Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 16 Juli 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Hukum Nyanyian dan Musik Menurut Muhammadiyah, NU, dan Salafi

miftah yusufpati Senin, 10 Februari 2025 - 04:45 WIB
Hukum Nyanyian dan Musik Menurut Muhammadiyah, NU, dan Salafi
Tidak ada perbedaan pendapat antara Muhammadiyah dan NU terkait hukum nyanyian. Salafi tegas mengharamkan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID--Di antara hiburan yang dapat menghibur jiwa dan menenangkan hati serta mengenakkan telinga, ialah nyanyian. Hal ini dibolehkan oleh Islam, selama tidak dicampuri omong kotor, cabul dan yang kiranya dapat mengarah kepada perbuatan dosa.

Dalam hadis diterangkan:

"Dari Aisyah ra, bahwa ketika dia menghantar pengantin perempuan ke tempat laki-laki Ansar, maka Nabi bertanya: Hai Aisyah! Apakah mereka ini disertai dengan suatu hiburan? Sebab orang-orang Ansar gemar sekali terhadap hiburan." (Riwayat Bukhari)

Dan diriwayatkan pula:

"Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Aisyah pernah mengawinkan salah seorang kerabatnya dengan Ansar, kemudian Rasulullah s.a.w. datang dan bertanya: Apakah akan kamu hadiahkan seorang gadis itu? Mereka menjawab: Betul! Rasulullah s.a.w. bertanya lagi. Apakah kamu kirim bersamanya orang yang akan menyanyi? Aisyah menjawab: Tidak! Kemudian Rasulllah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya orang-orang Ansar adalah suatu kaum yang merayu. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kamu kirim bersama dia itu seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamul" (Riwayat Ibnu Majah)

"Dan dari Aisyah r.a. sesungguhnya Abubakar pernah masuk kepadanya, sedang di sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (Idul Adha), sedang Nabi s.a.w. menutup wajahnya dengan pakaiannya, maka diusirlah dua gadis itu oleh Abubakar. Lantas Nabi membuka wajahnya dan berkata kepada Abubakar Biarkanlah mereka itu hai Abubakar, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berpendapat sama tentang hukum nyanyian dan musik, yaitu membolehkan. Sedangkan kelompok Salafi mengharamkan. Berikut ini uraian pendapat ketiga ormas Islam tersebut.

Baca juga: Hukum Mengenakan Cadar bagi Muslimah Menurut NU, Muhammadiyah dan Salafi

Fatwa Tarjih Muhammadiyah tentang Musik

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mendengarkan musik dan wisata ke candi. Dalam fatwa Tarjih disebutkan jika seni musik membawa pada kemanfaatan maka hukumnya boleh, apabila hanya membuang waktu saja tanpa memberikan faedah maka hukumnya makruh, dan jika keluar dari koridor syari’at agama maka jelas hukumnya haram.

Dengan semangat yang sama pula, fatwa Tarjih membolehkan mengunjungi candi, asal tidak mengandung kegiatan yang membawa pada perbuatan syirik.

Dari keterangan fatwa Tarjih di atas, menarik sekali membedah metode istinbath hukum Majelis Tarjih tentang musik dan wisata candi ini. Dalam proses membedah ini, ada tipologi ‘illat (ratio legis) dari tulisan ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof. Syamsul Anwar yang juga dapat dibaca di kitab Usul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah.

Dalam kitab tersebut, Prof. Syamsul menjelaskan tentang mekanisme penemuan hukum berdasarkan metode ta’lili (metode kausasi/qiyas) di bawah judul bab “al-thariqah al-ta’liliyyah”.

Lebih lanjut, setelah menjelaskan perdebatan ulama tentang apakah hukum itu mengandung ‘illah (kausa) atau tidak, Prof. Syamsul kemudian mengklasifikasikan metode ta’lili (metode kausasi) ini menjadi dua macam: pertama, al-‘illah al-fa’ilah atau kausa efisien; kedua, al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final.

Dalam penjelasan prof. Syamsul, al-‘illah al-fa’ilah adalah penyebab ditetapkannya suatu ketentuan hukum dan ‘illat ini mendahului penetapan hukum.

Contoh, ijab qabul adalah ‘illat sahnya suami istri berhubungan badan. Tindak pidana korupsi adalah ‘illat dari jatuhnya hukum potong tangan. Sedangkan al-‘illah al-gha’iyyah adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Menurut Prof. Syamsul, ‘illat ini terwujud setelah, dan didahului oleh, penetapan hukum.

Baca juga: Poligami Menurut Ulama NU, Muhammadiyah, dan Salafi

Contoh, pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, sah tidaknya sebuah perceraian harus ditentukan di pengadilan, tujuannya agar menekan tingkat perceraian dan menghindari kesewenangan talak yang mungkin dijatuhkan oleh suami tanpa alasan yang logis dan sah. Menurut Prof. Syamsul, al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final inilah yang sesungguhnya merupakan Maqashid al-Syarī’ah.

Kalau kita melihat argumen Majelis Tarjih tentang musik dan wisata candi seperti yang sudah disampaikan di atas, maka dapat kita kategorikan pandangan Majelis Tarjih ini termasuk kategori al-‘illah al-gha’iyyah.

Dalam hal ini, tampaknya Majelis Tarjih ingin memberikan satu pelajaran penting kepada kita bahwa penetapan hukum jangan dilihat secara monolitik (misalnya hanya dihukumi haram), tetapi harus menyeluruh berdasarkan al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final.

Dengan pembacaan yang seperti ini, kita akan melihat segala objek hukum dengan adil dan proporsional, tidak melulu halal dan juga tidak selalu haram. Sehingga membawa persoalan ini pada kesimpulan bahwa kalau musik dan wisata candi membawa seorang mukallaf pada kesesatan, maka hukumnya haram. Sedangkan jika musik dan wisata candi tersebut membawa seorang muslim pada kemashlahatan, maka mubah.

Hal di atas sama dengan pandangan Majelis Tarjih tentang menggambar, melukis dan membuat patung. Saat sebagian kelompok Islam mengharamkan melukis dan membuat patung, Majelis Tarjih dengan metode pembacaan teks yang menyeluruh (istiqra), aktivitas melukis dan membuat patung dihukumi tiga bentuk tergantung al-‘illah al-gha’iyyah, yaitu bisa haram, makruh, dan mubah. Melukis dan membuat patung dapat menjadi haram manakala disembah, dan dapat menjadi mubah manakala dijadikan media pembelajaran.

Melalui pembacaan seperti ini, kita menghukumi segala sesuatu secara kondisional-kontekstual, bukan dengan cara parsial-tekstual. Penentuan hukum yang bersifat konkret dan praktis agar tidak monolitik harus memakai kerangka al-‘illah al-gha’iyyah. Keterangan ini dapat menjadi tawaran bahwa fikih tidak selalu terpusat pada suatu analisis tekstual belaka dengan model deduksi peraturan-peraturan konkrit dari nas-nas.

Baca juga: Strategi Dakwah Salafi: Bandingkan dengan NU dan Muhammadiyah

Dengan menggunakan al-‘illah al-gha’iyyah ini, pembacaan terhadap teks al-Qur’an dan Hadis dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas (juz’iyyah) dan monolitik, diperluas radius jangkauan liputan pemahamannya menjadi lebih umum (‘ammah) dan universal (‘alamiyyah). Artinya, fikih tidak terlalu fokus pada debat melelahkan seputar halal-haram, tetapi menyusun kerangka kategori-kategori yang bersifat relasional dan kondisional.

Sehingga dengan pemahaman seperti ini Islam tidak harus bersikap kaku, ambigu atau bias. Tetapi menjadi ummatan wasatha yang teguh berparadigma maqashidi dan bahkan bisa sampai menjadi wajah Islam yang rahmatan li al-‘alamīn.

Hukum Musik Menurut NU

Sikap Nahdlatul Ulama ini mengacu pada pendapat Ustaz Ahmad Ali MD. Beliau adalah pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang, Dosen Tetap Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ) Jakarta.

Sebagaimana dilansir laman resmi NU, Ahmad Ali berpendapat masalah musik merupakan persoalan ijtihâdiyah, yakni masalah dalam ranah ijtihad (fî majâl al-ijtihâd), dalam arti tidak jumȗd (kaku), melainkan terbuka lebar bagi penafsiran (interpretasi).

Hal ini karena tidak ada nas yang secara qath’i (pasti) dan sharih (jelas) yang melarang musik, bernyanyi dan seni. Telah maklum bahwa pada dasarnya sifat tafsir atau syarah kebenarannya tidaklah mutlak, melainkan nisbi atau relatif (zanni).

Oleh karena itu, pendapat yang membolehkan musik, bernyanyi dan seni relevan digunakan sebagai panduan. Sungguhpun begitu, pendapat yang membolehkan tersebut dan untuk dijadikan panduan itu bukanlah berarti membolehkan secara mutlak, tanpa batasan, melainkan ada batasan atau syarat-syarat pembolehannya.

Pada dasarnya musik, bernyanyi, dan seni adalah boleh (mubâh). Hal ini setidaknya merujuk pada dua kitab, Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn karya Imam al-Ghazâlî (450-505 H/1058-1111 M), dan al-Fiqh ‘al-Madzâhib al-Arba‘ah karya Syekh ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî (1299-1360 H/1882-1941 M).

Terdapat sejumlah nama sahabat, tabiin dan ulama yang membolehkan musik. Hujjatul Islam Imam al-Ghazâlî memberi apresiasi begitu tinggi terhadap musik, nyanyian dan seni. Dalam Kitab Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn (Juz II, halaman 273), ia menyampaikan kata-kata indah:

"Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati."

Lebih lanjut, al-Ghazâlî menjelaskan: "Abû Thalib al-Makkî mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada di antaranya sahabat ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah, dan lainnya. Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa banyak ulama salafus salih, baik sahabat atau tabiin, yang melakukan dengan memandangnya sebagai hal baik.

Abû Thalib al-Makkî mengatakan bahwa ulama Hijaz (Makkah dan Madinah, dahulu) selalu mendengarkan nyanyian pada hari utama dalam setahun, yaitu hari yang diperintahkan Allah untuk menyebut nama-Nya, seperti hari Tasyriq. Demikian pula dengan penduduk Madinah sampai zaman kami saat ini.

Hingga kami menemukan Qadli Marwan, dia memiliki beberapa budak wanita yang bernyanyi untuk manusia dan ia siapkan untuk para Sufi. Atha’ juga memiliki dua budak wanita yang bernyanyi, maka saudara-saudaranya mendengarkan keduanya.

Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ada yang bertanya kepada Abû Hasan bin Sâlim, ‘Bagaimana engkau ingkar (melarang) mendengarkan nyanyi, padahal al-Junaid, Sarî Saqathî, Dzun Nûn membolehkan?’

Ia menjawab, ‘Bagaimana aku melarang mendengarkan nyanyian padahal ada orang yang lebih baik dari aku yang membolehkan dan mendengarkan?’ Sungguh ‘Abdullah bin Ja‘far ath-Thayyâr mendengarkan nyanyian. ‘Yang aku ingkari adalah permainan yang ada dalam nyanyian,’” (Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, Juz II, halaman 267). Wallahu a’lam.

Pendapat Kaum Salafi tentang Hukum Musik

Kaum salafi memandang musik sebagai sesuatu yang tidak boleh. Musik dianggap dapat merusak kekhusyuan sholat. Kemudian musik juga dianggap sebagai wasilah menuju kemaksiatan. Hal tersebut disampaikan ulama Salafi, Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas.

Ia mengutip hadis dari ‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia berkata, “Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu telah menceritakan kepadaku, demi Allâh, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Rasulullâh SAW bersabda,

لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ –يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ- لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

‘Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, lalu seseorang mendatangi mereka -yaitu orang fakir- untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.’

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) mengatakan, “Empat Imam Madzhab berpendapat bahwa semua alat musik adalah haram. Telah ada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Ulama lainnya bahwasanya Nabi SAW mengabarkan akan adanya orang-orang dari umatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr, dan alat-alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi.

Beliau mengatakan, “al-Ma’âzif (alat-alat musik) adalah khamr bagi jiwa. Dia bereaksi dalam jiwa lebih hebat daripada reaksi arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan zhalim sehingga mereka pun berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan berzina.”

Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun sama’ (mendengarkan) yang mencakup kemungkaran-kemungkaran agama, maka orang yang menganggapnya sebagai amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ), ia harus disuruh bertaubat, bila mau bertaubat (maka diterima taubatnya), jika tidak bertaubat, ia dibunuh.

Apabila ia adalah orang yang mentakwil atau tidak tahu, maka dia harus diberi penjelasan tentang kesalahan takwilnya itu, dan dijelaskan kepadanya ilmu yang dapat menghilangkan kebodohannya.

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan selainnya disebutkan bahwasanya Nabi SAW menyebutkan orang-orang yang menganggap halal kemaluan (zina), sutra, khamr, dan alat-alat musik dalam konteks celaan atas mereka dan bahwa Allâh akan menghukum mereka. Maka hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Menurut pakar bahasa Arab, al-Ma-’aazif adalah alat-alat yang membuat lalai, dan nama ini mencakup semua alat-alat musik yang ada.”

Sementara Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H) mengatakan, “Diantara perangkap dan tipu daya musuh Allâh Azza wa Jalla, yang menyebabkan orang yang sedikit ilmu dan agamanya terpedaya, serta menyebabkan hati orang-orang bodoh dan pelaku kebatilan terperangkap adalah mendengarkan tepuk tangan, siulan, dan nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari al-Qur’ân dan menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan.

Nyanyian adalah qurannya setan dan dinding pembatas yang tebal dari ar-Rahman. Ia adalah mantra homoseksual dan zina. Dengannya orang fasik yang mabuk cinta mendapatkan puncak harapan dari orang yang dicintainya.

Dengan nyanyian ini, setan memperdaya jiwa-jiwa yang bathil, ia menjadikan jiwa-jiwa itu –melalui tipu daya dan makarnya– menganggap nyanyian itu baik. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat (argumen-argumen) bathil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan menerima bisikannya, dan karenanya ia menjauhi al-Qur’ân…”

Satu hal yang sangat mengherankan yaitu sebagian orang bernyanyi, berdansa, dan bergoyang dalam rangka beribadah –menurut sangkaan mereka–, mereka meninggalkan al-Qur’ân, dan mendengarkan lagu-lagu setan?!

Imam Ibnul Qayyim juga berkata, “Meskipun (majelis sama’/lagu dan musik) telah dihadiri oleh seratus wali (menurut kaum shufi) akan tetapi telah diingkari oleh lebih dari seribu wali.

Meskipun dihadiri oleh Abu Bakar asy-Syibli, akan tetapi Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu tidak menghadirinya.

Meskipun telah dihadiri oleh Yusuf bin Husain ar-Razi namun yang jelas tidak dihadiri oleh ‘Umar bin al-Khaththab al-Fâruq Radhiyallahu anhu yang dengannya Allâh Azza wa Jalla memisahkan antara haq dan batil.

Meskipun dihadiri oleh an-Nuuri namun pasti tidaklah dihadiri oleh Dzun Nûrain ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu

Meskipun dihadiri oleh Dzun Nun al-Mishri namun tidaklah dihadiri oleh ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hasyimi Radhiyallahu anhu …

Meskipun dilakukan oleh mereka semua namun seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, yang ikut serta dalam Perang Badar, peserta Bai’atur Ridhwan, dan segenap Shahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak ada yang pernah melakukannya.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 16 Juli 2025
Imsak
04:35
Shubuh
04:45
Dhuhur
12:02
Ashar
15:24
Maghrib
17:56
Isya
19:09
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan