LANGIT7.ID-Pada suatu hari di balai kota, seorang 
filosof dogmatis sedang memberikan ceramah tentang kebenaran, realitas, dan makna hidup. Ruangan penuh dengan orang-orang yang tampak kagum pada kepintaran sang filosof, yang berbicara panjang lebar dengan penuh semangat.
Ia berbicara dengan penuh percaya diri, menyitir buku-buku tebal, kisah-kisah klasik, dan berbagai analogi yang aneh-aneh, seperti membandingkan manusia dengan labirin tanpa pintu keluar, atau menyamakan cinta dengan perhitungan aritmetika yang rumit.
Di sudut ruangan, duduklah 
Nasrudin Hoja, memperhatikan dengan seksama. Semakin lama ia mendengar, semakin tampak wajahnya bingung—kadang tersenyum kecil, kadang geleng-geleng kepala, kadang hanya memandangi langit-langit.
Setelah hampir dua jam ceramah penuh kutipan dan teori, sang filosof dengan bangga mengacungkan sebuah buku tebal ke udara. “Inilah buah karya saya!” serunya. “Semua pemikiran saya, saya tuangkan di sini. Siapa yang ingin membacanya lebih dulu?”
Tanpa ragu, Nasrudin mengacungkan tangan tinggi-tinggi. “Boleh saya?” katanya.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Di Bawah Pohon Arbei Filosof itu, dengan senyum puas, menyerahkan bukunya kepada Nasrudin. Semua mata kini tertuju pada Nasrudin, yang duduk dengan tenang sambil membuka halaman demi halaman… dengan posisi terbalik. Buku itu ia pegang terbalik, dan ia tampak serius membaca dari halaman belakang ke depan.
Waktu berlalu cukup lama. Filosof mulai tak sabar melihat Nasrudin terus membolak-balik halaman dengan cara yang aneh itu. Akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru:
“Nasrudin! Kenapa kau membaca bukuku terbalik?! Itu bukan cara yang benar untuk memahaminya!”
Nasrudin menutup buku itu, menatap sang filosof, dan menjawab dengan acuh:
“Aku tahu ini terbalik. Tapi setelah mendengar jalan pikiranmu selama dua jam tadi… rasanya memang begini caranya membaca karya ini. Jalan pikiranmu sendiri juga terbalik, jadi buku ini pun harus kubaca terbalik.”
Ruangan hening sebentar, lalu pecah dengan tawa. Sang filosof terdiam, wajahnya merah padam—sementara Nasrudin menyerahkan kembali buku itu dengan senyum lebar, seakan tak terjadi apa-apa.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Melihat Apa Adanya ---
Hikmah dari kisah humor sufi di atas cukup dalam, meskipun dikemas dengan kelucuan:
1. Ilmu tanpa realitas hanyalah permainan kata-kata. 
Sang filosof terlalu sibuk dengan teori, kutipan, dan analogi yang rumit, tetapi jauh dari kenyataan hidup. Ilmu yang terputus dari realitas mudah kehilangan makna dan arah.
2. Cara berpikir yang terbalik melahirkan karya yang terbalik.
Nasrudin menunjukkan bahwa cara berpikir yang tidak seimbang, kaku, dan dogmatis akan melahirkan buah pikiran yang juga “terbalik” dari kebenaran. Maka untuk memahaminya, kadang orang perlu “membacanya” secara terbalik juga—sebagai sindiran halus.
Baca juga: 
Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Belajar Bahasa Kurdi 3. Kecerdasan tidak hanya soal banyak bacaan, tetapi juga tentang kebijaksanaan. 
Nasrudin, dengan sederhana dan jenaka, menunjukkan bahwa kebijaksanaan kadang lebih tajam daripada segudang buku.
4. Kerendahan hati lebih baik daripada kesombongan intelektual.
Sang filosof tampak sombong atas karya dan pikirannya sendiri, sementara Nasrudin mengajarkan dengan rendah hati bahwa bahkan karya yang besar pun bisa keliru jika jalannya salah.
5. Humor sebagai cara menyampaikan kritik. 
Alih-alih marah atau berdebat sengit, Nasrudin memilih cara humoris untuk mengkritik cara berpikir sang filosof—dan justru pesannya sampai tanpa melukai.
Kisah ini mengingatkan kita untuk belajar dengan hati, bukan hanya dengan kepala; untuk melihat kebenaran dengan mata yang jernih, bukan hanya dengan buku yang tebal.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin: Belajar Mencari Kebenaran dengan Sabar(mif)