LANGIT7.ID-Di tengah hiruk-pikuk zaman yang mengukur keberhasilan dengan capaian duniawi, seorang tokoh sufi besar dari abad ke-11, Abu Hamid Al-Ghazali atau
Imam al-Ghazali, menawarkan sebuah tafsir kehidupan yang lebih sunyi dan mendalam.
Dalam
Kimia Kebahagiaan (
The Alchemy of Happiness), Al-Ghazali menegaskan bahwa hidup bukan sekadar rangkaian peristiwa yang terlewat begitu saja, tetapi investasi rohaniah yang kelak akan dibuka lemari demi lemari di hadapan Sang Pengadil.
Al-Ghazali memulai dengan premis yang nyaris tidak pernah usang: bahwa setiap jiwa akan melihat kembali amalnya, kebaikan maupun keburukan. Ia mengutip firman Tuhan dalam Al-Qur’an:
“
Akan Kami pasang satu timbangan yang adil pada Hari Perhitungan, dan tak ada jiwa yang dianiaya.” (QS Al-Anbiya: 47)
Dalam tafsirnya yang puitis sekaligus menggugah, ia membayangkan jam-jam kehidupan manusia tersimpan dalam deretan lemari. Ada lemari yang penuh cahaya—saat-saat amal kebaikan dilakukan. Ada yang dipenuhi kegelapan dan bau busuk—saat kemaksiatan ditunaikan. Namun ada pula lemari yang kosong, hampa, tak diisi apa-apa: waktu-waktu yang sia-sia, yang sekadar lewat tanpa makna.
Baca juga: Ekstase, Luka, dan Sunyi Para Pencinta Ajaran Imam Al-Ghazali Tradisi Hisab Sejak DiniKhalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab.” Bagi Al-Ghazali dan para wali sesudahnya, pernyataan ini bukan retorika moral, tetapi sebuah disiplin harian. Salat Subuh, bagi mereka, bukan hanya pembuka hari, tapi momen evaluasi. Sejam penuh mereka bercakap dengan jiwa mereka: menghitung nafas, mengoreksi niat, dan mengingatkan diri bahwa setiap detik bisa menjadi pintu surga atau celah neraka.
Pandangan ini menyiratkan keyakinan klasik Islam bahwa dunia adalah ladang akhirat. Namun Al-Ghazali tidak mengajak kita menjadi apatis terhadap dunia. Justru, ia mengajak kita menjalani dunia dengan kesadaran tinggi, penuh ketelitian, seolah hidup hari ini adalah "hari tambahan" yang Tuhan pinjamkan dari rahmat-Nya.
Bagian paling tajam dari tulisan Al-Ghazali justru saat ia berbicara kepada tubuh: “Jika engkau memberontak, sesungguhnya aku akan menghukummu.”
Kalimat ini terdengar ekstrem bagi telinga kontemporer, namun konteksnya bukan pengingkaran terhadap tubuh, melainkan upaya menundukkan nafsu yang membutakan hati. Lidah, mata, tangan—semuanya bisa menjadi alat kebaikan, namun bisa pula menjadi gerbang petaka.
Al-Ghazali menyarankan agar tubuh diajak bicara. Seperti pendidik kepada murid, seperti raja kepada tentaranya, jiwa harus menjadi pemimpin: *murabbi*—bukan sekadar penumpang di kereta hawa nafsu.
Baca juga: Bukan Seruling Setan: Membaca Ulang Musik dan Tarian dalam Laku Sufi Imam Al-Ghazali Surga, Neraka, dan KekosonganYang menarik, Al-Ghazali tidak hanya menakut-nakuti dengan gambaran neraka. Ia juga menyentuh sisi paling menyayat: waktu-waktu kosong yang dilewatkan begitu saja. Ia menyamakan kehilangan waktu dengan kehilangan kekayaan. Bahkan jika Tuhan mengampuni, kata Al-Ghazali, kita tetap takkan pernah mampu mencapai maqam orang-orang saleh jika hidup kita dipenuhi kekosongan.
“Kekeliruan apa lagi yang lebih besar daripada menyia-nyiakan waktu?” tulisnya.
Al-Ghazali memperluas pengertian dosa, bukan hanya soal perbuatan buruk, tetapi juga ketidakpekaan terhadap potensi kebaikan.
Pesan Al-Ghazali, meskipun ditulis berabad-abad lalu, terasa relevan di era algoritma dan kebisingan digital hari ini. Kita menjalani hidup dengan terburu-buru, membiarkan hari-hari berlalu tanpa makna, seraya menghibur diri bahwa kita masih punya waktu. Padahal, seperti diingatkan Al-Ghazali, "jumlah nafas bagianmu sudah tertentu dan tidak bisa ditambah."
Kebahagiaan, dalam tafsir sang Hujjatul Islam, bukanlah hasil konsumsi, status sosial, atau ketenaran. Kebahagiaan adalah hasil dari kesadaran. Kesadaran bahwa hidup adalah perbendaharaan waktu, dan bahwa setiap lemari kehidupan kelak akan dibuka.
Baca juga: Imam Al-Ghazali Peringatkan tentang Siksaan Jiwa yang Dimulai di Dunia Dan ketika itu tiba, tak ada lagi ruang untuk beralasan. Hanya kita dan jam-jam yang pernah kita sia-siakan. Maka, seperti dikatakan Nabi Muhammad SAW, yang dikutip Al-Ghazali:
“Berbahagialah orang yang sekarang mengerjakan amal yang akan memberinya manfaat setelah mati.”
Al-Ghazali tidak menyuruh kita menjadi malaikat. Ia hanya mengajak kita lebih jujur kepada diri sendiri. Mengajak kita, setiap pagi, untuk bertanya:
Apakah aku akan menyesali hari ini?
Dan semoga, ketika lemari-lemari itu terbuka, kita tidak hanya melihat cahaya, tapi juga merasa damai. Sebab kita pernah menghargai setiap detik yang Tuhan beri.
(mif)