Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Mengapa 10 Muharram Disebut Lebaran Anak Yatim?

miftah yusufpati Senin, 30 Juni 2025 - 16:45 WIB
Mengapa 10 Muharram Disebut Lebaran Anak Yatim?
Bukan soal hari raya, tetapi saat mereka kembali merasa diingat, dipeluk, dan dimuliakan. Ilustrasi: Ist
LAGIT7.ID-Tradisi yang hidup di tengah masyarakat Indonesia ini tidak berasal dari syariat yang baku, namun berakar pada spirit kepedulian dan cinta kasih kepada mereka yang kehilangan pelindung.

Bulan Muharram datang, dan di sudut-sudut masjid, majelis taklim, hingga balai desa, ramai undangan dengan tajuk seragam: “Santunan Anak Yatim 10 Muharram”.

Di tengah tradisi yang masih dijalani sebagian masyarakat Indonesia, terutama pada hari Asyura, muncul satu istilah yang kerap memantik tanya: mengapa hari Asyura disebut sebagai lebaran anak yatim?

Seperti “lebaran”, suasana pada 10 Muharram diwarnai suka cita: anak-anak yatim berpakaian rapi, menerima bingkisan, disalami penuh kasih, dan dibacakan doa. Namun, tidak seperti Idul Fitri atau Idul Adha yang berbasis syariat jelas, “lebaran anak yatim” adalah warisan tradisi masyarakat Muslim Nusantara, hasil tafsir sosial terhadap hadis-hadis yang berkembang.

Baca juga: Agar Nggak Salah Paham, Muharram Bukan Bulan Hijrah Nabi Muhammad SAW

Dari Hadis hingga Tradisi

Ustaz Ahmad Zarkasih dalam bukunya Sejarah Kalender Hijriyah menuliskan bahwa 10 Muharram dikenal sebagai “hari anak yatim” karena banyak hadis yang menyebut keutamaan menyantuni anak yatim pada hari tersebut. Salah satu yang populer berbunyi:

“Barangsiapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, maka Allah akan mengangkat derajatnya sebanyak rambut yang diusap.” (Riwayat Al-Samarqandi, dalam Tanbih al-Ghafilin)

Namun, para ulama hadis sepakat: riwayat-riwayat semacam ini tergolong lemah bahkan tidak memiliki sanad yang dapat diandalkan. Kendati demikian, sebagaimana disampaikan Ustaz Saeful Huda dari Pesantren Sultan Fatah Semarang, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap layak dipegang. “Mengusap kepala anak yatim adalah bentuk kasih sayang, dan menyantuni mereka dapat melembutkan hati,” katanya, mengutip hadis shahih dari Musnad Ahmad.

Terlepas dari kekuatan sanad hadis, yang tidak bisa dipungkiri adalah peran besar tradisi ini dalam membentuk jejaring empati sosial. Dalam masyarakat agraris dan komunal seperti Indonesia, menyantuni anak yatim bukan sekadar ritual keagamaan, tapi bentuk solidaritas yang mengakar. Bahwa di hari-hari yang istimewa, mereka yang kehilangan ayah tetap dipeluk oleh masyarakat.

Istilah “lebaran anak yatim” pun tumbuh secara organik. Kata “lebaran” dalam bahasa Jawa berarti “selesai” atau “keluar”, lalu dimaknai sebagai momentum pembebasan dari kesedihan, atau saat untuk bergembira. Maka ketika anak yatim disantuni, diberi perhatian lebih, dirayakan—maka baginya itu adalah “hari besar”.

Baca juga: Doa Asyura: Mengurai Harap di Tanggal 10 Muharram

Antara Ritual dan Realitas

Tentu, istilah ini tidak lepas dari perdebatan. Sebagian kelompok Muslim menolak istilah “lebaran anak yatim” karena dianggap mengada-ada secara syariat. Tidak ada tuntunan Nabi Muhammad SAW yang menjadikan hari Asyura sebagai hari khusus untuk anak yatim. Dan memang, secara fiqh, satu-satunya amalan yang dianjurkan secara eksplisit di hari Asyura adalah puasa sunah, yang pahalanya disebut Rasulullah SAW dapat menghapus dosa setahun yang lalu.

Namun tradisi bukan selalu perkara dalil tekstual. Dalam perspektif antropologis, seperti yang sering diangkat dalam kajian Islam Nusantara, tradisi tumbuh dari kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat—kadang tak tergali dalam kitab, tapi terasa manfaatnya di lapangan.

Hari Asyura dan “lebaran anak yatim” mungkin bukan pasangan yang sah menurut fiqh klasik. Tapi dalam ruang batin masyarakat Indonesia, keduanya telah menjalin relasi emosional yang dalam. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh debat dalil dan fatwa, kadang yang dibutuhkan hanyalah satu tindakan kecil: mengusap kepala anak yatim, lalu tersenyum.

Itulah makna sejati dari lebaran mereka—bukan soal hari raya, tetapi saat mereka kembali merasa diingat, dipeluk, dan dimuliakan.

Baca juga: 7 Peristiwa Agung Para Nabi di Bulan Muharram

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan