LANGIT7.ID-Pada suatu majelis kecil di Persia abad ke-11, Abu Hamid al-Ghazali mengingatkan murid-muridnya: “Jalan menuju kebenaran tak boleh dibekukan oleh huruf.” Pesan itu menggema hingga hari ini, ketika dunia modern berusaha menyalin ajaran-ajaran Sufi dalam bentuk buku, jurnal, dan kanal YouTube. Tetapi, bagi para guru Sufi, kata-kata hanya percikan di permukaan laut. Ombak pemahaman harus terus bergerak.
“Sesungguhnya sesuatu yang begitu disebarkan pada wilayah Waktu akan jatuh korban untuk memorak-porandakan Waktu,” tulis Idries Shah dalam Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma’rifat (Risalah Gusti, 1999). Bagi mereka, pesan yang dimuseumkan kehilangan denyut hidupnya. Itulah mengapa ajaran Sufi selalu diperbarui, seperti gelombang laut yang tak pernah berhenti.
Baca juga: Jalan Sufi: Perjalanan Terpanjang, Bukan tentang Jarak Antara Teks, Ceramah, dan WaktuSejak awal, Sufisme membedakan ajaran untuk khalayak umum dengan nasihat bagi kalangan terbatas. Tulisan dan ceramah hanyalah alat sementara, bukan tujuan. Menurut Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (University of North Carolina Press, 1975), teks-teks Sufi memiliki fungsi pedagogis yang kontekstual: mereka diarahkan untuk menjawab kebutuhan spiritual pada masa dan ruang tertentu.
“Murid-murid Sufi mungkin berani, mungkin pula tidak, untuk membiasakan diri mereka dengan Sufisme klasik,” tulis Idries Shah. Sebab, kurikulum Sufi tidak pernah seragam. Setiap lingkaran—halqah—disesuaikan dengan kesiapan murid, bahkan kadang hanya berupa potongan tulisan, doa, dan praktik ritual yang relevan.
Pendekatan ini membuat Sufisme tetap lentur. Ia menghindari fosilisasi seperti yang menimpa tradisionalisme formal. Idries Shah menegaskan, pengulangan materi tanpa pembaruan adalah tanda kematian rohani. “Organisasi semacam itu telah menggabungkan-dunia,” tulisnya.
Baca juga: Jejak Tarekat Suhrawardi: Dari Keheningan Sufi ke Tren Meditasi Korporasi Tantangan di Era Komunitas ModernNamun, persoalannya berbeda di abad ke-21. Kelompok Sufi kontemporer berhadapan dengan tantangan psikologi sosial. Dalam karyanya, Idries Shah mencatat: kelompok yang mencari stabilitas sosial—entah berupa rasa aman, petualangan, atau pengakuan—cenderung gagal mencapai inti ajaran Sufi. “Mereka menjawab untuk apa kelompok menawarkan, bukan apa yang dapat ditawarkan Sufisme,” tulisnya.
Faktor ini diamini oleh sejarawan tasawuf, Alexander Knysh, dalam Islamic Mysticism: A Short History (Brill, 2000). Ia menyebut fenomena pseudo-Sufism: gerakan yang mengadopsi simbol, ritual, dan jargon Sufi, tetapi beroperasi sebagai kelompok sosio-psikologis belaka. “Orientasinya bukan pada pengenalan hakikat, melainkan kepuasan emosional dan sosial,” tulis Knysh.
Psikologi kontemporer menawarkan kacamata tambahan. Dalam terminologi Abraham Maslow, banyak orang memasuki kelompok Sufi untuk memenuhi “kebutuhan dasar” (rasa aman, pengakuan), bukan aktualisasi spiritual tertinggi. Ketika aspirasi kelompok berhenti pada tujuan psikologis yang lebih rendah, mereka kehilangan kapasitas untuk mengenal sumber-sumber di level lebih tinggi.
Idries Shah menulis peringatan keras: “Perkembangan alamiah kepekaan sosial dalam pengelompokan, menghalangi aspirasi.” Dengan kata lain, jika lingkaran Sufi terjebak dalam logika komunitas yang menolak perbedaan, ia akan bermusuhan dengan pengenalan baru.
Baca juga: Sufisme di Era Digital: Jalan Sunyi di Tengah Hiruk Pikuk Modernitas Menghidupkan GelombangApa yang dipertaruhkan? Tidak kurang dari masa depan tasawuf itu sendiri. Ketika ajaran hanya disalin tanpa aktualisasi, ia membeku dalam tradisi yang kehilangan daya. Tetapi jika ia terus diperbarui oleh guru yang autentik, seperti gelombang laut yang bergerak, maka Sufisme tetap relevan.
“Jalan ini bukan untuk yang mencari stabilitas,” kata Idries Shah, mengutip prinsip Sufi klasik. Jalan ini, sejak awal, diperuntukkan bagi mereka yang sanggup menanggung paradoks: menghormati tradisi, sambil terus menyeberang melampaui batasnya.
(mif)