LANGIT7.ID-Di ruang pertemuan sederhana di Qadian, Punjab, India—tempat kelahiran gerakan Ahmadiyah—Naseem Saifi, tokoh Ahmadiyah yang dikenal lantang, pernah melontarkan tantangan keras:
“Coba tunjukkan padaku, apa yang telah dicapai oleh mereka (ulama-ulama) yang memusuhi Ahmadiyah itu? Adakah hasil yang mereka peroleh, ataukah mereka sanggup membendung masuknya orang-orang ke dalam Ahmadiyah? Jelas sekali, mereka telah gagal. Bahkan jika seribu satu macam kitab diterbitkan untuk menentang Ahmadiyah, mereka pasti gagal!” (Naseem Saifi, Our Movement, hlm. 8).
Tantangan itu bukan sekadar retorika. Di banyak negara, dari Asia Selatan hingga Eropa, Ahmadiyah menampilkan wajah Islam yang terorganisir, rapi, dan modern. Mereka mengklaim tak menyimpang “sehelai rambut pun” dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Dalam buku bantahannya terhadap kritik Ustadz Bakry Wahid, Saleh A. Nahdi menulis bahwa Ahmadiyah memegang rukun Islam dan rukun iman yang sama dengan kaum Muslimin (Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Membantah Tuduhan-tuduhan Ustadz Bakry Wahid, 1972, hlm. 4).
Namun, kesamaan itu disajikan dengan strategi komunikasi yang segar: penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa-bahasa dunia—Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, hingga Persia; pembangunan masjid di Eropa, Amerika, dan Afrika; serta penerbitan buku gratis tentang perbandingan agama dan ekonomi Islam. “Excelent dan menyilaukan,” tulis Abdullah Hasan Alhadar dalam Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah (1980).
Baca juga: Ahmadiyah: Mirza Ghulam Ahmad dan Masakan dari Dapur Kolonial Strategi Baru, Wajah BaruMenurut pengamatan Mohammad Iqbal, pujangga besar Islam dari India, para ulama lokal gagal menembus “bagian sebelah dalam” Ahmadiyah karena hanya mengandalkan hujjah teologis (Syed Abdul Wahid, Thoughts and Reflections of Iqbal, hlm. 269). Kritik-kritik berbasis dalil agama membuat Ahmadiyah justru mengubah taktik: menutup perdebatan soal status pendiri mereka, Mirza Ghulam Ahmad, dan menonjolkan kerja-kerja sosial atas nama Islam.
Perubahan haluan ini mendapat sorotan positif dari beberapa orientalis. H.A.R. Gibb, profesor bahasa Arab di Oxford dan Harvard, menyebut Ahmadiyah sebagai gerakan yang “giat melawan penyiaran agama Kristen di Afrika Selatan maupun di Timur dan Barat” (Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, 1954, hlm. 77).
Tetapi bagi pengkritik, pujian ini punya implikasi politis. Alhadar menilai bahwa simpati Barat terhadap Ahmadiyah berpotensi “menyuburkan benih pemecah dan pengacau iman” karena posisi Ahmadiyah yang mengklaim sebagai “illa wahidah”—satu-satunya kelompok dari 73 golongan umat Islam yang akan masuk surga (Majalah Sinar Islam, th. XV/1965).
Baca juga: Jaga Akidah, Kemenag Diminta Komunikasi ke MUI Soal Baha'i dan Ahmadiyah Indonesia: Ladang SuburDi Indonesia, hampir setiap kota besar punya cabang Ahmadiyah. Meski gerakannya lambat, persebarannya mantap. Di Kayu Manis, sebuah desa dekat Cirebon, hampir seluruh penduduknya menganut paham ini. Mereka berdakwah lewat diskusi informal, kunjungan rumah, atau dialog di kampus-kampus.
Menurut laporan Abdullah Hasan Alhadar, metode ini berhasil menanam benih pengaruh Ahmadiyah. “Mereka menonjolkan diri dengan masjid, madrasah, poliklinik, dan perpustakaan,” tulisnya.
Bahkan penulis Tempo, Syu’bah Asa, pernah mencatat pentingnya Ahmadiyah dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia. “Lebih penting daripada mengemukakan ajaran Ahmadiyah dalam perbandingannya dengan faham kaum Muslimin yang kontra ialah usaha mencatat perkembangan alam pikiran keagamaan di Indonesia... di mana ajaran Ahmadiyah ternyata mempunyai bekas yang bisa diraba meskipun nyaris tak pernah disinggung” (Tempo, 24 September 1974).
Baca juga: Asyura di Negeri Syiah: Duka yang Dirawat, Luka yang Dirayakan Antara Dakwah dan KontroversiBagi sebagian kalangan, Ahmadiyah adalah potret Islam yang modern, terorganisir, dan responsif terhadap tantangan global. Namun bagi pengkritiknya, klaim-klaim teologis Mirza Ghulam Ahmad tetap menjadi “garis merah” yang tak bisa dihapus hanya dengan kerja sosial.
Pertanyaannya, seperti yang diajukan Alhadar: mungkinkah kaum Muslimin mengabaikan gelar-gelar dan klaim kenabian pendirinya, sementara pengikut Ahmadiyah sendiri menginternalisasi seluruh pendakwaan itu?
Jawaban atas pertanyaan ini mungkin menentukan, apakah Ahmadiyah akan terus diterima sebagai bagian dari keragaman Islam, atau tetap menjadi gerakan yang memicu debat panjang di panggung sejarah.
(mif)