LANGIT7.ID, Jakarta -
Generasi Stroberi pertama kali dikenal di Taiwan pada tahun 80-an. Tapi, istilah itu baru marak di Indonesia pada 2022 lalu dan menjadi perhatian banyak psikolog.
Generasi stroberi. identik dengan anak muda yang memiliki kreativitas dan ide cerdas, tapi mudah rapuh secara mental. Menurut psikolog Yirawati Sumedi, salah satu penyebab anak menjadi generasi stroberi adalah terlalu dimanja sejak dini. Semua fasilitas diberikan meski sebenarnya tidak mereka butuhkan.
“Jadi, semuanya memang pada pola asuh. Makanya perlu ada kurikulum kesengsaraan, kita memberikan kurikulum kesengsaraan agar anak-anak lebih Tangguh,” ujar Ira dalam webinar Fenomena Generasi stroberi yang diikuti Langit7.id, Selasa (31/1/2023).
Baca Juga: Mengenal Generasi Stroberi, Kreativitas Tinggi tapi Mental Lembek“Kurikulum itu bukan berarti membuat anak-anak menderita, bukan membuat anak-anak kayak disuruh apa-apa harus bekerja,” imbuh Ira.
Ira menjelaskan, ada empat penyebab anak bisa menjadi generasi stroberi, yaitu self diagnosis terlalu dini tanpa melibatkan pihak yang ahli, cara orang tua mendidik, narasi-narasi orang tua yang kurang berpengetahuan, kondisi mental psikologis dan persepsi tentang diri.
Self diagnosis banyak dilakukan oleh anak-anak, bahkan orang dewasa. Marak terdengar dari anak muda yang gampang mengucapkan ‘butuh
healing’ ataupun ‘sakit mental’ dan lain sebagainya.
Padahal, kata dia,
healing merupakan rangkaian penyembuhan psikologis bagi orang yang pernah mengalami gangguan jiwa, mengalami masalah yang diakibatkan trauma, hingga luka batin serius.
Baca Juga: KH Said Aqil Siradj: Islam Berpeluang Besar Bangkit dari Indonesia“Sebenarnya, kita hanya butuh
refreshing, tetapi akhirnya butuh
healing. Hal Itu yang memang harus dibetulkan, sehingga literasi yang beredar di kalangan anak-anak kita, dan kita sendiri, butuh diperbaiki,” ucap Ira.
Oleh karena itu, orangtua harus memberikan literasi mumpuni kepada anak-anak. Literasi bukan sekadar baca-tulis, tapi literasi terkait cara memahami lingkungan sekitar. Literasi bermacam-macam seperti literasi numerik, literasi digital, literasi budaya, hingga literas kewarganegaraan.
“Jadi, kalau berbicara soal literasi nanti akan berkembang sangat luar biasa bahasanya,” ujar Ira. Cara orang tua mendidik terkait kondisi keluarga, di mana anak dibesarkan dalam situasi yang lebih sejahtera dibandingkan generasi sebelumnya. Anak-anak di era digital saat ini tidak merasakan kesusahan ataupun kesulitan generasi sebelumnya.
Baca Juga: 50 Hari Menuju Ramadhan, Lakukan Persiapan Ini Sejak SekarangContoh sederhana dalam hal mencuci pakaian. Generasi dulu mencuci pakaian sendiri tanpa bantuan mesin. Tapi saat ini, anak-anak terbiasa dengan aktivitas kehidupan yang lebih instan. Seperti ada pakaian kotor langsung dimasukkan ke mesin cuci ataupun dibawa ke
laundry.
“Itu juga yang membuat anak-anak kita tidak terlatih. Padahal, kita ingin anak-anak itu Tangguh salah satunya, harus melakukan
practical life dan
life skill kepada anak-anak. Semua itu ada sesuai tahapan usia,” ungkap Ira.
Practical life dan
life skill tersebut yang banyak diabaikan orang tua saat ini. padahal,
practical life memiliki dampak yang luar biasa bagi anak-anak. Salah satunya anak-anak akan terbiasa berfikir secara mandiri.
Baca Juga: Manfaat Puasa Bagi Kesehatan Tubuh, Yuk Jalankan Sunah Rasulullah“Kalau
practical life dilakukan sedini mungkin. Kalau
practical life sudah selesai, maka kita berikan
life skill. Ini yang benar-benar harus kita perhatikan. Bagaimana orangtua di rumah mengasuh anak-anak, kalaupun misalnya ada pembantu, anak-anak harus mengerjakan tugas-tugas yang memang bisa dia lakukan sesuai usia dan kemampuannya,” ungkap Ira.
Salah satu penyebab paling banyak generasi stroberi berasal dari orang tua yang kurang berpengatahuan. Pengetahuan memiliki fungsi penting dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pengetahuan tentang pola asuh hingga literasi-literasi yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak.
Orangtua yang kurang berpengetahuan cenderung menerima berita hoaks. Pada akhirnya, orangtua memiliki semacam ketakutan yang tidak perlu. Padahal, setiap informasi bisa disaring dengan pengetahuan.
Baca Juga: Pendaftaran Bantuan Inkubasi Bisnis Pesantren Dibuka Februari 2023
“Hari ini kita suka terpancing oleh berita-berita hoaks. Ini yang akhirnya membuat kita sebagai orangtua kurang bisa menyampaikan informasi yang benar kepada anak-anak,” kata Ira.
Oleh karena itu orangtua sangat dituntut untuk terus belajar. Tidak boleh berhenti dengan kemampuan ilmu saat ini. Itu karena orangtua menjadi guru pertama dan paling utama bagi anak-anak. Karakater anak lebih banyak turun dari kehidupan keluarga. Pada titik itu, orang tua mesti memiliki banyak pengetahuan agar bisa memberikan teladan terbaik kepada anak. Wawasan yang luas akan memudahkan orangtua mencari solusi-solusi yang terjadi pada anak.
Saat ini, kemampuan anak-anak terbatas untuk
self image yang positif.
Self image positif juga dipengaruhi oleh pengasuhan. Ini terkait dengan cara orangtua memberikan labeling kepada anak-anak.
Baca Juga: Emil Dardak: Siswa Indonesia Harus Dilatih Berpikir Kritis
“Bagaimana kita memberikan bahasa-bahasa yang baik kepada anak, bagaimana kita melakukan asertifitas kepada anak. Itu ternyata sangat mempengaruhi kondisi mental psikologis dan persepsi anak tentang dirinya,” kata Ira.
Oleh karena itu, Ira mengingatkan, bila hari ini banyak anak menjadi generasi stroberi, maka orang yang paling pertama harus intropeksi diri adalah orangtua. Banyak anak menjadi generasi demikian karena tidak mendapat pola asuh yang tepat.
“Jadi, kalau hari ini kita melihat generasi stroberi itu adalah generasi gampang melabel dirinya, dan labelnya itu cenderung negatif, maka kita harus ke diri sendiri. ‘saya dulu ngomong ke dia seperti apa yak’. Karena pola komunikasi itu juga sangat mempengaruhi,” pungkas Ira.
(jqf)