LANGIT7.ID, Jakarta -
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) lahir dari ideologi feminisme yang berkembang di
Barat. Sejarah panjang Barat menempatkan perempuan yang dianggap sebagai warga negara kelas dua memunculkan gerakan feminis untuk menentang heteroseksual (hubungan pria dan wanita) yang dianggap sebagai patriarki.
Kini, LGBT dianggap sebagai kebenaran yang harus disebarluaskan. Hal itu membuat kontestan Piala Dunia 2022 seperti Inggris, Jerman, Belgia, Wales, Denmark, dan Swis ngotot ingin mempromosikan LGBT dalam turnamen empat tahunan tersebut. Mereka mengkritik Qatar sebagai tuan rumah karena melarang simbol LGBT.
Baca Juga: Mengapa Negara Barat Ngotot Promosikan LGBT di Piala Dunia Qatar?
Mahasiswa Program Doktor Universitas Darussalam Gontor, Yongki Sutoyo, menjelaskan, LGBT sebenarnya merupakan proyek kebudayaan Barat secara lebih luas. LGBT juga menjadi program filsafat yang akan mengubah cara pandang orang terhadap seksualitas.
“Sebagai umat Islam seharusnya Pede untuk mengatakan bahwa feminisme, lesbianisme, tidak kompatibel dengan Islam. Apalagi kalau kita berbicara secara historisitas feminisme dan diskursus lesbianisme dan LGBT itu sendiri. Dia sangat eurosentris atau western-sentris,” kata Yongki kepada
Langit7.id, Rabu (30/11/2022).
Para feminis mengklaim patriarki ada di semua kebudayaan. Itu merupakan klaim sepihak. Itu karena bentuk-bentuk patriarki tidak 100% sama seperti sejarah patriarki di Barat. Beda negara beda budaya.
Baca Juga: Hikmah Islam Larang LGBT: Terbukti Bisa Hancurkan Peradaban Manusia
Yongki mencontohkan feminis India yang mengkritik pandangan feminis Barat saat melihat tradisi
sati sebagai tradisi yang membelenggu perempuan. Feminis India mengkritik hal itu. Perempuan India tidak melihat tradisi itu membelenggu wanita, karena
sati bagi masyarakat India adalah bentuk pengorbanan dan sarat nilai-nilai spiritual.
“Makanya, nanti dalam konteks feminisme muncul feminisme poskolonial dan feminisme dekolonial untuk kemudian melakukan serangan balik terhadap hegemoni feminisme Barat. ini untuk menunjukkan bahwa feminisme itu juga beda-beda,” ujar Yongki.
Terlebih jika konsep feminisme hendak
head to head dengan nilai-nilai Islam. Peradaban Islam tidak pernah menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Islam sejak awal menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus dilindungi. Mereka masuk menjadi salah satu tiang penting dalam peradaban Islam. Tidak dipinggirkan sama sekali.
Baca Juga: Kontroversi LGBT di Piala Dunia 2022, Herjunot Ali Bela Qatar
“Jadi, kita (umat Islam) harus pede mengatakan bahwa apa yang diklaim oleh Barat dan feminis suatu hal yang niscaya, sama di semua kebudayaan itu salah. Kalau orang mau belajar sejarah feminisme, itu akan tahu sebetulnya. Ada banyak fakta-fakta kalau kita bandingkan dengan Islam,” tutur Yongki.
Nilai-nilai Islam dalam memposisikan perempuan merupakan dalil kuat melawan feminisme Barat. Sejarah perempuan dalam peradaban Islam jauh berbeda dengan peradaban Barat. perempuan Muslimah tidak pernah mengalami ketertindasan ataupun ditempatkan di strata kelas dua.
Yongki mencontohkan jilbab. Feminis kerap mengidentikkan jilbab sebagai simbol ketertindasan perempuan. Itu salah alamat, kata Yongki. Jilbab dalam Islam sarat nilai spiritual dan secara filosofis mengandung makna yang sangat dalam. Jilbab merupakan simbol penghormatan kepada perempuan, dalam perspektif Islam.
Baca Juga: Resesi Seks Terjadi di Jepang dan Korsel Akibat Pengabaian Agama
“Secara kultur kita (umat Islam) tidak pernah mengalami proses historis yang akhirnya memunculkan feminisme, lesbianisme, dan LGBT. Jadi, kita harus pede bahwa nilai-nilai Islam bisa kita buktikan tidak membelenggu perempuan,” ungkap Yongki.
(jqf)