LANGIT7.ID-Di tengah kecamuk zaman yang membelah antara bentuk dan batin, 
tasawuf hadir sebagai jalan sunyi, namun tak sepi perdebatan. Antara mereka yang memujanya setinggi langit, dan yang menolaknya sekeras batu.
Di suatu pagi yang basah di Basra, sekitar abad ke-2 Hijriah, seorang perempuan menggenggam cintanya kepada Tuhan dengan bahasa yang tak lumrah. Namanya 
Rabi'ah Al-Adawiyah. Ia bukan ulama, bukan filsuf, namun di tangannya tasawuf mengalir sebagai puisi dan api. Ia berkata: “Aku tidak menyembah Allah karena takut neraka, atau ingin surga. Aku menyembah karena cinta.”
Pernyataan itu seperti membelah dua zaman. Di satu sisi, ia melambangkan keikhlasan yang murni—sebuah lompatan batin dalam tradisi Islam. Di sisi lain, ia memantik gelombang debat yang tak kunjung reda hingga hari ini: adakah tasawuf itu jalan kebenaran atau jalan menyimpang?
Baca juga: Tasawuf: Di Antara Kekhusyukan dan Kesesatan Asal-Usul: Warisan Sahabat, Wujud BaruTasawuf bukan barang impor. Ia bukan saduran dari Hindu, Budha, atau Kristen, sebagaimana dituduhkan oleh sebagian pengkritiknya. Jejak awal tasawuf dapat ditelusuri langsung dari kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kehidupan sederhana Abu Dzar, ketakwaan Salman Al-Farisi, keteguhan Umar bin Khattab, semua menyimpan ruh yang hari ini kita sebut sebagai “zuhud”.
Dalam Fatawa Qardhawi, disebutkan bahwa para sahabat mempelajari agama Islam secara utuh: syariat, akhlak, hingga batin. “Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktikkan,” tulis Syaikh Yusuf Qardhawi.
Namun, perkembangan masyarakat Islam yang kian plural, munculnya aliran-aliran seperti Mu’tazilah dan kaum fiqhiyyin, serta pesatnya kehidupan duniawi, menyebabkan kebutuhan pada pendekatan spiritual yang lebih dalam. Maka muncullah tasawuf, sebagai jalan ubudiah yang murni—mengasah batin, menjauh dari dunia, dan mencintai Tuhan dengan sepenuh jiwa.
Baca juga: Tasawuf: Menyusuri Jalan Sufi di Zaman Digital Cinta yang Menyalakan BaraJika awalnya tasawuf adalah gerakan akhlak, lambat laun ia menjelma doktrin dan sistem pengetahuan yang kompleks. Tokoh-tokohnya berkembang dari Rabi'ah ke Sulaiman Ad-Darani, dari Abu Yazid Al-Basthami ke Al-Hallaj. Nama terakhir inilah yang menyalakan bara kontroversi.
Hallaj berkata, “Ana Al-Haqq”—aku adalah Kebenaran. Kata-kata yang kemudian menyeretnya ke tiang gantungan tahun 309 Hijriah. Ia dianggap menyebarkan paham *hulul*—bahwa Tuhan menyatu dalam diri manusia. Para ulama seperti Al-Junaid dan Ibn Qayyim menolak keras paham ini. “Semua jalan tertutup kecuali jalan Nabi,” kata Al-Junaid.
Namun, tak semua mengutuk. Sebagian melihat Hallaj bukan sebagai bid’ah, tapi simbol ekstase, bahasa cinta yang tak terucap, yang meledak dalam kesadaran mistik.
Baca juga: 3 Tahapan Penyucian Jiwa dalam Tasawuf: Ta’alluq, takhalluq, dan tahaqquq Antara Memuja dan MencelaDi sinilah tasawuf menjadi ruang silang: antara yang memuji sebagai puncak spiritualitas Islam, dan yang mencela sebagai penyimpangan dari syariat.
Mereka yang menolak, umumnya menyoroti tiga hal: pertama, kecondongan sebagian sufi pada ilham sebagai sumber kebenaran (menggeser Al-Qur’an dan Sunnah); kedua, pemisahan antara syariat dan hakikat; dan ketiga, fatalisme yang menafikan ikhtiar. Sebagian menuduh tasawuf sebagai pelarian dari realitas, bahkan pengkhianatan terhadap cita sosial Islam.
Sebaliknya, para pembela menyitir dalil-dalil Al-Qur’an yang justru menyuruh umat mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati, dan menempuh jalan zuhud. “Orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 165). Dalam Al-Maidah dan Ash-Shaff, cinta dan perjuangan dijadikan satu simpul yang tak terpisahkan.
Para tokoh seperti Ibnul Qayyim dan bahkan Ibnu Taimiyah—yang dikenal keras terhadap bid’ah—tetap memberikan tempat bagi tasawuf yang berakar pada syariat. “Yang benar, mereka adalah orang-orang yang tengah berusaha mengabdi kepada Allah,” tulis Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa.
Baca juga: Tasawuf: 5 Makna Asal Kata Sufi, Salah Satunya Suf atau Kain Wol Jalan Sunyi yang Tak MatiZaman berubah, tetapi tasawuf terus hidup dalam denyut sejarah Islam. Dari lorong-lorong Baghdad, hingga pesantren di Jawa. Dari Al-Ghazali yang menghidupkan kembali ruh agama, hingga Hujjatul Islam dari Nusantara, Hamka dan Nurcholish Madjid, yang menegaskan pentingnya dimensi spiritual dalam pembangunan umat.
Namun, sebagaimana yang diingatkan oleh Qardhawi dan Ibnul Qayyim, tasawuf harus selalu diikat oleh syariat. Tanpa itu, ia mudah tergelincir menjadi ilusi spiritual yang membius, bukan menyembuhkan.
Selebihnya, tasawuf adalah seperti cermin. Ia bisa memantulkan cahaya langit, atau menipu bayang sendiri. Semua bergantung pada siapa yang memegangnya.
(mif)