LANGIT7.ID- Di tengah arus dunia yang penuh persaingan dan pengagungan materi, manusia kerap menilai kehidupan hanya dari untung-rugi duniawi. Dalam pandangan seperti itu, amal baik kerap dinilai hanya sejauh mendatangkan manfaat pragmatis atau citra sosial. Padahal, Al-Qur’an mengajarkan paradigma yang berbeda: amal saleh lahir dari iman, dan nilai tertingginya adalah ketulusan, bukan pujian.
Surat Ali Imran ayat 190-195 menjadi pintu masuk refleksi atas hal ini. Allah berfirman, "
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..."
Ayat ini bukan sekadar seruan untuk mengamati gejala alam, tapi ajakan kontemplatif untuk menyadari keteraturan kosmis sebagai tanda kekuasaan Ilahi. Dalam Tafsir al-Misbah,
Prof Dr M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa "memikirkan ciptaan Allah" harus dilandasi dengan kesadaran spiritual dan tanggung jawab sosial.
Menurutnya, berpikir tentang langit dan bumi bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan bentuk dzikir yang menyatu dengan amal. “Zikir tanpa pikir bisa menjadi kering, sementara pikir tanpa zikir bisa kehilangan arah,” tulis Quraish.
Baca juga: Refleksi HUT Kemerdekaan RI ke 80(1) Panti Asuhan dan Anak Asuhnya Bagaimana Nasibmu Kini? Hal serupa ditegaskan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam
Tafsir al-Kabir. Ia menyebut bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan kesempurnaan iman yang tak hanya mengandalkan hati dan lisan, tapi juga akal. “Tanda-tanda Tuhan dalam semesta ini hanya akan tampak bagi orang yang memadukan zikir dan tafakur,” tulisnya. Baginya, tafakur terhadap ciptaan Allah adalah puncak dari ibadah intelektual seorang mukmin.
Kesalehan yang SetaraDari kontemplasi, ayat-ayat ini lalu bergeser pada konsekuensi logis iman: amal saleh. Namun yang menarik, seluruh ayat yang menyusul—baik dalam Ali Imran, An-Nisa’, An-Nahl, hingga Al-Mu’min—selalu menegaskan bahwa balasan amal saleh tidak memandang jenis kelamin.
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..." (QS an-Nahl: 97)
Ibnu Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, menafsirkan ayat ini sebagai bentuk penegasan keadilan Allah. Tak ada pembedaan antara pria dan wanita dalam hal pahala, selama mereka ikhlas dan beriman. "Inilah bentuk keadilan syariat yang menentang praktik masyarakat jahiliah yang merendahkan perempuan," tulisnya.
Pandangan ini juga dipertegas oleh al-Raghib al-Asfahani, yang menyatakan bahwa kata "
hayatan thayyibah" (kehidupan yang baik) mencakup ketenteraman hati, kejelasan tujuan, dan keberkahan dalam hidup. Ini adalah balasan langsung di dunia bagi mereka yang menautkan iman dengan amal.
Baca juga: BAZNAS Perkuat Digitalisasi Zakat ASN di Kalimantan Timur, Ini Strategi Transformasinya! Amal yang Tak Sia-SiaSalah satu janji paling menyentuh dalam ayat-ayat tersebut adalah pernyataan Allah: "Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amal orang-orang yang beramal..." (QS Ali Imran: 195)
Ayat ini menjadi pondasi teologis bahwa tak ada kebaikan yang sia-sia di sisi Allah. Bahkan, mereka yang berhijrah, terusir, disakiti, berjuang dan gugur di jalan Allah—dijanjikan ampunan dan surga yang dialiri sungai-sungai.
Muhammad Asad dalam The Message of the Qur'an (1980) menjelaskan bahwa janji ini tidak sekadar metafora surga, melainkan pengakuan spiritual atas nilai perjuangan manusia. Dalam sistem keadilan Ilahi, tak ada kerja tulus yang akan hilang tanpa balasan. Bahkan bila dunia menutup mata, langit mencatatnya.
Pendapat senada juga datang dari Sayyid Qutb dalam
Fi Zhilalil Qur’an. Ia menyebut ayat ini sebagai “jaminan ilahi” bagi orang-orang beriman yang rela berkorban di jalan kebenaran. “Iman harus dibuktikan dengan amal, dan amal akan dibalas bukan hanya secara adil, tapi melampaui keadilan,” tulisnya.
Tafsir yang MenggerakkanDalam dunia hari ini, di mana amal kerap dipertontonkan dan iman kadang hanya jadi simbol, ayat-ayat ini memanggil manusia untuk menyatukan dzikir, pikir, dan kerja nyata. Iman bukan semata deklarasi, melainkan proses keberanian menempuh jalan lurus—meski tak populer.
Baca juga: Kunci Kebahagiaan Hidup Versi Aa Gym: Iman dan Amal Saleh Al-Qur’an mengajarkan bahwa nilai tertinggi amal bukan di mata manusia, tapi di hadapan Allah. Dan bahwa kehidupan yang baik adalah buah dari iman yang diterjemahkan menjadi kepedulian, pengorbanan, dan keteguhan hati.
Pada akhirnya, siapa pun—laki-laki maupun perempuan—yang beriman dan berbuat baik, akan hidup dalam naungan janji yang tak mungkin diingkari: kehidupan yang baik, ampunan yang luas, dan surga tanpa hisab. "Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS Ali Imran: 195)
(mif)