LANGIT7.ID-
Kalender Hijriah Global Tunggal digagas demi menyatukan
umat Islam. Tapi di langit yang sama,
rukyat dan hisab tetap bersilang jalan.
Senja baru saja beringsut dari langit Kota Surakarta ketika Ruswa Darsono menyesap teh di teras rumahnya. Langit barat berpendar jingga. Di sanalah, dalam lipatan cahaya langit itu, umat Islam menggantungkan awal dan akhir ibadah puasa. Tapi, tahun ini, bulan sabit di ufuk tak hanya menandai 1 Syawal. Ia juga kembali menyibakkan perbedaan yang belum reda.
“
Wujudul hilal dan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) sama-sama punya dasar kuat. Tapi kita belum bisa lari dari yang satu ke yang lain begitu saja,” ujar Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah Jumat, 25 April lalu.
KHGT, gagasan yang dirancang sejak 1978 dan dikokohkan melalui forum Istanbul 2016, bertujuan sederhana tapi ambisius: menyatukan penanggalan Islam di seluruh dunia. Satu kalender, satu umat, satu hari raya. Tapi pada Lebaran 1446 Hijriah yang baru lewat, mimpi itu masih sebatas visi. Bahkan Muhammadiyah—yang sejak Musyawarah Nasional Tarjih ke-32 di Pekalongan 2024 telah menyatakan menerima KHGT, masih menetapkan Idulfitri berdasarkan hisab wujudul hilal.
KHGT dan wujudul hilal ibarat dua jendela pada langit yang sama. Yang satu menggunakan prinsip imkanur rukyah global, jika hilal terlihat di satu titik di bumi, seluruh dunia memasuki bulan baru pada waktu lokal masing-masing. Yang lain, metode hisab wujudul hilal, tetap berpijak pada posisi geometris bulan dari horizon lokal.
Baca juga: Kuatnya Paham Rukyat Literal dan Matlak Lokal Menyebabkan Konsep KHGT Tak Diterima Perbedaan itu menghasilkan perayaan Idulfitri yang tak serempak: versi KHGT jatuh pada Ahad, 30 Maret 2025. Sedangkan versi hisab wujudul hilal, karena posisi bulan masih di bawah ufuk Indonesia, jatuh sehari setelahnya.
“Kami sudah masukkan KHGT ke dalam kalender resmi Muhammadiyah sejak Januari 2025. Tapi implementasinya baru mulai 1 Muharram 1447 H,” kata Ruswa.
Namun, jalan menuju satu kalender Islam dunia tak bisa ditempuh dengan logika teknokratik semata. Di Jakarta, Nurhadi, Wakil Ketua PWM DKI, menyebut KHGT sebagai metode burhani—rasional dan ilmiah. Tapi, manhaj tarjih Muhammadiyah, menurutnya, tak cukup dengan akal. Ia harus menjalin tiga epistemologi: bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual). “Wujudul hilal justru lebih akomodatif terhadap ketiganya,” kata Nurhadi.
***
Di sisi lain, Nahdlatul Ulama memilih berdiri teguh di posisi lama. Bagi NU, kalender bukan semata hasil hisab atau konsensus global. Ia menyangkut wilayah hukum.
Baca juga: Mengapa Muhammadiyah Menetapkan Idulfitri 1446 H Tak Mengacu KHGT? Sejak Muktamar ke-30 di Lirboyo tahun 1999, NU menetapkan bahwa rukyat lokal adalah satu-satunya rujukan. “Kita tidak berada dalam satu wilayah hukum dengan negeri-negeri yang mengalami rukyat,” ujar KH Abdussalam Nawawi dari Lembaga Falakiyah PBNU, dalam Webinar Falakiyah, Februari lalu.
NU menolak gagasan ittihadul mathali’, penyatuan titik terbit bulan secara global. Ini bukan perkara astronomi semata, tapi menyangkut legitimasi syariat. “Dari awal berdiri, NU memang tidak tertarik pada gagasan itu,” katanya.
KHGT, dalam pandangan NU, memang menarik. Tapi kosong dari kekuasaan yang bisa mengikat. “Siapa yang menjadi otoritas kalender global? Negara mana yang akan mengatur? Semua jalan sendiri-sendiri?” tanya Khafid, anggota LF PBNU.
Ia menyitir sejarah penetapan kalender oleh Khalifah Umar bin Khattab: hanya otoritas sah yang bisa menetapkan sistem. Tanpa itu, KHGT hanyalah wacana.
***
Baca juga: Keputusan Muhammadiyah tentang Idulfitri 1446 H Tidak Mengacu KHGT Persoalan hilal bukan hanya soal astronomi. Ia adalah pertarungan epistemologi, otoritas, dan identitas. Mimpi menyatukan umat dalam satu kalender Islam bukanlah upaya menyelaraskan angka di almanak, tapi menegosiasi keragaman metode, sejarah, dan kekuasaan.
Bagi Muhammadiyah, KHGT adalah harapan besar yang tak bisa ditelan tergesa-gesa. “Ini bukan hanya soal benar atau tidak, tapi soal diterima atau tidak,” kata Ruswa. Maka, strategi Muhammadiyah saat ini adalah jalan gradual: memperkenalkan, mensosialisasikan, menunggu momen.
Langkah ini barangkali tak memuaskan mereka yang menginginkan keputusan cepat. Tapi dalam hal yang menyangkut ibadah dan persatuan umat, terburu-buru bisa berarti blunder. “Kita tidak ingin stagnan, tapi juga tidak bisa sembrono,” ujar Nurhadi.
Sementara itu, langit akan terus dipantau. Dari Surakarta hingga Istanbul, dari Jakarta hingga Makkah. Hilal akan terus dicari. Bukan sekadar sebagai penanda awal bulan, tapi sebagai simbol harapan akan satu hari raya yang sama di seluruh dunia Islam.
Jika satu bulan bisa menyatukan dua miliar umat, maka hilal bukan hanya cahaya di ufuk. Ia adalah mimpi yang terus diperjuangkan dari balik langit—perlahan, tapi pasti.
Baca juga: Dalil Mengapa NU Menolak Penerapan Kalender Hijriah Global Tunggal(mif)