LANGIT7.ID-Perbandingan antara imperium
Romawi dan imperium Islam sering terdengar akrab di telinga para pelajar sejarah: dua kekuatan besar, membentang lintas benua, dan mempersatukan beragam suku dan bahasa di bawah panji kekuasaan tunggal. Tetapi, seperti ditegaskan oleh
Muhammad Asad dalam karya pemikirannya yang monumental
Islam di Simpang Jalan, persamaan itu hanya bersifat permukaan, dan bahkan bisa menyesatkan bila tidak dibaca secara kritis.
Sebagaimana disebut Asad, anggapan bahwa imperium Islam dan imperium Romawi "bersamaan" dalam esensi dan tujuan adalah bagian dari "lagu lama sejarah yang sumbang". Ia menyerang akar pemahaman populer yang didasarkan pada pengetahuan dangkal dan dikendalikan oleh cara pikir geopolitik semata, bukan oleh pemahaman spiritual dan sosiologis yang mendalam.
Imperium Romawi dibentuk oleh keinginan untuk ekspansi, dominasi, dan pemanfaatan wilayah taklukan untuk kepentingan negara induk. Penaklukan Romawi bersifat eksploitatif. Tidak ada misi spiritual yang menyatukan rakyatnya, tidak ada ruh yang menjadi fondasi. Romawi berkembang karena kekuatan militer dan kecanggihan administrasi; tetapi tak memiliki landasan ideal universal yang bisa mengikat bangsa-bangsa yang ditaklukkannya dalam satu kerangka nilai.
Sebaliknya, imperium Islam tumbuh di atas semangat dakwah dan kesadaran moral. Ia tidak dibentuk oleh bangsa tertentu, tidak didominasi satu ras atau wilayah pusat, dan tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri.
Baca juga: Di Tengah Gelombang Barat: Jalan Tengah Menurut Muhammad Asad Sejak awal, imperium Islam didasarkan pada penyebaran prinsip tauhid—keesaan Tuhan—dan keadilan sosial sebagai amanat ilahi. Bahkan bangsa-bangsa yang sebelumnya tertindas menemukan ruang baru dalam struktur kekhalifahan, dari Persia hingga Afrika Utara.
Asad menyebut dengan tegas: “Tidak ada bangsa yang diistimewakan dalam imperium Islam.” Kontras yang tajam dengan Romawi, yang selalu meletakkan warga Roma dan elit Italia sebagai puncak hierarki sosial.
Ketahanan Sosial dan Spiritualitas yang MenopangPerbedaan paling mencolok tampak dalam proses terbentuk dan runtuhnya kedua imperium. Imperium Romawi memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk berkembang dan hanya satu abad untuk runtuh, ditelan migrasi bangsa-bangsa barbar. Setelah kejatuhan itu, hanya tinggal puing-puing arsitektur dan naskah-naskah hukum dan sastra.
Sementara itu, imperium Islam tumbuh dalam delapan puluh tahun pertama sejarahnya—sebuah lompatan luar biasa. Dan ketika kemudian menghadapi serangan bertubi-tubi dari bangsa Mongol, Salibis, dan kekuatan-kekuatan kolonial, tubuh kekhalifahan tidak langsung roboh. Bahkan meski kekuasaan politik melemah dan mengalami fragmentasi, struktur sosial dan kebudayaan Islam tetap berdiri. Asad melihat ini sebagai bukti kekuatan batin umat Islam: pilar yang menopang bukan semata militer dan hukum, melainkan ruh dan ajaran al-Qur’an.
Islam menyatukan tidak dengan pemaksaan, tetapi dengan keyakinan. Nabi Muhammad bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga guru moral dan teladan kehidupan yang hidupnya menubuhkan ajaran secara nyata. Inilah pita baja spiritual yang melingkari imperium Islam dan menjadikannya tahan guncangan selama hampir seribu tahun lebih.
Baca juga: Dua Jalan Peradaban: Islam dan Barat di Simpang Spiritualitas Romawi Tanpa Ruh, Islam Tanpa Bangsa IstimewaRomawi tumbuh dalam kehampaan spiritual. Tidak ada prinsip ilahiah yang dijadikan alasan moral dalam menaklukkan dunia. Roma hanya percaya pada kekuasaan sebagai alat untuk kemakmuran Roma. Itu sebabnya bangsa-bangsa taklukan selalu menjadi korban eksploitasi, bukan mitra dalam membangun peradaban. Ketika pusat kekuasaan itu roboh, seluruh jaringannya ikut runtuh.
Berbeda dengan Romawi, Islam tidak pernah menjadikan suku Quraisy atau bangsa Arab sebagai satu-satunya pewaris kekuasaan. Sejarah mencatat bagaimana bangsa Persia, Turki, Kurdi, hingga bangsa-bangsa Afrika dan Asia Tengah mengambil peran penting dalam memimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat. Keragaman menjadi kekuatan, bukan ancaman.
Mitos sejarah sering lahir dari kebutuhan untuk menyederhanakan realitas yang kompleks. Dalam hal ini, menyamakan imperium Islam dengan imperium Romawi mungkin terasa nyaman bagi narasi Barat modern yang ingin membingkai Islam sebagai kekuatan "imperialis" masa lalu yang serupa dengan Roma atau Bizantium. Namun, seperti ditunjukkan oleh Muhammad Asad, kenyataannya jauh berbeda.
Baca juga: Jalan Moral dan Tanggung Jawab Individu: Pandangan Islam tentang Perjuangan dan Penaklukan Imperium Romawi adalah ekspresi materialisme kuno yang mewarisi sikap politik Barat modern hari ini: dominasi demi dominasi. Sedang imperium Islam adalah ekspresi kepercayaan spiritual atas tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi—suatu tugas moral, bukan ambisi kekuasaan. Inilah titik pembedaan yang tidak bisa dinegosiasi. Dan justru di sanalah letak keunggulan peradaban Islam dalam sejarah manusia: bukan karena wilayahnya luas, tetapi karena ruhnya yang hidup dan menghidupkan.
(mif)