LANGIT7.ID-Di antara para sahabat yang duduk di masjid Nabawi itu, seorang perempuan dengan keberanian yang tak biasa mengangkat tangannya. Ia bertanya langsung kepada
Rasulullah SAW: “Wahai Rasul, mengapa kebanyakan dari kami disebut penghuni
neraka?” (Sahih Bukhari, Kitab al-Iman).
Pertanyaan itu membekas hingga hari ini, menjadi salah satu momen penting dalam sejarah kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Jawaban Rasulullah kala itu tak datang dengan cemoohan atau kemarahan, tetapi dengan penjelasan penuh kasih: “Sebenarnya wanita itu adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Abu Daud, no. 236).
Kalimat itu, meski sederhana, seperti meruntuhkan tembok prasangka yang sudah lama bercokol di masyarakat Arab kala itu. Rasulullah menegaskan: perempuan dan laki-laki memiliki martabat yang setara di hadapan Allah, dengan kekhususan masing-masing.
Di zaman Nabi, perempuan bukan sekadar pelengkap di balik layar. Mereka memahami bahwa karakteristik mereka telah digariskan Islam: sebagai makhluk yang mulia, yang memiliki hak untuk belajar, berperan, bahkan ikut dalam jihad dalam bentuk yang sesuai.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Mana Lelaki, Mana Perempuan? Khadijah binti Khuwailid menopang dakwah Rasul dengan hartanya dan keberaniannya (Ibn Hisham, Sirah Nabawiyyah). Aisyah binti Abu Bakar menjadi periwayat ilmu, tempat para sahabat laki-laki belajar (Sahih Bukhari, lebih dari 2.000 hadits melalui Aisyah). Ummu Salamah ikut menyusun strategi ketika kaum muslimin kebingungan di Hudaibiyah (Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah).
Pandangan Rasulullah soal perempuan jelas dan tegas: tidak ada diskriminasi dalam martabat. Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab ayat 35 menyebutkan laki-laki dan perempuan beriman sejajar dalam derajat dan pahala: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin… Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Namun, di tengah pesan yang terang itu, ada satu hadits yang sering disalahpahami: “Aku melihat kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan… karena kalian banyak mengeluh, dan kalian mengingkari kebaikan suami. Wanita juga kurang akal dan agama.” (Sahih Bukhari, no. 304).
Konsep “kurang akal” dijelaskan Rasulullah karena saat itu dalam perkara muamalah, kesaksian perempuan setara setengah laki-laki (Q.S. Al-Baqarah:282). Sedangkan “kurang agama” karena perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa saat haid—ini bukan celaan, tetapi penjelasan syariat.
Baca juga: Kebangkitan yang Tak Bisa Ditahan: Gelombang Baru Islam dan Wajah Perempuan Ironisnya, tafsir yang keliru terhadap hadits ini masih bertahan hingga hari ini, digunakan untuk melecehkan kemampuan intelektual dan spiritual perempuan.
Sosiolog Mesir, Nawal Saadawi, dalam bukunya The Hidden Face of Eve (1980), menulis bahwa ketimpangan ini lebih banyak lahir dari budaya patriarki daripada dari teks agama itu sendiri. Sejarawan Maroko, Fatima Mernissi, juga mengingatkan dalam The Veil and the Male Elite (1991): “Rasulullah berada di garis depan dalam memperjuangkan perempuan; yang tertinggal justru umatnya.”
Kini, di banyak komunitas muslim, perempuan mulai kembali merebut ruang yang dulu diberikan Islam kepada mereka. Majelis-majelis ilmu diisi oleh perempuan-perempuan cerdas yang tak lagi takut dipandang “kurang akal”. Aktivis kemanusiaan muslimah memimpin organisasi, kampus-kampus Islam melahirkan banyak sarjana perempuan.
"Kurang akal? Mungkin yang kurang itu pemahaman kita tentang hadits itu sendiri. Padahal Nabi sudah mengajarkan: kami ini saudara kandung laki-laki.”
Kisah perempuan muslimah di zaman Nabi seharusnya menjadi inspirasi, bukan sekadar retorika. Mereka bukan hanya penghuni rumah, tetapi juga penjaga ilmu, penggerak ekonomi, pendamping perjuangan, dan penyuluh spiritual.
Baca juga: Al-‘Uzza: Dewa Perempuan yang Tewas di Tangan Khalid bin Walid Pesan dari Madinah itu masih sama: perempuan tidak pernah lebih rendah dari laki-laki. Mereka hanya berbeda dalam cara menjalani peran. Dan setiap orang, laki-laki maupun perempuan, tetaplah hamba yang sama-sama mulia di hadapan-Nya.
Atau seperti sabda Rasulullah: “Wanita adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Abu Daud).
(mif)