LANGIT7.ID-Di tengah dunia yang kian retak oleh sekat identitas, Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengingatkan: Islam sejak awal menanamkan akar persaudaraan yang lebih luas dari sekadar batas agama atau bangsa. Dalam
Wawasan Al-Qur’an, ia menulis, “Al-Qur’an memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan.”
Empat simpul ukhuwah—‘
ubudiyyah,
insaniyyah,
wathaniyyah wa an-nasab, dan
fi din al-Islam—menjadi fondasi moral yang saling bertaut, membentuk jaring sosial yang idealnya menembus dinding politik dan fanatisme.
Namun di masa kini, tafsir ukhuwah kerap disempitkan menjadi slogan kelompok, bukan nilai universal yang hidup dalam perilaku.
Persaudaraan pertama, tulis Quraish Shihab, adalah ukhuwah ‘ubudiyyah: persaudaraan dalam kesemakhlukan dan ketundukan kepada Allah. Semua makhluk tunduk kepada hukum Tuhan, baik manusia, hewan, maupun semesta.
Dari sini lahir
ukhuwah insaniyyah, persaudaraan kemanusiaan yang menyatukan seluruh umat manusia dalam asal yang sama—anak cucu Adam dan Hawa. "Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara,” sabda Nabi Muhammad SAW yang dikutip Quraish Shihab.
Dalam tafsirnya, Quraish menegaskan bahwa dua lapis ukhuwah ini menuntut empati lintas iman. Islam, katanya, bukan sekadar sistem keyakinan, tapi juga *etik universal* yang menegaskan martabat manusia.
Tanah Air dan Nasab: Jejak Ikatan SosialBentuk ketiga adalah
ukhuwah wathaniyyah wa an-nasab—persaudaraan yang lahir dari kesamaan tanah air dan garis keturunan. Dalam konteks Indonesia, tafsir ini terasa penting. Di tengah polarisasi sosial dan politik, Quraish Shihab seolah mengingatkan bahwa nasionalisme bukan lawan dari Islam, melainkan bagian dari fitrah sosial manusia.
Persaudaraan sebangsa dan setanah air, tulisnya, adalah jembatan bagi terciptanya keadilan dan kedamaian sosial. Dalam tafsir ini, cinta tanah air adalah bentuk kasih terhadap sesama makhluk Allah yang berbagi ruang dan nasib.
Bentuk keempat,
ukhuwah fi din al-Islam, adalah persaudaraan seagama. Al-Qur’an menyebutnya dengan ungkapan yang kuat: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS Al-Hujurat [49]: 10)
Menariknya, Quraish Shihab menyoroti perbedaan dua istilah yang digunakan Al-Qur’an: ikhwan dan ikhwah. Kata ikhwan, menurutnya, lazim digunakan untuk persaudaraan tidak seketurunan. Sementara ikhwah, yang justru dipakai dalam ayat di atas, biasanya merujuk pada persaudaraan sedarah.
Mengapa Al-Qur’an memilih kata
ikhwah untuk menggambarkan persaudaraan iman? Quraish Shihab menjawab: karena Al-Qur’an ingin menegaskan bahwa hubungan antar-Muslim haruslah seerat hubungan darah—bukan sekadar kesamaan keyakinan formal.
“Seakan-akan hubungan tersebut dijalin bukan hanya oleh keimanan, melainkan juga oleh ikatan seketurunan,” tulisnya. Dengan itu, persaudaraan iman menjadi kewajiban ganda: spiritual sekaligus sosial.
Refleksi atas Ukhuwah di Zaman RetakDalam suasana dunia Muslim yang mudah terpecah oleh perbedaan mazhab dan politik, tafsir Quraish Shihab terasa seperti oase. Ia mengingatkan bahwa ukhuwah bukan konsep retoris yang dibacakan di podium, melainkan laku sosial yang harus dirawat di tengah realitas.
Persaudaraan dalam Islam, katanya, mencakup seluruh dimensi kehidupan: dari kesadaran kosmik, kemanusiaan, kebangsaan, hingga iman. Tak satu pun dari lapisan itu boleh meniadakan yang lain.
Seorang Muslim sejati, menurut tafsir Quraish, adalah dia yang memelihara semua jenis ukhuwah itu sekaligus. Ia sadar bahwa kesetiaannya kepada Tuhan tak bisa dipisahkan dari cintanya kepada sesama manusia.
Lebih dari sekadar ajaran etika, empat wajah ukhuwah yang ditafsirkan Quraish Shihab adalah tawaran rekonsiliasi spiritual di tengah krisis kemanusiaan modern. Ia menulis bukan untuk memisahkan umat berdasarkan label agama atau bangsa, tapi untuk menegaskan bahwa rahmat Islam mencakup seluruh ciptaan.
Dalam tafsirnya, persaudaraan sejati bukan sekadar slogan ukhuwah Islamiah—melainkan kesadaran, bahwa setiap manusia adalah saudara dalam penciptaan, warga dalam satu bumi, dan hamba di hadapan Tuhan yang sama.
(mif)