Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Fiqh Prioritas ala Qardhawi dan Tafsir atas Dunia yang Tak Lagi Hitam-Putih

miftah yusufpati Rabu, 30 Juli 2025 - 05:45 WIB
Fiqh Prioritas ala Qardhawi dan Tafsir atas Dunia yang Tak Lagi Hitam-Putih
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Foto/Ilustrasi: MEE
LANGIT7.ID-Tiga abad setelah Imam al-Syafi’i menetapkan dua mazhabnya, qaul qadim di Baghdad dan qaul jadid di Mesir, tradisi perubahan dalam fikih seolah menjadi kenangan masa lalu. Para ulama modern lebih sering mengutip putusan lama ketimbang menggugat kesesuaiannya dengan zaman. Tak heran jika dalam beberapa forum internasional, Islam masih dicurigai sebagai agama yang hidup di abad lampau.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama kelahiran Mesir yang berpulang pada 2022 lalu, menolak warisan itu dimaknai sebagai beban beku. Dalam bukunya Fiqh Prioritas, ia menulis tajam soal bagaimana fikih seharusnya lentur, progresif, dan menyesuaikan dengan realitas yang terus berubah. “Pendapat para ulama terdahulu bisa jadi membawa kondisi yang tidak baik kepada Islam dan umat Islam, serta menjadi halangan bagi da'wah Islam,” tulisnya.

Itu sebabnya, Qardhawi menolak pendekatan literal yang memaksakan rumusan lama dalam dunia yang telah bergeser secara sosial, politik, dan teknologi. Ia mengingatkan, banyak pandangan hukum yang dibangun berdasarkan situasi sosial abad pertengahan, yang kini sudah tidak relevan.

Salah satunya adalah konsep klasik tentang pembagian dunia ke dalam dua kutub: Dar al-Islam (wilayah Islam) dan Dar al-Harb (wilayah perang). Dalam doktrin ini, hubungan antara Muslim dan non-Muslim selalu dicurigai, bahkan dibayangi kewajiban untuk berperang. “Sesungguhnya perjuangan itu hukumnya fardhu kifayah atas umat...” kutip Qardhawi sambil mengkritiknya sebagai warisan yang tak lagi berdasar nash Al-Qur'an.

Baca juga: Membaca Ulang Aturan dalam Keadaan Terpaksa: Fikih Tak Sekadar Larangan

Ia menunjukkan, dalam konteks global hari ini, umat Islam justru memiliki lebih banyak peluang untuk berdakwah secara damai ketimbang masa lalu.

Di banyak negara pluralistik, kata Qardhawi, tidak ada lagi penguasa otoriter yang menghalangi dakwah atau melarang penyebaran informasi. “Kaum Muslimin dapat menyampaikan dakwah melalui tulisan, suara, dan gambar... kepada semua bangsa dengan bahasa kaum itu agar ajaran yang disampaikan dapat diterima dengan jelas,” tulisnya.

Namun, justru ketika jalan dakwah terbuka lebar, sebagian juru dakwah memilih jalan usang. Mereka tidak menguasai media baru, tak memahami audiens global, dan lebih sibuk menghidupkan konflik masa lalu. Qardhawi menyebut ini sebagai kegagalan memahami fiqh realitas, ketika fatwa terjebak dalam romantisme sejarah, alih-alih menjawab tantangan zaman.

Qardhawi mengusulkan al-murunah, keluwesan, sebagai kunci memahami syariat. Ia bukan sekadar kompromi pragmatis, tapi justru perintah dalam agama itu sendiri.

Dalam salah satu risalahnya, 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Qardhawi menjelaskan bahwa keluwesan adalah ciri bawaan hukum Islam yang hidup bersama umatnya. “Karena itu, para ahli fikih harus meninjau ulang fatwa masa lalu dan menyesuaikannya dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi masyarakatnya.”

Baca juga: Jalan Terang Menuju Kemudahan: Pelajaran Fikih Prioritas untuk Zaman yang Sarat Kepayahan

Ia mencontohkan teladan para sahabat, khususnya khulafaur rasyidin, yang kerap mengubah pendekatan hukum tanpa keluar dari koridor Qur’an dan sunnah. “Sunnah mereka adalah sunnah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan dapat diterima oleh al-Qur’an,” tulisnya.

Kecenderungan ini sebenarnya juga hidup dalam sejarah Islam klasik. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, pernah menangguhkan penerapan hukum potong tangan pada masa kelaparan, atau menolak pembagian tanah rampasan Irak karena mempertimbangkan maslahat umat secara luas. Tapi contoh-contoh seperti itu, kata Qardhawi, justru jarang dirujuk dalam diskursus hukum kontemporer.

Yang ironis, menurut dia, adalah kenyataan bahwa dalam dunia modern, ketika batas negara telah berubah menjadi batas komunikasi, justru sebagian ulama lebih senang membentengi diri dengan hukum perang. “Islam justru mendorong perkenalan antarmanusia,” tulisnya sambil mengutip Surah al-Hujurat ayat 13: "...Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..."

Islam juga tidak memandang perang sebagai tujuan, melainkan kondisi darurat yang harus dihindari. Qardhawi mengingatkan bahwa dalam Perjanjian Hudaibiyah—yang secara politik dianggap “kalah” oleh sebagian sahabat—Allah justru menyebutnya sebagai “kemenangan nyata” dalam Surah al-Fath ayat 1.

Baca juga: Ketegangan Politik dan Lahirnya Dua Mazhab Besar Fikih Islam

Menjembatani Pemahaman

Di masa kini, ketika kebebasan informasi membuka ruang dakwah yang lebih luas, umat Islam, kata Qardhawi, justru harus lebih aktif memanfaatkannya. Bukan dengan membangkitkan memori permusuhan, tapi dengan menjembatani pemahaman. Bukan dengan perang, tapi dengan ilmu. Bukan dengan pengkotak-kotakan, tapi dengan akhlak universal yang menjadi inti dakwah Nabi.

Karena, seperti yang ditulisnya, umat Islam akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya atas perang yang mereka lakukan, tetapi juga atas dakwah yang mereka abaikan.

“Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan…” (al-Ahzab: 25)

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan