LANGIT7.ID-Kata syari’ah bukan barang asing. Sudah berabad-abad bergaung di telinga umat Islam. Bahkan, sejak firman Ilahi di Surah Al-Jatsiyah ayat 18: “
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu…”
Dalam teks suci, syari’ah berarti jalan menuju kehidupan sesuai kehendak Tuhan. Ajaran, norma, pedoman. Namun, sejarah membawa makna itu menyempit. Kini, syari’ah lebih banyak dipahami sebagai hukum formal. Aturan-aturan lahiriah yang mengikat.
Ketika Islam berkembang, muncul tiga istilah kunci: thariqah, haqiqah, dan ma’rifah. Masing-masing menandai tingkatan spiritual. Syari’ah pun menjadi satu sisi mata uang. Fokus pada hukum lahiriah. Sementara tiga lainnya mengalir ke dunia tasawuf.
Tasawuf sendiri? Bagi sebagian sarjana, ia adalah arus spiritual yang lahir di tengah dua kutub: kelompok formal (para ahli fikih dan hadis) dan kelompok intelektual (
mutakallimin). Ia bukan sekte, bukan mazhab, melainkan kecenderungan.
Baca juga: Tasawuf: Jejak Asketisme, Lintas Perdebatan, dan Bayang-Bayang Asing di Tubuh Islam Ibnu Khaldun mencatat dalam 
Al-Muqaddimah: tasawuf berakar dari disiplin ibadah, konsentrasi tujuan hidup kepada Allah, dan pelepasan diri dari jeratan duniawi. Pada abad pertama Hijriah, hidup sederhana adalah norma. Tapi ketika dunia Islam memasuki era kemakmuran, nilai itu mulai bergeser.
Maka lahirlah para sufi. Mereka menolak gemerlap dunia. Berbalik ke kesunyian.
Jurang yang MelebarDi abad ke-4 H, tasawuf mencapai puncak. Tapi bersamaan dengan itu, muncul pemisahan tajam antara syari’ah (yang digawangi fuqaha) dan haqiqah (ranah para sufi).
Nicholson dalam 
The Mystics of Islam menyebutkan beberapa faktor yang membuat hubungan keduanya retak:
- Syari’ah menonjolkan formalitas. Syi’ar lahiriah.
- Haqiqah menekankan batin. Bahkan sampai melahirkan teori kontroversial: al-fana fi Allah (peleburan diri dalam Allah) oleh Abu Yazid al-Busthami, hub Allah (cinta Ilahi) dari Rabi’ah al-Adawiyah, hingga maqamat dan ahwal yang digagas Dzunnun al-Mishri.
- Sebagian sufi merasa bebas dari ritual formal. “Jika sudah sampai, syari’ah hanya pembuka jalan,” begitu klaim mereka.
Keyakinan pada karamah. Wali diyakini punya kemampuan supranatural.
- Tak heran, konflik meletup. Sampai akhirnya Imam Al-Ghazali turun tangan. Melalui Ihya’ Ulum al-Din, ia menjahit sobekan antara hukum lahiriah dan makna batiniah.
Baca juga: Tasawuf Menurut Syaikh Al-Qardhawi: Jejak Sunyi Menuju Cahaya Tarekat dan Jejak di NusantaraDi Nusantara, 
tasawuf hadir lewat tarekat. Kata ini berasal dari thariqah—jalan spiritual menuju ma’rifah. Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah, hingga Sanusiyah mengakar di Jawa, Sumatra, hingga Sulawesi.
Nicholson menyebut tarekat sebagai “kelembagaan moral” yang mengajarkan hidup bersih, bersahaja, dan disiplin ibadah. Sistemnya jelas: bai’at, khalwat, wirid, hingga penghormatan mutlak kepada syeikh.
Menariknya, tarekat tak hanya spiritual. Ia pernah menjadi kekuatan sosial-politik. Tarekat Sanusiyah, misalnya, menjadi benteng perlawanan terhadap kolonialisme Italia di Libya. Bahkan, menurut Kamil Mushthafa al-Syibi, gerakan tasawuf tak jarang bersinggungan dengan gerakan politik.
Syari’ah, Spiritualitas, dan NegaraDi era negara modern, posisi syari’ah dan tasawuf kembali diperdebatkan. Ada yang ingin mengusung formalisasi hukum syari’ah, ada yang menekankan penghayatan batiniah.
Baca juga: Tasawuf: Di Antara Kekhusyukan dan Kesesatan Pertanyaannya: masihkah kita terjebak dalam dikotomi ini?
Budhy Munawar-Rachman dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah menulis, tantangan umat Islam kini bukan sekadar mempertahankan simbol, melainkan menghidupkan nilai-nilai substantif: keadilan, kesederhanaan, dan kesalehan sosial.
Dalam konteks ini, syari’ah tak boleh berhenti di hukum. Ia harus menjadi etika publik. Dan tasawuf? Ia bisa menjadi koreksi atas hedonisme zaman, mengajak kita kembali pada kesadaran batin.
Pada akhirnya, syari’ah, tasawuf, dan tarekat adalah warisan panjang. Ia bukan sekadar ritual, bukan sekadar hukum, tapi peta jalan untuk hidup bermakna.
Seperti kata Nicholson, “Semua tarekat berbeda nama, berbeda metode. Tapi tujuannya satu: mendekat kepada Allah, melalui disiplin moral dan kesalehan sosial.”
Dan dalam dunia yang kian bising oleh formalitas dan politik identitas, barangkali kita memang butuh kembali mendengar bisikan para sufi: bahwa inti agama adalah cinta, kesederhanaan, dan kejujuran hati.
Baca juga: Tasawuf: Menyusuri Jalan Sufi di Zaman Digital(mif)