LANGIT7.ID- Di ruang isolasi penjara Mesir, 1960-an, seorang intelektual Muslim menulis tafsir Al-Qur’an berlembar-lembar. Karyanya, Fi Zhilal al-Qur’an (Dalam Naungan Al-Qur’an), bukan sekadar tafsir, tapi manifesto ideologis. Dari situlah Sayyid Quthb (1906–1966) meletakkan dasar teologi politik yang mengguncang dunia Islam: Islam bukan sekadar agama, melainkan sistem hidup total yang menolak dominasi manusia atas manusia.
“Sesungguhnya penguasa hanyalah Allah, tak ada penentu hukum selain Dia,” tulis Quthb dalam tafsirnya, merujuk QS al-An‘am [6]:114. Segala bentuk kekuasaan yang tidak tunduk pada syariah, baginya, adalah bentuk taghut—tirani modern.
Aqidah Sebelum HukumQuthb menolak reformasi parsial. Baginya, membasmi dosa-dosa kecil tanpa menumbangkan “kemungkaran terbesar”—yakni masyarakat yang menolak syariah—adalah sia-sia. “Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkatnya bengkok?” katanya.
Itulah mengapa ia memberi prioritas pada aqidah sebelum hukum. Dalam pandangan Quthb, perubahan sosial tidak akan lahir dari regulasi politik semata, melainkan dari pelurusan pandangan hidup: kembali kepada tauhid, menjadikan Allah sebagai sumber tunggal hukum dan nilai.
Pemikirannya menolak apa yang ia sebut “jahiliyah modern.” Sama seperti masyarakat Arab pra-Islam, menurutnya dunia kontemporer—termasuk negeri-negeri Muslim—telah menyingkirkan syariah dan menundukkan hidup pada undang-undang buatan manusia.
Dari Modernis Jadi RadikalMenariknya, Quthb bukan sejak awal seorang radikalis. Ia mengawali karier sebagai kritikus sastra dan pegawai Kementerian Pendidikan Mesir. Tapi pengalaman studinya di Amerika Serikat (1948–1950) mengubah jalan hidupnya.
“Di sana ia melihat Barat yang materialistik, individualistik, dan penuh dekadensi,” tulis John Calvert dalam Sayyid Qutb and the Origins of Radical Islamism (Columbia University Press, 2010). Dari situ, Quthb semakin yakin: modernitas sekuler hanya membawa kehampaan spiritual.
Sekembalinya ke Mesir, ia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Tafsir Fi Zhilal dan risalah Ma‘alim fi al-Thariq (Petunjuk Jalan, 1964) menjadi teks kunci ideologisasi gerakan Islam.
Dari Penjara ke Seluruh DuniaQuthb ditangkap rezim Gamal Abdel Nasser pasca percobaan pembunuhan 1954. Ia mengalami penyiksaan, penjara panjang, dan akhirnya dihukum gantung pada 1966. Namun, gagasannya justru menyebar lebih luas setelah kematiannya.
Richard Mitchell dalam The Society of the Muslim Brothers (Oxford University Press, 1969) mencatat, pemikiran Quthb mengilhami generasi baru aktivis Islam. Dari Mesir, ide “jahiliyah modern” dan “hakimiyah” (kedaulatan Allah) menjalar ke Pakistan, Afghanistan, hingga Indonesia.
Bahkan Ayman al-Zawahiri, ideolog Al-Qaeda, pernah mengakui betapa Ma‘alim fi al-Thariq mengilhami jihad global. Namun, di sisi lain, intelektual seperti Fazlur Rahman mengkritik Quthb sebagai ideolog utopis yang gagal membaca kompleksitas modernitas (Islam, University of Chicago Press, 1979).
Relevansi Hari IniDi era algoritma media sosial, kapitalisme digital, dan politik populis, gagasan Quthb tentang “jahiliyah modern” terasa menemukan gema baru. Namun, pertanyaan yang tersisa: apakah solusi Quthb—kembali pada syariah total—masih relevan untuk dunia yang plural, demokratis, dan saling terhubung?
Jawaban tergantung siapa yang ditanya. Bagi pengikutnya, Quthb adalah syuhada, martir yang mengorbankan hidup demi tegaknya tauhid. Bagi pengkritiknya, ia adalah inspirator kekerasan yang menutup ruang dialog.
Yang jelas, jejak pemikirannya tetap hidup. Dari penjara Mesir, ide tentang hakimiyah melintasi zaman, mengingatkan bahwa perdebatan tentang agama, negara, dan modernitas belum selesai.
(mif)