LANGIT7.ID-Di banyak kampus, semangat religius berkobar di wajah para mahasiswa. Mereka semangat menghadiri tabligh, mendengarkan ceramah, bahkan kadang memutuskan keluar dari fakultas--entah kedokteran, teknik, atau pertanian--demi apa yang mereka yakini sebagai panggilan dakwah.
Tak ada yang salah dari semangat itu. Tapi ketika ilmu yang mereka tinggalkan adalah bagian dari kebutuhan strategis umat, keputusan itu justru membuat kita terdiam.
Gambaran seperti itu pernah dikritik tajam oleh
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya
Fiqh Prioritas (
Fiqh al-Awlawiyyat). Dalam risalah itu, ia menyentil umat Islam modern yang sering kali terbalik dalam menempatkan mana yang lebih penting dan mendesak. Yang fardhu kifayah ditinggalkan, sementara yang sunnah dikejar habis-habisan. Yang maslahat besar diabaikan, sementara yang khilafiyah sepele diperdebatkan tak henti.
Kecenderungan itu makin tampak menonjol. Kegiatan dakwah lebih sering mengajak umat menjauhi profesi duniawi, alih-alih memaknainya sebagai sarana ibadah. Seorang mahasiswa kedokteran meninggalkan bangku kuliah untuk berdakwah, padahal setiap dokter Muslim adalah
fardhu kifayah. Bila semua berpikir demikian, siapa yang akan merawat umat ini?
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Fikih Tabiin? Berikut Ini Penjelasannya Masalahnya bukan hanya pada pengalihan orientasi hidup. Juga pada prioritas yang tak seimbang: sebagian umat sibuk mempertengkarkan hukum mengenakan jam tangan di kiri atau kanan, sedangkan perhatian terhadap riset, teknologi, atau pembangunan ekonomi Islam justru sekarat.
Di Kanada dan Eropa, sebagian Muslim sibuk mendebat boleh tidaknya makan di atas meja dengan garpu, sementara Islam sebagai peradaban tak punya tempat dalam sains dan industri global.
Lebih parah lagi, kecenderungan ini berimbas pada keretakan sosial. Seorang anak yang rajin ke masjid bisa menjadi begitu keras terhadap orang tuanya hanya karena ayah dan ibunya dianggap "tidak syar’i". Padahal Al-Qur’an secara eksplisit memerintahkan untuk tetap mempergauli orang tua secara baik, meskipun mereka musyrik. Relasi sosial tercerabut karena semangat religius yang kehilangan hikmah.
Paradoks Besar Dunia IslamKritik seperti ini bukan hal baru.
Imam Al-Ghazali pada abad ke-11 sudah menegur umatnya yang sibuk belajar fikih tetapi menyerahkan urusan medis kepada dokter
Yahudi. Umat Islam terjebak pada ranah-ranah simbolik, sementara perkara strategis umat—ilmu, pertahanan, keadilan, pemerintahan—dibiarkan lapuk.
Fenomena ini juga membuat sebagian umat lebih peduli pada puasa ketimbang salat, lebih sibuk dengan zikir daripada silaturahmi, lebih berapi-api menghindari syubhat daripada menegakkan keadilan sosial. Orang-orang berdebat soal musik dan gambar, tetapi menutup mata terhadap korupsi, eksploitasi ekonomi, atau ketidakadilan politik.
Baca juga: Ilmu Fikih: Ketika Campur Tangan Kekuasaan Membentuk Hukum Islam Alih-alih memperkuat tiang-tiang utama bangunan Islam seperti iman, tauhid, jihad, dan fiqh sosial, sebagian umat justru sibuk mengatur posisi batu bata dekoratif. Aqidah tak dibahas, ikhlas tak dibina, pemimpin tak dipilih berdasarkan amanah, bahkan penindasan oleh penguasa zalim tak dianggap urusan umat.
Inilah paradoks besar dunia Islam hari ini: lebih sibuk menyoal baju dan jenggot ketimbang nasib para fakir miskin yang dizalimi sistem. Lebih ramai menyerukan larangan nyanyian daripada memperjuangkan zakat agar sampai ke tangan yang membutuhkan. Lebih aktif mengkafirkan sesama ketimbang memperjuangkan keadilan sosial.
Islam yang Mengerti Skala PrioritasUmat ini pernah menjadi pemimpin dunia karena memadukan spiritualitas dengan ilmu, fikih dengan teknologi, ibadah dengan amal. Tapi kini, umat yang dulu menjadikan zakat sebagai simbol negara pertama yang membela hak orang miskin, justru melalaikannya karena terlalu sibuk menghitung jumlah rakaat tarawih.
Tentu, tak semua umat Islam demikian. Tapi suara minor yang mendalam dan jernih sering kali tertutup oleh riuhnya wacana-wacana remeh yang mengambang di permukaan. Jika semangat kebangkitan Islam tak kembali pada prioritas fardhu 'ain dan fardhu kifayah, pada amal sosial dan intelektual, pada akhlak terhadap keluarga dan tanggung jawab pada negeri, maka kebangkitan itu akan tinggal jargon belaka.
Baca juga: Ilmu Fikih: Ketika Pertimbangan Kepentingan Umum Didahulukan Umat ini butuh dokter yang saleh, insinyur yang ikhlas, jurnalis yang adil, pengusaha yang amanah. Islam bukan untuk diperdebatkan dalam majelis fiqh kecil-kecilan, tapi untuk ditegakkan dalam dunia nyata yang penuh tantangan.
Sudah waktunya kita kembali memeluk Islam sebagai rahmat bagi semesta—seperti yang digariskan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi: Islam yang mengerti skala prioritas, dan tahu mana yang utama untuk diperjuangkan.
(mif)