LANGIT7.ID-Prof Dr M Quraish Shihab mengatakan, ayat Litukhrija an-nas minazh-zhulumati ilan nur yaitu mengeluarkan manusia dari gelap menuju terang, bukan hanya seruan spiritual, tapi juga mandat sosial.
Dalam buku
Wawasan Al-Qur’an (Mizan), ia menulis bahwa fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong perubahan positif dalam masyarakat. Karena itu, meski Al-Qur’an bukan buku sosiologi, ia justru bicara banyak soal masyarakat. Bahkan, dalam pandangan Quraish Shihab, “tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan.”
Al-Qur’an mengenal beragam istilah untuk menunjuk komunitas manusia: qawm, ummah, syu’ub, qabail. Ia juga memberi label pada kelompok sosial: al-mala’ (elit penguasa), al-mustakbirun (kaum arogan), dan al-mustadh‘afun (yang tertindas). Istilah ini, kata Quraish Shihab, bukan sekadar kategori linguistik, melainkan cermin dinamika sosial yang hidup di sepanjang sejarah.
Baca juga: Aisyiyah Bersama Enzim Perkuat PHBS untuk Cegah Penyakit Gigi dan Mulut di Masyarakat Manusia: Makhluk yang TergantungAyat kedua wahyu pertama memberi petunjuk: “Khalaqal insan min ‘alaq.” Selama ini diterjemahkan sebagai “diciptakan dari segumpal darah”. Tapi Quraish Shihab menambahkan lapisan makna: manusia diciptakan dalam keadaan selalu bergantung. Tidak bisa hidup sendiri.
Makna ini sejalan dengan Al-Hujurat ayat 13: manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Fitri, kata Quraish Shihab, manusia adalah makhluk sosial. Hidup bersama bukan pilihan, melainkan keniscayaan.
Di tengah perbedaan tingkat kecerdasan, kemampuan, dan status sosial, Al-Qur’an justru menegaskan tujuan dari keragaman itu: “Agar sebagian mereka memanfaatkan sebagian yang lain.” (QS Al-Zukhruf [43]:32). Prinsipnya jelas: perbedaan bukan untuk mengukuhkan dominasi, melainkan menciptakan jejaring saling membutuhkan.
Baca juga: Jalan Bertahap Menuju Masyarakat Islam: Menelusuri Fikih Transformasi Sosial ala Qardhawi Hukum Sosial dan Tantangan ZamanDalam tafsir ini, Quraish Shihab melihat Al-Qur’an sebagai panduan membangun masyarakat yang adil. Tapi bagaimana dengan realitas hari ini? Ketika masyarakat justru terbelah oleh politik identitas, kesenjangan ekonomi, dan krisis empati?
Konsep saling mengenal (lita‘arafu) tampak kian abstrak di era algoritma media sosial yang memenjarakan orang dalam gelembung pikirannya sendiri. Perbedaan yang mestinya menjadi rahmat malah berubah menjadi bahan bakar konflik.
Padahal, dalam perspektif Al-Qur’an, perbedaan adalah syarat bagi keberlangsungan hidup bersama. Manusia diciptakan berbeda agar terjadi saling tukar manfaat. “Ini adalah hukum sosial yang ditegaskan Kitab Suci,” tulis Quraish Shihab.
Masyarakat, bagi Al-Qur’an, bukan sekadar kumpulan individu yang hidup berdampingan, melainkan entitas yang diikat oleh nilai, hukum, dan tujuan bersama: keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebuah proyek yang tidak selesai dalam satu generasi.
Kini, pertanyaannya: apakah kita, umat Islam, masih menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan membangun masyarakat? Atau sekadar membacanya tanpa makna sosial? Jika Kitab ini lahir untuk melahirkan perubahan, maka stagnasi yang kita alami hari ini adalah alarm keras bahwa pesan itu nyaris hilang di tengah hiruk pikuk peradaban.
Baca juga: Larangan Khalwat dan Ancaman Runtuhnya Batas-Batas Moral dalam Masyarakat Muslim(mif)