Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 21 November 2025
home masjid detail berita

Ruang Publik yang Cair: Kisah Perempuan dalam Perayaan Islam Awal

miftah yusufpati Senin, 15 September 2025 - 04:15 WIB
Ruang Publik yang Cair: Kisah Perempuan dalam Perayaan Islam Awal
Kebebasan perempuan berpartisipasi dalam perayaan umum adalah bagian dari tahrir al-marah atau pembebasan perempuan di masa risalah. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Riuh pesta perkawinan itu masih terdengar di Madinah abad ke-7. Sejumlah perempuan dan anak-anak keluar dari rumah pengantin, berbaur dalam kebahagiaan. Nabi Muhammad, yang kebetulan lewat, berhenti sejenak. “Ya Allah, mereka termasuk orang-orang yang paling aku senangi,” sabdanya, tiga kali diulang. Riwayat ini dicatat oleh Anas bin Malik dan kemudian diriwayatkan Imam Bukhari serta Muslim.

Kisah sederhana itu menjadi gambaran: keikutsertaan perempuan dalam perayaan umum bukan hal asing di masa Rasulullah. Ia hadir bukan sekadar simbol, melainkan bagian utuh dari dinamika sosial masyarakat Muslim awal.

Bagi masyarakat Arab kuno, perayaan perkawinan lazimnya hanya dimonopoli laki-laki. Namun, catatan sejarah menunjukkan ada pergeseran ketika Islam datang. Sahal bin Sa’ad, misalnya, meriwayatkan bahwa saat Abu Usaid as-Sa’idi menikah, justru sang istri—Ummu Usaid—yang menyiapkan dan menghidangkan makanan. Nabi Muhammad, tamu agung kala itu, bahkan diberi minuman kurma rendaman yang khusus dibuat oleh Ummu Usaid. “Perempuan bukan hanya hadir, tapi berperan,” tulis Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Kebebasan Wanita di Masa Risalah (Gema Insani, 1998).

Baca juga: Perempuan di Saf Ibadah: Keikutsertaan dalam Ritual Jamaah Sejak Zaman Nabi

Hari Raya: Dari Pingitan ke Lapangan

Catatan sahabat perempuan Nabi juga memperkaya narasi. Athiyyah al-Ansariyah menuturkan bagaimana Rasul memerintahkan seluruh perempuan keluar rumah saat Idulfitri dan Iduladha, termasuk gadis perawan yang biasanya dipingit, bahkan perempuan yang sedang haid. Mereka memang tidak ikut salat, tetapi tetap berdiri di belakang jamaah, bertakbir, berdoa, dan mendengar khutbah. “Supaya mereka bisa menyaksikan kebaikan dan mendengarkan seruan orang-orang beriman,” kata Athiyyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari-Muslim.

Aisyah, istri Nabi, bahkan pernah diajak menonton atraksi pasukan Habasyah (Ethiopia) yang bermain tombak di halaman masjid. “Apakah engkau ingin melihatnya?” tanya Nabi. Aisyah mengangguk. Ia pun berdiri di belakang suaminya, pipi menempel pada pipi. Bagi sejarawan Asma Barlas dalam Believing Women in Islam (University of Texas Press, 2002), kisah ini bukan sekadar romantisme domestik, tetapi penegasan bahwa ruang publik juga milik perempuan.

Momentum lain tercatat saat Rasul tiba di Madinah. Abu Bakar al-Shiddiq meriwayatkan, kaum lelaki dan perempuan, anak-anak hingga budak, memenuhi jalan dan atap rumah. Mereka melantunkan seruan: “Wahai Muhammad Rasulullah!” Gambaran ini menunjukkan partisipasi kolektif, tanpa sekat gender.

Bagi sejarawan modern, partisipasi publik perempuan di masa Nabi mencerminkan inklusivitas masyarakat Madinah. Leila Ahmed dalam Women and Gender in Islam (Yale University Press, 1992) menyebutnya sebagai “ruang sosial yang cair”, di mana batas domestik-publik belum dikotakkan secara kaku seperti pada era Islam pasca-klasik.

Baca juga: Sushila Karki Terpilih sebagai Perdana Menteri Perempuan Pertama di Nepal, Usai Kerusuhan Besar

Tafsir Masa Kini

Mengapa kisah-kisah itu relevan dibicarakan sekarang? Sebab, dalam banyak masyarakat Muslim kontemporer, kehadiran perempuan di ruang publik kerap diperdebatkan. Dari masjid hingga pesta rakyat, dari jalan raya hingga layar politik, keterlibatan perempuan sering masih dipandang tabu. Padahal, teks-teks klasik menunjukkan jejak berbeda.

Abdul Halim Abu Syuqqah menekankan, kebebasan perempuan berpartisipasi dalam perayaan umum adalah bagian dari “tahrir al-mar’ah” atau pembebasan perempuan di masa risalah. Islam, tulisnya, justru menghadirkan wajah sosial yang inklusif, menghapus isolasi, dan memberi ruang kontribusi.

Di Indonesia, perayaan bersama yang melibatkan perempuan bukanlah hal baru. Dalam tradisi Jawa, perempuan memegang peran penting dalam slametan—ritual komunal yang dirayakan untuk perkawinan, kelahiran, hingga panen. Antropolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menulis bahwa perempuan kerap menjadi penyaji hidangan sekaligus penjamin kelancaran acara. “Tanpa keterlibatan perempuan, slametan tak berjalan,” tulisnya.

Hal serupa terlihat dalam pesta rakyat di Sumatra Barat. Pada baralek (pesta perkawinan Minangkabau), kaum perempuan bukan hanya hadir sebagai tamu, tetapi juga memimpin prosesi adat dan urusan dapur. Penelitian Evelyn Blackwood dalam Webs of Power: Women, Kin, and Community in a Sumatran Village (1999) menunjukkan bahwa kendali perempuan dalam pesta adat mencerminkan posisi mereka yang sentral dalam jaringan sosial Minang.

Di Lombok, perayaan nyongkolan—arak-arakan pengantin yang meriah—melibatkan perempuan dan laki-laki secara seimbang. Bagi sosiolog, keterlibatan perempuan dalam perayaan publik di Nusantara adalah warisan budaya gotong-royong yang menegaskan partisipasi komunal tanpa memandang gender.

Baca juga: Perempuan-Perempuan Periwayat Hadis: Dari Aisyah hingga Ummu Sulaim

Narasi-narasi hadis, bila dibaca bersama dengan antropologi perayaan Nusantara, memberi pesan yang sama: kegembiraan, doa, dan kebersamaan bukan monopoli satu gender. Perempuan sejak awal ikut menyemarakkan pesta perkawinan, merayakan hari raya, hingga menyambut pemimpin besar mereka.

Dalam kata-kata sederhana Nabi di pesta pernikahan itu, tersimpan makna luas: “Mereka termasuk orang-orang yang paling aku senangi.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 21 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:05
Maghrib
17:54
Isya
19:08
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan