LANGIT7.ID-Dalam dunia yang dipenuhi retorika tentang perdamaian, toleransi, dan non-intervensi, pembicaraan tentang “imperialisme Islam” seolah terdengar kontras, bahkan provokatif. Namun
Muhammad Asad, pemikir kelahiran Austria yang menjadi salah satu penafsir Islam paling jernih abad ke-20, mengajukan narasi tandingan yang mendalam dan sekaligus berani dalam
Islam di Simpang Jalan (1935).
Menurutnya, Islam memang universal, dan karena itu menuntut partisipasi aktif dari umatnya dalam membentuk dunia yang lebih adil, lebih bermoral, dan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Ilahi. Tapi itu bukan imperialisme dalam pengertian modern yang penuh kerakusan dan dominasi, melainkan semacam “imperialisme moral”—yaitu tanggung jawab etis untuk menegakkan kebaikan dan memberantas keburukan di segala ruang kehidupan.
Asad membuka argumennya dengan mengacu pada ayat kunci dalam
al-Qur'an: “
Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan untuk manusia: kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan kamu beriman kepada Allah.” (QS 3:110)
Ayat ini bukan sekadar pujian spiritual, melainkan mandat etis. Setiap Muslim, bukan hanya pemerintah atau ulama, diminta untuk menjadi agen moral yang aktif di tengah masyarakat. Tidak cukup hanya mengenal mana yang baik dan mana yang buruk; pengenalan itu sendiri menimbulkan tanggung jawab untuk bertindak.
Asad menolak gagasan moralitas pasif ala Plato—di mana pengetahuan tentang kebaikan bisa hidup berdampingan dengan ketidakpedulian praktis. Dalam pandangan Islam, tulis Asad, “moralitas hidup dan mati bersama perjuangan manusia untuk menegakkan kejayaan moralitas itu di muka bumi.”
Baca juga: Di Tengah Gelombang Barat: Jalan Tengah Menurut Muhammad Asad Imperialisme Tanpa RakusBagian paling sensitif dari pembahasan Asad—yang sekaligus paling penting dalam membingkai sejarah Islam—adalah pembelaannya terhadap ekspansi
politik Islam awal. Ia tidak menghindar dari istilah “imperialisme”, tetapi juga tidak membiarkannya dipakai tanpa klarifikasi etis.
Jika ekspansi Islam awal disebut “imperialisme”, maka itu adalah imperialisme yang sangat berbeda dari model kolonial Eropa. Tidak didorong oleh keserakahan ekonomi, bukan upaya dominasi atas bangsa lain, bukan pula proyek identitas nasional yang sempit. “Imperialisme” Islam, tulis Asad, adalah ekspresi dari tanggung jawab moral global.
Tujuannya bukan menjadikan dunia sebagai wilayah kekuasaan Muslimin, tetapi sebagai ruang yang memungkinkan berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual yang adil dan manusiawi.
“Pengetahuan moral secara otomatis memaksakan tanggung jawab moral atas manusia,” tulis Asad. Dan karenanya, umat Islam tidak bisa diam saja melihat ketidakadilan, tirani, atau penindasan—baik dalam skala individu, masyarakat, maupun peradaban.
Poin krusial dalam argumentasi Asad adalah bahwa tanggung jawab ini bersifat individual. Setiap Muslim wajib memandang dirinya sebagai pelaku sejarah, bukan penonton. Ia bukan hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Dengan demikian, Islam bukan hanya agama yang memberi perintah spiritual, tetapi juga etika politik—dan etika ini bermula dari pribadi: dari sikap, kesadaran, dan aksi seorang Muslim terhadap lingkungan sosialnya.
Baca juga: Islam dan Jalan Tengah: Menyelaraskan Dunia dan Akhirat Tanpa Dosa Warisan Mengapa Relevan Sekarang?Dalam dunia global saat ini, ketika imperialisme modern berganti wajah menjadi hegemoni budaya, ekonomi, dan teknologi, wacana Asad terasa lebih hidup dari sebelumnya. Ia menawarkan cara pandang alternatif terhadap keterlibatan umat Islam dalam dinamika dunia: bahwa menjadi “umat terbaik” bukan status pasif, tapi tugas berat yang menuntut intelektualitas, keberanian, dan ketekunan.
Di tengah gelombang Islamofobia dan penyempitan makna jihad dalam narasi media, pemikiran Asad memberikan koreksi tajam. Ia menegaskan bahwa perjuangan umat Islam tidak boleh dibelokkan menjadi pembenaran atas kekerasan, tetapi juga tidak boleh direduksi menjadi kesalehan privat yang apatis terhadap ketidakadilan publik.
Muhammad Asad tidak memulai dari apologetik, tetapi dari keyakinan mendalam bahwa Islam adalah sistem moral yang integral. Ia tidak meminta umat Islam untuk bersikap defensif terhadap tudingan imperialisme, tetapi justru mengangkat posisi Islam sebagai agama yang secara aktif mengajak manusia untuk memikul tanggung jawab sejarah.
Dengan mengembalikan kesadaran moral ke jantung tindakan umat, Asad memulihkan Islam bukan sebagai sistem dogma, tapi sebagai kekuatan yang hidup—sebuah proyek etis dan spiritual yang menuntut pelibatan total dalam kehidupan manusia, dari skala personal hingga global.
Baca juga: Kesatuan Spiritual dan Material: Islam dan Harmoni Kehidupan Modern(mif)