LANGIT7.ID-Di sebuah
majelis taklim di Jakarta, seorang ustaz menegaskan bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh menyentuh apalagi membaca
Al-Qur’an. “Hadisnya jelas,” ujarnya, sambil mengutip riwayat dari Ibnu Umar:
لاَ تَقْرَإِ الحْائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِJanganlah perempuan yang haid dan orang junub membaca sedikit pun dari Al-Qur’an.Namun, para peneliti hadis sejak berabad-abad lalu justru memandang riwayat itu bermasalah. Imam Bukhari, misalnya, mencatat bahwa perawi utama hadis tersebut, Ismail bin ‘Ayyasy, dikenal *munkarul hadits* bila meriwayatkan dari penduduk Hijaz atau Irak. Ulama lain seperti Ahmad bin Hanbal bahkan menyebut riwayat itu batil.
Hadis larangan membaca Al-Qur’an bagi orang junub dan perempuan haid muncul dari berbagai jalur. Tirmidzi (no. 121), Ibnu Majah (no. 595-596), Ad-Daruquthni (1/117), dan Baihaqi (1/89) sama-sama menyalin riwayat dari Ismail bin ‘Ayyasy melalui Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Sanad inilah yang dipersoalkan.
Baca juga: Soal Hukum Wanita Haid setelah Thawaf: Ketika Ibnu Abbas Menyanggah Zaid bin Tsabit “Hadis ini sebenarnya mauquf pada Ibnu Umar, bukan sabda Nabi,” tulis Ibnu Adiy dalam Al-Kamil. Imam Az-Zaila’i dalam Nashbur Raayah ikut menegaskan kelemahan riwayat tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Talkhisul Habir (1/138) menyebut, riwayat Ismail bin ‘Ayyasy dari penduduk Hijaz tergolong lemah, dan hadis ini termasuk di dalamnya.
Jalur lain, misalnya melalui Abdul Malik bin Maslamah atau Abu Ma’syar, juga bernasib serupa: para ulama menilainya dha’if. Bahkan, satu riwayat dari Jabir bin Abdullah yang melarang haid dan nifas membaca Al-Qur’an dinyatakan maudhu’ alias palsu karena ada perawi bernama Muhammad bin Fadl bin Athiyah yang dituduh sebagai pendusta.
Dalil Balik: MembolehkanJika semua jalur hadis tentang larangan terbukti lemah, ke mana arah hukum berpihak? Di sinilah perdebatan mengemuka.
Hadis Aisyah menjadi pijakan kuat. Dalam kisah haji di Sarif, ia mengaku menangis karena haid sehingga tidak bisa thawaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkannya: “Itu adalah sesuatu yang Allah tetapkan atas anak-anak Adam. Lakukanlah semua yang dilakukan jamaah haji, kecuali thawaf di Kakbah hingga engkau suci.” (Bukhari no. 305, Muslim 4/30).
Ulama seperti Imam Bukhari, Ibnu Baththal, Ath-Thabari, hingga Ibnul Mundzir memahami hadis ini sebagai izin bagi perempuan haid untuk tetap melaksanakan semua ritual, termasuk membaca Al-Qur’an, kecuali salat dan thawaf.
Hadis lain dari Aisyah meriwayatkan: “Nabi berzikir kepada Allah dalam segala keadaannya.” (Muslim 1/194). Jika zikir mencakup bacaan Al-Qur’an, maka orang junub dan haid pun tidak sepenuhnya terlarang.
Baca juga: Haid dalam Islam: Bikin Orang-Orang Yahudi Shock Bukti lain datang dari praktik Nabi mengirim surat kepada Heraklius, Kaisar Romawi, yang memuat ayat Al-Qur’an (Bukhari-Muslim). Padahal, mustahil memastikan sang kaisar dalam keadaan suci. Kalau kafir saja boleh membaca ayat dalam surat Nabi, mengapa muslim yang junub dilarang?
Suara dari UlamaIbnu Abbas, sahabat Nabi yang dikenal faqih, terang-terangan berkata: “Tidak mengapa bagi orang junub membaca Al-Qur’an.” (Bukhari, Kitabul Haidh, bab 7).
Imam Syafi’i mencatat kelemahan sanad hadis yang dijadikan dasar larangan. Menurutnya, Abdullah bin Salimah —perawi dalam riwayat Ali bin Abi Thalib— sudah pikun dan sering salah ketika meriwayatkan hadis. “Ahli hadis tidak menguatkannya,” tulis Syafi’i.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hingga ulama kontemporer seperti Al-Albani pun mengkritik keras penggunaan hadis-hadis dha’if ini sebagai dalil hukum. “Larangan itu tidak berdasar. Asal hukum membaca Al-Qur’an tetap berlaku umum, kecuali ada larangan yang sahih dan tegas,” tulis Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil.
Dalam tradisi fikih, mazhab Syafi’i dan Hanbali umumnya melarang orang haid dan junub membaca Al-Qur’an. Sebaliknya, sebagian ulama Maliki dan Hanafi lebih longgar, apalagi bila bacaan itu sebatas zikir, doa, atau pengajaran.
Kini, wacana itu semakin bergeser. Sejumlah ulama kontemporer menekankan aspek maslahat. Membaca Al-Qur’an dipandang sebagai ibadah zikir yang tidak semestinya terhalang oleh kondisi biologis sementara seperti haid atau junub. “Kalau dilarang, justru menghambat kedekatan spiritual perempuan dengan kitab sucinya,” kata seorang peneliti perempuan di UIN Jakarta.
Baca juga: Selama Haid, Muslimah Boleh Lakukan 4 Amalan Bermuatan Pahala Ini Riwayat-riwayat larangan membaca Al-Qur’an bagi perempuan haid dan orang junub ternyata rapuh, sebagian bahkan palsu. Di sisi lain, dalil yang sahih justru mendukung kebolehan. Maka, sebagaimana kaidah ushul fikih, hukum kembali ke asal: membaca Al-Qur’an adalah ibadah yang dianjurkan, tanpa pengecualian kecuali ada larangan yang kuat.
Perdebatan ini menunjukkan satu hal: hadis bukan sekadar teks yang dihafalkan, tetapi harus diuji dengan mata kritis. Seperti dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal ketika menolak riwayat Ismail bin ‘Ayyasy: *“Hadis ini batil.”
Dan dengan itu, klaim larangan mutlak bagi perempuan haid atau orang junub membaca Al-Qur’an tak lagi berdiri tegak di atas fondasi yang kokoh.
(mif)