LANGIT7.ID-Di tengah riuh perdebatan publik soal kesetaraan gender, Al-Qur’an menawarkan kerangka yang kompleks, memadukan kasih sayang, peran kepemimpinan, dan keseimbangan hak-kewajiban. Ayat-ayatnya tidak lahir di ruang hampa; ia turun di tengah masyarakat Arab abad ke-7 yang memandang perempuan sebagai kelas kedua.
Transformasi yang dibawa Islam, menurut pakar tafsir Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an, adalah menjadikan perempuan subjek yang memiliki martabat dan hak hukum, sekaligus menetapkan struktur sosial yang dianggap sesuai dengan fitrah.
Dalam surah ar-Rum ayat 21, perempuan digambarkan sebagai “ketenteraman” bagi laki-laki. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya…”
Tafsir Al-Maraghi menjelaskan, ketenteraman ini bukan sekadar fisik, melainkan mencakup dukungan emosional dan spiritual. Ayat ini meletakkan fondasi relasi rumah tangga bukan pada dominasi, tetapi pada mawaddah (kasih) dan rahmah (sayang).
Baca juga: Nasaruddin Umar: Hampir Semua Tafsir Mengalami Gender Bias Kepemimpinan Laki-laki, Bukan Superioritas MutlakNamun, relasi tersebut juga diikat oleh struktur kepemimpinan yang dipegang laki-laki, sebagaimana dalam an-Nisa’ ayat 34. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” Tafsir Ibn Katsir menyebut, kepemimpinan ini berlandaskan dua hal: tanggung jawab nafkah dan beban perlindungan.
Muhammad Abduh, ulama pembaharu Mesir, mengingatkan bahwa “kepemimpinan” di sini bukan lisensi menindas, melainkan amanah yang dapat gugur bila disalahgunakan. Bahkan perintah “pukullah mereka” di akhir ayat ditafsirkan sebagian mufasir, seperti dalam Tafsir al-Jalalain, sebagai pukulan simbolis, tanpa menyakiti fisik.
Al-Baqarah ayat 228 menegaskan keseimbangan: “…para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya…” Quraish Shihab menggarisbawahi frasa “ma’ruf” dalam ayat ini—yakni sesuai norma kebaikan yang diakui masyarakat—sebagai penanda fleksibilitas Islam dalam merespons perkembangan zaman. Meski suami disebut memiliki “satu tingkatan kelebihan”, tafsir modern memaknainya sebagai kelebihan tanggung jawab, bukan keunggulan kodrati mutlak.
Baca juga: Persepsi Masyarakat Terhadap Gender Banyak Bersumber dari Tradisi Keagamaan Poligami dan Realisme SosialSurah an-Nisa’ ayat 3 dan 129 mengatur poligami dalam koridor ketat: keadilan sebagai syarat mutlak, meski diakui mustahil sepenuhnya adil dalam hal cinta. Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an melihat kebolehan poligami sebagai solusi sosial darurat—misalnya untuk melindungi perempuan yatim—bukan sebagai anjuran umum.
Talak, menurut al-Baqarah ayat 229 dan ath-Thalaq ayat 1-3, dipagari prosedur: rujuk hanya dua kali, larangan mengeluarkan istri dari rumah selama iddah, hingga kewajiban saksi. Tafsir al-Qurthubi menyebutnya sebagai “tindakan hukum terakhir” setelah semua upaya damai gagal. Islam juga memberi ruang pada khuluk—tebus talak oleh istri—bila kehidupan rumah tangga mustahil dipertahankan.
Rangkaian ayat lain mempertegas perlindungan perempuan setelah berpisah: hak kembali kepada suami (al-Baqarah: 232), nafkah selama menyusui anak (al-Baqarah: 233), hingga kebebasan berdandan dan menerima lamaran setelah iddah (al-Baqarah: 234). Tafsir al-Jalalain bahkan menekankan, setelah iddah, wali tidak boleh membatasi gerak janda dengan dalih moralitas yang berlebihan.
An-Nur ayat 6-9 menempatkan suami dan istri setara di hadapan hukum dalam kasus tuduhan zina. Proses li’an—sumpah berulang di hadapan hakim—membebaskan keduanya dari hukuman bila tidak ada bukti, sekaligus memutus pernikahan. Ini menandai pengakuan Al-Qur’an bahwa martabat dan nama baik perempuan sama pentingnya dengan laki-laki di ranah hukum.
Baca juga: Perkasa di Ring Hajar Lawan, Petinju Aljazair Imane Khelif Diduga Transgender Dialektika AbadiKetika ayat-ayat ini dibaca ulang dalam konteks kontemporer, muncullah dialektika: bagaimana mempertahankan nilai yang diyakini ilahiah, sambil menjawab tuntutan kesetaraan modern. Nur Rofiah, akademisi gender Islam, berpendapat bahwa kuncinya ada pada tafsir yang progresif namun tetap setia pada teks. “Kepemimpinan laki-laki bisa dimaknai sebagai struktur kerja sama, bukan hierarki patriarkal,” ujarnya dalam sebuah seminar di UIN Jakarta (2023).
Bagi masyarakat Muslim, tantangan ini bukan sekadar teologis, melainkan praksis: memastikan ayat-ayat itu menjadi payung perlindungan, bukan legitimasi kekuasaan sepihak. Dalam bahasa Quraish Shihab, “Jika Al-Qur’an memuliakan perempuan, maka tafsir dan praktiknya pun harus memuliakan.”
Kalimat ini menggemakan pesan yang sama sejak 14 abad lalu: hubungan suami-istri bukan arena perebutan kuasa, tetapi ladang kasih sayang, saling melindungi, dan menegakkan keadilan yang diamanatkan Tuhan.
(mif)