Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 26 Oktober 2025
home masjid detail berita

Kisah Ummul Mukminin Menolak Fatwa Umar dan Ibnu Umar

miftah yusufpati Sabtu, 26 Juli 2025 - 05:45 WIB
Kisah Ummul Mukminin Menolak Fatwa Umar dan Ibnu Umar
Ia bukan hanya Ummul Mukminin dalam artian ibu kaum beriman. Tapi juga penafsir, penjaga otentisitas sunnah, dan penyaring otoritas yang berlebihan. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Pada suatu sore di Madinah, seorang lelaki duduk di samping Ibnu Umar, putra dari Khalifah kedua umat Islam, Umar bin Khattab. Ia menyimak diam-diam, namun hatinya penuh gelisah. Ia baru saja mendengar pendapat Ibnu Umar yang terkenal keras: bahwa memakai wewangian saat akan berihram adalah sesuatu yang tak disukainya. Bahkan, kata Ibnu Umar, “Dicat dengan lumpur lebih aku sukai daripada memakai wewangian.”

Pendapat itu terdengar seperti prinsip yang mapan: zuhud, menjauh dari aroma duniawi sebelum masuk ke ritual suci haji. Tapi lelaki itu ragu. Sebab ada satu suara lain—suara perempuan, yang justru menyaksikan sunnah itu sejak awalnya: Aisyah binti Abu Bakar, istri Nabi Muhammad SAW.

Ia pun mengutus seorang lelaki lain, dengan satu misi: tanyakan langsung kepada Aisyah. Dan seperti yang diduganya, jawaban itu datang bagaikan petir di siang bolong. “Aku pernah memberi Rasulullah saw. wewangian,” kata Aisyah, “kemudian beliau mengunjungi para istrinya, dan pada pagi harinya berihram—dalam keadaan masih memakai wewangian.”

Ketika utusan itu menyampaikan kembali jawabannya, Ibnu Umar hanya terdiam. Tak ada bantahan. Tak ada debat. Hanya keheningan, tanda bahwa dalam pengetahuan pun, ada kekalahan yang tak memalukan.

Baca juga: Lampu yang Menyinari Umat: Jejak Aisyah dalam Ilmu dan Akhlak

Tradisi Versus Kesaksian

Dalam dunia fiqh, nama Umar bin Khattab dan anaknya, Abdullah bin Umar, bukan nama sembarangan. Keduanya dikenal sebagai rujukan utama dalam soal ketakwaan dan kedisiplinan mengikuti sunnah. Tetapi dalam kisah ini, muncul satu dinamika yang jarang diangkat dalam wacana keagamaan arus utama: bahwa seorang perempuan, bahkan istri Nabi, bisa berdiri tegak menolak pendapat dua ikon besar.

Penolakan Aisyah bukan karena emosi, tapi karena memori. Ia bukan sekadar ahli fiqh, tapi juga saksi rumah tangga kenabian. Ia tahu, bahkan mencium langsung aroma tubuh Nabi yang dibaluri wewangian saat hendak berihram.

Bagi Aisyah, pendapat yang bertentangan dengan sunnah yang ia lihat dengan mata kepala sendiri harus ditolak, tak peduli siapa yang mengatakannya.

“Sunnah Rasulullah lebih berhak untuk diikuti,” kata Salim bin Abdullah, cucu Umar bin Khattab. Ia pun memilih mengikuti hadits Aisyah dan menolak pandangan kakeknya sendiri.

Baca juga: Aisyah, Khadijah, dan Kata Cinta yang Tak Pernah Usang

Hadis, Logika, dan ‘Ishmah’

Apa yang terjadi antara Aisyah dan Ibnu Umar bukan sekadar silang pandang fiqh. Ia adalah penanda bahwa dalam Islam, kebenaran tidak dibatasi oleh nama besar atau garis keturunan. Bahkan pendapat Khalifah Umar bin Khattab sekalipun bisa dikoreksi jika bertentangan dengan sunnah yang sahih.

“Dari hadits tersebut dapat diambil pelajaran bahwa orang yang masih bimbang hendaklah kembali kepada sunnah,” tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam *Fathul Bari*. “Dengan adanya sunnah, kita tidak lagi memerlukan pendapat tokoh-tokoh. Di dalam sunnah terdapat sesuatu yang memuaskan.”

Itulah mengapa Islam tidak mengenal *ishmah* (perlindungan dari kesalahan) kecuali bagi Nabi Muhammad. Semua pendapat, bahkan dari para sahabat utama, masih bisa dikritik. Dan kritik itu bisa datang dari siapa saja—termasuk seorang perempuan yang hidup di kamar-kamar kenabian.

Baca juga: Menjenguk Orang Sakit Bukan Mahramnya: Kisah Sayyidah Aisyah Membesuk Bilal

Tafsir Perempuan, Suara yang Terlupakan

Kisah ini juga menyiratkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa perempuan dalam Islam klasik bukanlah makhluk pinggiran yang hanya patuh diam. Aisyah adalah mujtahidah, pakar fiqh, dan juga narator utama ribuan hadits. Ia tak segan mengoreksi pendapat sahabat laki-laki. Ia tak ragu berdiri di barisan terdepan dalam pertarungan wacana keagamaan.

Namun, dalam sejarah tafsir dan fiqh, suara perempuan seperti Aisyah perlahan tenggelam. Diserap, dipilah, lalu dibungkam oleh tradisi patriarkal yang lebih memuliakan suara lelaki. Padahal justru Aisyah lah yang menyaksikan kehidupan Rasulullah dari dekat. Apa yang dia lihat, dia dengar, dan dia praktikkan, seharusnya menjadi peta utama dalam memahami sunnah.

Ketika ia berkata bahwa Nabi memakai wewangian saat berihram, itu bukan sekadar pendapat, tapi kesaksian.

Dan kesaksian tak bisa dikalahkan oleh logika—bahkan logika Umar sekalipun.

Baca juga: Kisah Perkawinan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah: Cinta Setelah Menikah

Warisan Perlawanan dalam Ilmu

Kisah ini bukan anomali dalam sejarah Islam. Ada banyak riwayat yang menunjukkan betapa dinamisnya diskursus keagamaan di kalangan sahabat. Kritik bukan dianggap pembangkangan, tapi bagian dari pencarian kebenaran. Dan dalam pencarian itu, Aisyah tampil bukan sebagai pengekor, tapi pengarah.

Ia bukan hanya Ummul Mukminin dalam artian ibu kaum beriman. Tapi juga penafsir, penjaga otentisitas sunnah, dan penyaring otoritas yang berlebihan.

Di era ketika banyak orang mengutip pendapat ulama tanpa menyentuh teks asli, keberanian Aisyah menjadi napas segar: bahwa agama bukan sekadar mengikuti, tapi menalar; bukan sekadar taklid, tapi juga ijtihad.

Dan bahwa terkadang, suara yang benar datang dari tempat yang tak disangka: dari ruang-ruang rumah Nabi, dari mulut seorang perempuan, dari ingatan yang dibungkus cinta dan ilmu.

Baca juga: Kisah Tabiin Al-Qasim Cucu Abu Bakar Shiddiq: Di Bawah Asuhan Siti Aisyah

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 26 Oktober 2025
Imsak
04:01
Shubuh
04:11
Dhuhur
11:40
Ashar
14:52
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan