LANGIT7.ID-Di sebuah majelis kecil di
Madinah, Nabi Muhammad menyampaikan kalimat yang menggetarkan akar budaya Arab: “Tolonglah saudaramu, baik dia zalim atau dizalimi.” Para sahabat tertegun. Di telinga mereka, ungkapan itu akrab—motto kuno masyarakat jahiliyah yang menjadi semboyan kesetiaan buta terhadap kabilah. Bedanya, kali ini ada tafsir baru yang memutar balik maknanya. “Cegahlah dia untuk tidak melakukan kezaliman,” sabda Nabi, “karena itu adalah pertolongan baginya.”
Sebuah konsep lama diberi jiwa baru. Dalam masyarakat pra-Islam, loyalitas atau wala’ adalah tiang utama. Ia mutlak untuk kabilah. Perlindungan diberikan tanpa syarat: benar atau salah. Bahkan, seorang penyair jahiliyah pernah mengabadikannya:
“Mereka tidak bertanya lebih dulu kepada saudara mereka ketika jatuh ke dalam perkara; jawaban mereka adalah bukti.”
Tak heran jika semboyan yang terkenal kala itu berbunyi, “Tolonglah saudaramu, baik dia zalim atau dizalimi.” Bedanya, bila dulu semboyan itu bermakna melindungi tanpa pandang bulu, Islam datang memurnikannya: menolong yang terzalimi, dan menghentikan yang menzalimi.
Baca juga: Hunafa: Para Pencari Tuhan di Tengah Berhala Arab Jahiliyah Revolusi LoyalitasDr. Yusuf al-Qardhawi dalam Fiqh Prioritas (1996) menulis, “Islam menghapus individualisme, fanatisme kelompok, dan pemisahan dari jamaah Islam.” Dalam pandangan Qur’ani, ikatan emosional tertinggi bukan untuk keluarga, suku, atau kelompok, melainkan untuk umat.
Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. al-Maidah: 55)
Ayat ini, kata Qardhawi, adalah deklarasi politik dan sosial yang memindahkan poros loyalitas dari darah ke akidah, dari kabilah ke jamaah iman. Bagi masyarakat yang selama berabad-abad hidup di bawah hukum kesukuan, ini bukan perubahan kecil—ini gempa sosial yang mematahkan sendi-sendi lama.
Baca juga: Rajam, Talak, dan Anak Ingusan: Hukum Perkawinan dan Perceraian di Arab JahiliyahIslam juga menutup pintu bagi fanatisme sempit. Nabi bersabda: “Barangsiapa terbunuh di bawah bendera kebutaan, menganjurkan fanatisme, dan mendukung fanatisme, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim).
Pernyataan ini lebih dari sekadar nasihat moral. Ia adalah garis batas antara identitas keagamaan dan identitas tribal. Loyalitas kepada umat tidak berarti menanggalkan identitas suku, tetapi menjadikannya nomor dua setelah keimanan. “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,” firman Allah (QS. al-Maidah: 8).
Di sinilah letak revolusi etika Islam: memindahkan pusat gravitasi dari ikatan darah ke ikatan nilai. Jika dulu keadilan bisa dikorbankan demi gengsi kabilah, kini Al-Qur’an menempatkan keadilan di atas segalanya—bahkan di atas cinta kepada keluarga.
“Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…” (QS. an-Nisa: 135).
Baca juga: Ketika Ayat Hukum Waris Mengguncang Tradisi Arab Jahiliyah Dari Madinah ke Dunia ModernPertanyaannya: relevankah prinsip ini di abad ke-21? Di era polarisasi politik, fanatisme kelompok, dan tribal digital, pesan ini terdengar seperti teguran yang datang dari 14 abad lalu: jangan terjebak dalam loyalitas buta. Jangan menolong teman hanya karena ia “sekelompok”, apalagi jika ia zalim.
Namun realitasnya, politik identitas kembali menjelma dalam bentuk baru: partai, ormas, bahkan algoritma media sosial yang membentuk “kabilah virtual”. Setiap kubu punya semboyan, punya “bendera”, dan terkadang, punya fanatisme yang sama pekatnya dengan jahiliyah.
Dalam kondisi ini, pesan Nabi terasa segar: menolong bukan berarti membenarkan kesalahan, melainkan menghentikannya. Prinsip yang tampak sederhana, tapi justru sulit diterapkan dalam kultur politik modern yang gemar polarisasi.
Baca juga: Turunnya Al Qur’an Jadi Transformasi dari Jahiliyah ke Masyarakat Modern Menghidupkan Kembali Wala’ yang SehatAl-Qardhawi menyebut konsep ini sebagai “fiqh prioritas”: mendahulukan loyalitas pada umat—bukan pada individu atau kelompok—demi kemaslahatan bersama. Di sinilah letak aktualisasinya: umat yang bersatu karena nilai, bukan karena gengsi.
Fanatisme buta, kata Qardhawi, hanya melahirkan bencana: perang, diskriminasi, dan kezaliman yang dilegitimasi oleh solidaritas sempit. Islam membalikkan logika ini: solidaritas hanya sah jika berpihak pada kebenaran. Bahkan terhadap musuh pun keadilan wajib dijaga.
Mungkin inilah yang dimaksud para darwis modern: bahwa loyalitas sejati tidak bersuara lantang, tetapi hadir sebagai prinsip yang melampaui suku, partai, dan nama keluarga. Di atas segalanya, ia adalah janji setia kepada nilai keadilan—janji yang, bila dilanggar, menjatuhkan kita kembali ke era jahiliyah, meski dengan bendera dan jargon yang lebih modern.
Baca juga: Ustaz Adi Hidayat: Childfree Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyah(mif)