LANGIT7.ID-
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "
Fatwa-Fatwa Kontemporer" menjelaskan dalam hadis-hadis yang menganjurkan dan mendorong untuk menjenguk orang sakit, terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya menjenguk setiap orang yang sakit, baik yang sakitnya berat maupun ringan.
Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu’ meriwayatkan: “Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk, yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi.”
Mengenai hadis ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa riwayat ini
mauquf pada Yahya bin Abi Katsir. Artinya, riwayat hadis ini tidak marfu’ sampai kepada Nabi saw., sehingga tidak dapat dijadikan
hujjah kecuali jika berasal dari sabda beliau sendiri.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Mengenai menjenguk orang yang sakit mata terdapat hadis khusus yang membicarakannya, yaitu hadis Zaid bin Arqam. Ia berkata: “Rasulullah saw. menjenguk saya karena saya sakit mata.”
Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar maupun awam, orang kota maupun desa, serta mengerti makna menjenguk orang sakit maupun tidak.
Baca juga: Keutamaan dan Pahala Menjenguk Orang Sakit Berdasar Hadis Nabi Muhammad SAW Imam Bukhari meriwayatkan dalam "
Kitab al-Mardha" dari kitab Shahih-nya, pada "Bab ‘
Iyadatul-A’rab,” hadis dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. pernah menjenguk seorang Arab Badui. Lalu beliau bersabda: “Tidak apa-apa, suci insya Allah.”
Orang Arab Badui itu berkata: “Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan mengantarkannya ke kubur.”
Lalu Nabi saw. bersabda: “Oh ya, kalau begitu.”
Makna perkataan Nabi SAW: “Tidak apa-apa, suci insya Allah,” adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan penderitaan dari orang Arab Badui tersebut, serta berharap bahwa penyakit itu akan menyucikannya dari dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahannya. Jika ia sembuh, maka ia memperoleh dua keuntungan; jika tidak sembuh, maka ia tetap mendapatkan keuntungan berupa dihapuskannya dosa-dosa dan kesalahannya.
Namun, orang Badui itu bersikap kasar dan menolak harapan serta doa Nabi SAW. Lalu Nabi mentolerirnya dengan mengikuti jalan pikirannya, seraya mengatakan, “Oh ya, kalau begitu.” Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah anggapanmu.
Disebutkan juga dalam
Fathul-Bari bahwa ad-Daulabi dalam
al-Kuna dan Ibnu Sakan dalam
ash-Shahabah meriwayatkan kisah orang Badui itu. Dalam riwayat tersebut disebutkan: Lalu Nabi saw. bersabda: “Apa yang telah diputuskan Allah pasti terjadi.”
Baca juga: Hukum Wajib Menjenguk Orang Sakit: Pengobatan Tidak Seluruhnya Bersifat Materiil Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.
Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata: “Pengertian hadis ini adalah bahwa tidak ada kekurangan bagi pemimpin untuk menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui yang kasar tabiatnya. Begitu pula tidak ada kekurangan bagi orang berilmu untuk menjenguk orang bodoh yang sakit, guna mengajarinya dan mengingatkannya pada hal-hal yang bermanfaat baginya. Di antaranya adalah menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada Allah, yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah; menghiburnya untuk meringankan penderitaannya; memberinya harapan akan kesembuhan; dan lain sebagainya, guna menenangkan hati si sakit dan keluarganya.”
Di antara faedah lain dari hadis tersebut adalah bahwa seharusnya orang yang sakit menerima nasihat dari orang lain dan menjawabnya dengan jawaban yang baik.
(mif)