LANGIT7.ID- Keadilan Ilahi bukanlah konsep yang mudah dijelaskan hanya dengan logika manusia. Ia membutuhkan perspektif iman dan pandangan makro atas ciptaan dan tujuan hidup manusia. Keterbatasan nalar harus diimbangi dengan kekuatan hati dan kepercayaan pada hikmah ilahi yang sering kali tersembunyi.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa keadilan Tuhan bukan dalam arti kesetaraan matematis, tetapi dalam penempatan sesuatu pada tempatnya yang paling sesuai (
wad’u syai’ fi mahallihi). Apa yang tampak tidak adil bagi manusia, mungkin dalam tatanan Tuhan adalah keadilan yang sempurna.
Sedangkan Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i lain lagi. Filsuf dan mufasir
Syiah ini menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk mencapai kesempurnaan. Keberadaan keburukan adalah jalan bagi sebagian makhluk untuk menuju kesempurnaan tersebut. Dalam pandangannya, keadilan Tuhan berarti tidak menghalangi makhluk dari meraih kesempurnaan yang potensial.
John Hick (Filsuf Kristen) mengembangkan konsep
teodise pembentukan jiwa” (
soul-making theodicy), yakni bahwa penderitaan adalah bagian dari proses pembentukan karakter manusia yang matang secara spiritual. Dunia ini bukan taman hiburan, tetapi arena untuk ujian dan pertumbuhan rohani.
Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua ciptaan Allah baik adanya. Kejahatan tidak berasal dari zat Tuhan, tetapi merupakan konsekuensi logis dari pemberian kehendak bebas pada makhluk.
Baca juga: Makna Keadilan Menurut Al-Quran: Menafikan Kezaliman Konsep Baik dan BurukPembahasan mengenai keadilan Ilahi bukanlah tema baru. Sejak manusia mengenal konsep baik dan buruk, muncul pula pertanyaan-pertanyaan mendasar:
- Mengapa ada kejahatan, penyakit, dan kemiskinan?
- Mengapa sebagian manusia hidup dalam kelimpahan, sementara yang lain tenggelam dalam bencana?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering kali menantang akal manusia, terutama ketika dikaitkan dengan keadilan Tuhan. Memahami keadilan Ilahi adalah persoalan yang pelik, apalagi menjelaskannya dengan memuaskan semua nalar.
Sebagian orang yang menyadari Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan cenderung berkata, “Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang tampak sebagai ketidakadilan maupun yang sebaliknya.” Namun, jawaban seperti ini tidak selalu memuaskan secara rasional.
Baca juga: Duluan Mana, Keadilan Apa Kesejahteraan? Begini Kata Al-Qur'an Dalam masyarakat primitif, dikenal keyakinan adanya dua kekuatan ilahi: Tuhan Kebaikan dan Tuhan Kejahatan. Pemikiran dualistik ini secara tegas ditolak oleh agama-agama monoteistik, terutama Islam.
Allah berfirman: “
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya.” (QS Al-An’am [6]: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa semua yang ada, termasuk terang dan gelap, diciptakan oleh satu Tuhan yang Esa, bukan oleh dua entitas yang saling bertentangan.
Perspektif Keburukan dalam IslamSebagian ulama berpendapat bahwa keburukan atau kejahatan sebenarnya tidak ada dalam hakikatnya. Yang ada hanyalah keterbatasan persepsi manusia dalam melihat kebaikan yang tersembunyi.
Firman Allah: “
Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (QS Al-Sajdah [32]: 7)
“
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 216)
Dalam pandangan ini, apa yang manusia anggap sebagai kejahatan bisa jadi merupakan bagian dari rancangan besar yang memiliki tujuan akhir yang baik.
Sebuah analogi menarik: tahi lalat di wajah seseorang mungkin tampak buruk jika dilihat secara terpisah, namun dalam konteks keseluruhan wajah, bisa menjadi bagian dari kecantikan. Demikian pula dengan amputasi: jika dilihat sepintas, tampak kejam, tetapi bila dilakukan oleh dokter untuk menyelamatkan nyawa, tindakan itu menjadi mulia.
Ini menunjukkan bahwa menilai peristiwa hanya dari satu sisi atau secara “mikro” sering kali menyesatkan. Pemahaman akan keadilan Ilahi harus melihat dari “makro”, dari keseluruhan rencana Tuhan yang tidak selalu tampak jelas bagi manusia.
Kejahatan, Ujian, dan Tujuan PenciptaanKejahatan dalam banyak kasus bisa dilihat sebagai bagian dari ujian kehidupan. Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa penderitaan bisa menjadi sarana penghapusan dosa atau peningkatan derajat.
“
Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah [2]: 155–157)
Selain itu, setiap makhluk merupakan bagian dari kesatuan ciptaan:
“
Dan tiadalah binatang-binatang di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu juga.” (QS Al-An’am [6]: 38)
Dalam kesatuan ini, ada makhluk yang berkorban demi keberlangsungan atau kebahagiaan yang lain. Nilai-nilai seperti keberanian, kesabaran, dan rasa syukur baru bermakna jika ada bahaya, penderitaan, dan tantangan.
Akhirnya, persoalan keadilan Ilahi bukan sekadar masalah nalar, tetapi juga persoalan rasa. Sebab, manusia cenderung menginginkan yang terbaik untuk dirinya sendiri dan melupakan makhluk lain. Maka, yang dapat menjawab kegelisahan ini adalah rasa juga—dan di sinilah peran agama dan keyakinan menjadi sangat besar.
(mif)