LANGIT7.ID, Jakarta - Setiap 28 Oktober, masyarakat Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda mengacu pada rekomendasi Kongres Pemuda II pada 1928. Namun sebenarnya, istilah ‘Sumpah Pemuda' tidak ada ada dalam rekomendasi kongres tersebut.
Baca Juga: KH Maimoen Zubair Lahir Saat Peristiwa Sumpah Pemuda
“Nah, yang menyebut sebagai Sumpah Pemuda itu Muhammad Yamin, karena dia waktu itu adalah sekretaris bidang. Kemudian setelah Indonesia merdeka, dia menyebut itu sebagai Sumpah Pemuda. Itu istilah yang lahir setelah kemerdekaan,” kata Pengamat Sejarah Politik Indonesia, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, kepada LANGIT7.ID, Rabu (28/10/2021).
Istilah Sumpah Pemuda baru muncul belakangan pada era 1950-an. Aslinya tiga poin yang termaktub dalam Sumpah Pemuda merupakan esensi dari Putusan Kongres Pemuda II. Begini petikan utamanya:
Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda IndonesiaPertama: Kami poetera-poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.Kedua: Kami poetera-poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Ketiga: Kami poetera-poetera dan poeteri Indonesia mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
Kongres mengamanatkan, keputusan tersebut wajib dipakai di semua perkumpulan kebangsaan Indonesia untuk memperkuat persatuan dan kesatuan. Namun seiring berjalannya waktu, tiga poin itu dibawa ke pelbagai forum dan mengalami modifikasi, meski esensi masih sama.
Saat pembentukan Indonesia Merdeka tahun 1930, putusan itu disebut sebagai 'Tiga Semboyan’. Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 juga membawa putusan Kongres Pemuda II tersebut. saat Kongres Bahasa Indonesia itu, putusan Kongres disebut sebagai Sumpah Kita.
Pada Kongres Pemuda 1949, alias era pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, putusan Kongres Pemuda II itu dibawa lagi namun disebut sebagai 'Sembojan Perdjuangan’. Kendati begitu, Tiar Anwar Bachtiar membantah jika Sumpah Pemuda merupakan rekayasa politik Soekarno.
“Itu bukan rekayasa Soekarno. Itu kongres aja, yang menyebut sebagai Sumpah Pemuda itu Muhammad Yamin. Soekarno tidak ada urusannya dengan itu. Soekarno juga tidak terlibat dalam kongres, karena dia tidak bergabung dengan organisasi kepemudaan saat itu,” kata Tiar Anwar.
Memang pada 1950, Soekarno sempat mempertegas poin ketiga. Aslinya, bahasa Indonesia ditempatkan sebagai bahasa yang dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan. Namun pada era 1950, Bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa, bukan sekadar dijunjung tinggi.
(jqf)