LANGIT7.ID-Di balik sinar terang pencapaian Barat modern—teknologi, ilmu pengetahuan, industrialisasi, dan standar hidup tinggi—tersembunyi warisan ideologis yang jarang dibicarakan secara jujur: sebuah akar yang bukan bersumber dari wahyu atau agama, melainkan dari jantung kebudayaan Romawi kuno yang utilitarian dan antispiritual.
Dalam pandangan tajam
Muhammad Asad, kenyataan ini seringkali disamarkan oleh retorika moral Barat yang berpakaian
Kristen, padahal hakikatnya lebih dekat kepada mentalitas kekaisaran yang tidak pernah mengenal Tuhan dalam arti sebenarnya.
Asad dalam buku "Islam di Simpang Jalan" yang berjudul asli
Islam at the Crossroads menelanjangi apa yang disebut sebagai “keadilan Romawi” yang legendaris itu: bukan keadilan universal, tetapi hanya berlaku untuk warga Romawi. Keadilan yang dilandasi kepentingan politik dan ekspansi kekuasaan. Jika itu menuntut kekerasan atau ketidakadilan terhadap golongan lain, maka semua itu dianggap sah dan bahkan wajib dilakukan demi kekuatan imperium.
Peradaban Romawi, lanjut Asad, sesungguhnya tidak pernah benar-benar religius. Dewa-dewanya hanyalah “roh-roh samar” yang diambil dari mitologi Yunani, ditaruh sebagai ornamen sosial dan simbol negara. Dewa-dewa itu tak punya otoritas moral; mereka tak memberi hukum, apalagi mengarahkan tindakan etis manusia. Dalam sistem Romawi, agama adalah instrumen sosial, bukan jalan spiritual. Dan dari bumi inilah tumbuh akar dunia Barat modern.
Baca juga: Membedah Mitos: Perbedaan Hakiki Antara Imperium Islam dan Imperium Romawi Agama yang Ditoleransi tapi DisingkirkanBarat hari ini, meski secara formal tak menyangkal Tuhan, secara praktis telah meminggirkannya dari ranah kehidupan publik dan pertimbangan praktis. Agama ditoleransi, bahkan kadang dipuji—selama ia tetap dalam bingkai "konvensi sosial". Tetapi dalam pengambilan keputusan, dalam penyusunan hukum, dalam etika ilmu pengetahuan dan ekonomi, Tuhan bukan faktor relevan. Dalam sistem Barat modern, agama bukan lagi sumber makna, melainkan lebih mirip dengan warisan budaya yang sopan untuk dikenang, bukan untuk dijadikan dasar berpikir.
Asad menyebutnya sebagai bentuk agnostisisme praktis: bukan ateisme deklaratif, tetapi ketidakpedulian sistematis terhadap pertanyaan-pertanyaan spiritual yang tidak bisa diuji secara empiris. Karena Tuhan tidak dapat “dibuktikan” secara ilmiah, maka peradaban Barat memilih mengabaikannya—bukan membantah-Nya.
Lantas bagaimana dengan agama Kristen, yang sering disebut sebagai fondasi moral Barat? Asad dengan tegas menyanggah klaim ini. Menurutnya, adalah sebuah ilusi besar jika menganggap bahwa peradaban Barat hari ini berakar dari ajaran Kristen. Yang terjadi justru sebaliknya: pencapaian-pencapaian material Barat—terutama dalam ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan sistem negara modern—lahir dari pergulatan melawan dominasi gereja dan dogma-dogma Kristen pada masa lalu.
Baca juga: Di Tengah Gelombang Barat: Jalan Tengah Menurut Muhammad AsadBarat modern tidak didorong oleh wahyu, tetapi oleh kebutuhan praktis. Spirit yang menggerakkannya bukan "penebusan dosa" atau "keselamatan jiwa", melainkan keinginan untuk menundukkan dunia, mengendalikan alam, dan mengeksplorasi segala kemungkinan hidup—tanpa terikat oleh etika transendental atau hukum moral dari Tuhan.
Dalam sistem ini, hanya dua hal yang layak diperhatikan: apakah sesuatu itu bisa diuji secara empiris, atau apakah ia berpengaruh langsung pada tatanan sosial yang nyata. Segala hal yang berada di luar dua kategori itu—termasuk Tuhan—dianggap tidak praktis, dan karenanya, tak relevan. Itulah sebabnya peradaban Barat bisa tampak toleran terhadap agama sambil tetap mengosongkan makna spiritualnya.
Baca juga: Dua Jalan Peradaban: Islam dan Barat di Simpang SpiritualitasDari Roma ke Silicon ValleyAsad mengajak kita membaca lintasan sejarah secara lebih jernih: dari Roma kuno yang anti-agama dan utilitarian, hingga Silicon Valley yang sekuler dan fungsionalis. Semangatnya tidak berubah: menaklukkan, menguasai, mengejar efektivitas dan efisiensi—bukan mencari makna atau kebajikan hakiki. Ilmu pengetahuan dijadikan sarana pembenaran, sementara etika dijadikan pelengkap retoris.
Barat hari ini tidak ateis secara teologis, tetapi ateis secara struktural. Ia menyingkirkan Tuhan bukan karena menolaknya secara terang-terangan, tetapi karena merasa tidak memerlukannya. Dalam dunia yang digerakkan oleh algoritma, keuntungan ekonomi, dan efisiensi sistemik, Tuhan bukan variabel yang dianggap membantu kinerja.
Bagi Muhammad Asad, inilah yang membedakan Islam secara radikal dari peradaban Barat. Islam, sejak awal, menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala dimensi hidup: spiritual, moral, sosial, politik, dan intelektual. Tidak ada pemisahan antara iman dan amal, antara agama dan kehidupan. Tuhan bukan sekadar simbol, tetapi sumber hukum dan nilai yang hidup.
Dan karena itulah, Islam menolak gagasan bahwa kemajuan material adalah ukuran keberhasilan manusia. Ia menegaskan bahwa peradaban sejati harus berpijak pada kesadaran spiritual, bukan sekadar kenyamanan dan pencapaian teknologi. Inilah pelajaran penting di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun kehilangan arah: bahwa tanpa roh, kekuatan hanya akan menjadi kosong; dan tanpa Tuhan, peradaban hanya akan menjadi megah di luar tapi rapuh di dalam.
Baca juga: Jalan Moral dan Tanggung Jawab Individu: Pandangan Islam tentang Perjuangan dan Penaklukan(mif)