis.

Padahal, menurut Shah, laporan lapangan itulah yang justru mendekati realitas praktik Sufi sehari-hari. Ia mencatat, di Afghanistan misalnya, metode psikoterapi darwis masih dijalankan dengan ketelitian yang menyaingi pendekatan ilmiah modern.

Namun di mata publik, Sufi lebih sering diasosiasikan dengan upacara musik, tarian, atau diet vegetarian yang dipromosikan oleh kelompok pseudo-Sufi di Inggris dan Amerika. “Manfaat dari informasi Sufi, sekali lagi seimbang dengan kerugian dari praktek yang salah,” tulis Shah.

Antara Timur dan Barat

Fenomena lain muncul di Inggris, ketika imigran dari Aden, Somalia, India, dan Pakistan memperkenalkan bentuk-bentuk “Sufisme” bercorak keagamaan fanatik. Mereka menggunakan terminologi tarekat, tetapi lebih menyerupai pertemuan emosional yang katarsis. Di mata sosiolog, ini tidak lebih dari “penaklukan ular dalam Kristen” atau permainan bingo.

Di dunia Islam sendiri, situasi tak kalah pelik. Dari Maroko sampai Jawa, kelompok-kelompok fanatik mengklaim diri sebagai pewaris Sufi, meski ajaran mereka jauh dari pemikiran Ibnu Arabi atau Rumi. Pernyataan radikal Ibnu Arabi—“Malaikat adalah kekuatan yang tersembunyi di dalam pancaindera”—bahkan dianggap menghujat oleh sebagian yang tetap memujanya.

Baca juga: Tasawuf: Di Antara Kekhusyukan dan Kesesatan

Relevansi di Era Modern

Meski kerap disalahpahami, gagasan Sufi tetap memancarkan relevansi. Konsep manusia sebagai makhluk yang “terus berevolusi” kini sejalan dengan penemuan paleoantropologi modern. Kritik mereka terhadap obsesi religius dan indoktrinasi emosional terdengar segar di tengah fundamentalisme keagamaan kontemporer.

Tetapi, seperti diingatkan Shah, tantangan terbesarnya justru datang dari misinterpretasi. “Seorang ahli menemukan jalan pintas menuju pengetahuan Tuhan. Ada banyak jalan menuju Tuhan, sebanyak jiwa manusia,” tulisnya. Kalimat itu sering dipelintir menjadi legitimasi jalan pintas spiritual, padahal maksudnya adalah penegasan bahwa perjalanan ma’rifat bersifat personal dan tak bisa digeneralisasi.

Warisan yang Terus Diperdebatkan

Kini, ketika literatur Sufi tersedia luas di rak buku Barat maupun Timur, publik tetap dihadapkan pada dilema: mana yang asli, mana yang pseudo? Majalah wanita Lady pernah memuat laporan komunitas Sufi Hindu-Kush, sementara She Magazine menyorot praktik Sufi di Eropa. Namun bagi Shah, yang penting bukanlah seberapa banyak teks itu beredar, melainkan apakah pembaca memahami konteksnya.

Baca juga: Tasawuf: Menyusuri Jalan Sufi di Zaman Digital

Pada akhirnya, Sufisme tidak bisa dipaku pada satu definisi. Ia bukan sekadar tarian, bukan sekte, bukan pula filsafat akademis. Ia adalah jalan panjang yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman, disiplin, dan kesediaan untuk melepaskan obsesi dangkal akan keajaiban.

Seperti ditulis Shah, “Bukan guru yang merupakan pokok dari Sufisme, tetapi ajaran itu sendiri.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Sabtu 01 November 2025
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:40
Ashar
14:55
Maghrib
17:49
Isya
19:01
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan